Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

Tugas Review”Bab 8 Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajia Subyektivitas“ Karya John Roosa dan Ayu Ratih Dalam Buku “Perspektif Penulisan Sejarah Indonesia”



Nama              : Hendra Afiyanto
NIM                : 339981
Mata Kuliah  : Historiografi

Pada bab ini John Roosa dan Ayu Ratih menawarkan sejarah lisan dalam historiografi baru Indonesia. Sejarah lisan ini tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, dan dapat digunakan untuk menyoroti beberapa peristiwa sejarah yang masih gelap serta mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak banyak dan tidak terawat. Dalam tulisan ini John Roosa tidak hanya menunjukkan kelebihan sejarah lisan atau memudahkan praktik sejarah lisan, tetapi dia juga menunjukkan kelemahan dari sejarah lisan.
Dalam penelitian sejarah lisan di Indonesia banyak dilakukan melalui metode wawancara. Mereka mengasumsikan metode wawancara hanyalah sebuah kegiatan mengumpulkan data atau merekam kesaksian yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuan sosial, pengacara, psikolog atau wartawan. Tetapi kenyataannya peneliti tidak dapat memperlakukan nara sumber sebagai sebuah subyek tanpa nama, mau tak mau mereka harus terlibat secara pribadi. Untuk mencegah wawancara hanya diartikan sebagai kegiatan sederhana mengumpulkan data maka peneliti juga harus menggali tentang riwayat hidup sumber. Hal ini berguna agar nantinya peneliti tidak terjebak pada kesimpulan dangkal. John Roosa mencontohkan banyaknya calon sejarawan lisan yang menganggap penelitian sejarah lisan hanya cukup dilakukan dengan memilih topik dan nara sumber. Para calon sejarawan lisan tidak cukup menguasai prosedur dasar penelitian sehingga begitu wawancara dimulai mereka mengalami kebingungan dengan apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tidak bisa dielakkan bahwa wawancara memang sarat dengan pengaburan, pengingkaran, separuh kebenaran, kesenjangan bahkan dusta. Kesulitan lain dari metode wawancara yang sering terjadi ialah peneliti harus sebisa mungkin tidak sampai terjebak dalam rasa empati yang ekstrim terhadap nara sumber. Jika peneliti sampai terjebak pada rasa empati ekstrim maka dia tidak dapat lagi menemukan klaim kebenaran (truth-claim) dalam sejarah, tetapi sang peneliti hanya mewakili rasa nara sumber dalam tulisannya. Maka posisi seorang sejarawan lisan dalam mendengarkan nara sumber diharuskan mengesampingkan sementara keyakinan-keyakinan yang sudah ada dan siap menyimak kisah nara sumber dengan sungguh-sungguh.
Untuk membantu sejarawan lisan dalam menjauhi metodologi empiris dan memulai memberi jarak antara sejarawan dengan nara sumber John Roosa menawarkan pemecahannya yang dipinjam dari konsep Freud yaitu Working Through, Acting Out dan Counter Transference. Working Through adalah suatu proses dengan menciptakan jarak dengan masa lalu serta melakukan proses telisik secara menyeluruh di dalam diri. Sedangkan Acting Out diartikan sebagai sebuah proses mengakhiri masa lalu yang tidak reflektif. Konsep Working Through dalam buku ini dicontohkan dalam peristiwa gerakan 1965 disaat banyak sejarawan yang masih terperangkap pengulangan-pengulangan rumusan usang dalam tulisan-tulisan sejarah dari zaman Soeharto. Mereka masih melakukan penghujatan habis-habisan terhadap PKI dan tidak memperdulikan suara dari korban kekerasan negara. Sejarawan yang berminat terhadp sejarah lisan perlu mengingat sebelumnya bahwa sejarah lisan bukan sebuah metode sederhana untuk mengumpulkan cerita, tetapi sebagai sebuah cara penelitian yang menuntut peneliti untuk melibatkan diri secara terus menerus dalam filsafat subyektivitas. Selanjutnya dalam melakukan penelitian kita juga harus berpedoman pada konsep Counter Transference artinya kita dalam melakukan wawancara berusaha meminimalkan kemampuan berpikir rasional kita dalam merekonstruksi kejadian masa lalu dan berusaha sepenuhnya memahami apa yang dialami korban, serta tidak berpandangan bahwa kesaksian korban sepenuhnya adalah tonggak kebenaran sejarah. Pada akhirnya sejarawan harus menulis sejarah sesuai dengan apa yang benar menurut perasaannya, bahkan pada nantinya tulisannya bertentangan dengan nara sumber. Profesi sejarawan lisan bukanlah seperti wartawan atau psikolog, tetapi yang perlu ditekankan tugas utama dari sejarawan lisan ialah memahami bagaimana para korban, dengan kemampuannya sendiri dan bantuan teman-teman serta saudara mereka dapat mengatasi pengalaman-pengalaman traumatis mereka dengan cukup baik sehingga dapat berbicara mengenai pengalamannya untuk sekarang.
Dari keseluruhan review di atas ada beberapa konsep yang saya kemukakan melalui beberapa pertanyaan. Bagaimanakan cara peneliti untuk menjaga perasaannya agar tidak terbawa rasa empati yang mendalam? Apakah ada nilai-nilai yang dapat membentengi perasaan peniliti agar tidak terbawa pada rasa empati ekstrim? Jika oleh buku ini dicontohkan dalam David Boeder (psikolog dari Amerika Serikat) yang membuat penyekat berupa tirai saat wawancara dengan nara sumber yang dimaksudkan agar dia tidak terjebak pada rasa empati ekstrim, Apakah jika kita terapkan kepada para korban gerakan 1965 malah akan menimbulkan nilai negatif dari nara sumber terhadap peneliti yang berdampak kepada jawaban seadanya dari nara sumber? Mungkin pertanyan-pertanyaan ini akan dapat lebih menyempurnakan tulisan dari John Roosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar