Halaman

Kamis, 17 Januari 2013

Tugas Akhir: Perempuan Minang di Luar Rumah Gadang


OlehSelfi Mahat Putri

Pengantar
            Kita terlalu lama terbelenggu dengan penulisan sejarah yang berupa narasi besar (grand narratives) mengenai nation-state, tokoh-tokoh besar dan politik sehingga melupakan sejarah-sejarah kecil yang merupakan realita kebanyakan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Historiografi Indonesia yang telah diambil alih oleh penguasa demi legitimasi kekuasaan membuat sejarah hanya milik penguasa dan rakyat kecil tak memiliki sejarah. Ulasan menarik dari beberapa sejarawan dalam buku Perspektif Baru dalam Penulisan Sejarah Indonesia. Telah membuka wawasan kita mengenai historiografi Indonesia dari sisi yang berbeda. Seperti, Bambang Purwanto “Menulis kehidupan sehari-hari Jakarta: Memikirkan kembali sejarah sosial Indonesia” atau Jean Gelman Taylor “Aceh: Narasi foto, 1873-1930”. Bagaimana mereka melihat sejarah dari sisi yang berbeda, sejarah yang terjadi pada masyarakat kebanyakan.
            Mengangkat historiografi lokal mengenai wanita (perempuan) menjadi suatu alternatif dalam penulisan sejarah, kita akan mempunyai gambaran bahwa wanita  (perempuan) ada dalam sejarah. Selama ini kita telah meninggalkan mereka, seolah-olah kaum “lemah” ini tidak ada dalam sejarah. Historiografi Indonesia yang cenderung mengangkat Laki-laki seakan menenggelamkan kaum wanita ini dalam realita sejarah.[1] Mereka seakan hanya diikutsertakan dalam bidang domestik saja, Padahal banyak wanita (perempuan) Indonesia yang memiliki keunikan dan andil yang cukup besar untuk mengisi historiografi kita dan perempuan Minang salah satunya.
            Menarik ketika mengkaji mengenai perempuan Minang, perempuan yang hidup dengan sistem matrilineal ini berbeda dengan perempuan-perempuan Jawa, Sunda, Batak, Melayu dan lainnya.  Sistem ini menjadi menarik karena dia hidup dalam masyarakat Minangkabau yang penganut dan pemeluk agama Islam yang taat. Bagaimana sistem ini yakni kekerabatan Minangkabau dan yang bersifat Matrilineal dengan hukum Islam yang patrilineal melihat sebuah perubahan besar yang terjadi pada perempuan Minangkabau.

Tinjauan Pustaka
Sudah mulai bermunculannya tema-tema mengenai perempuan, seperti Reni Nuryanti dalam thesisnya “Hidup di Zaman Bergolak: Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan Daerah 1956-1961”. Dia membahas tentang perilaku politik dan kekerasan yang terjadi pada masa perempuan Minangkabau selama masa pergolakan  (1956-1961).  Kajian ini merupakan kajian sejarah sosial yang menekankan pada pengalaman perempuan Minangkabau selama pergolakan politik. Pergolakan pada tahun 1950-an ini telah memunculkan perilaku politik dan kekerasan terhadap perempuan Minangkabau. Perilaku politik ini ditunjukkan dengan sikap oposisi terhadap dewan Banteng dan PRRI dari sebagian perempuan Minangkabau yang tergabung dalam Gerwani. Adapun kekerasan yang muncul selama pergolakan politik di golongkan dalam empat bentuk, yakni fisik, psikologis, seksual dan penelantaran (deprivasi).
Tulisan lainnya, Zurneli Zubir dalam thesis “Kekerasan Terhadap Perempuan Minangkabau Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945”. Juga mengangkat tema mengenai perempuan tetapi hampir sama dengan tulisan sebelumnya kedua penulis ini lebih melihat perempuan dalam sisi “gelap”, perempuan-perempuan yang selalu tertindas dalam realita sejarah. Hanya temporal waktunya saja yang berbeda, ketika Reni Nuryanti berbicara mengenai perempuan pada masa 1956-1961 dan Zurneli Zubir berbicara mengenai perempuan pada masa pendudukan Jepang.

Perempuan di Tengah Adat Minangkabau
            Di dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal, perempuan memiliki posisi dan kedudukan sosial yang sangat penting. Selain sebagai penerus garis keturunan, perempuan juga merupakan figur yang sangat menentukan dalam kehidupan moral dan martabat sebuah keluarga atau kaum. Kaum perempuan sering di identikkan atau disebut dengan Bundo Kanduang. Bundo kanduang dalam pengertian fungsinya mengacu kepada perempuan senior atau ibu utama dalam suatu kelurga matrilineal Minangkabau, yang memiliki kepribadian yang kuat, bijak dan adil, serta secara mental maupun fisik mampu untuk membuat keputusan-keputusan yang benar dan adil.
Perempuan Minangkabau lazim juga disebut Bundo Kanduang, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai “Ibu Sejati”, Bundo Kanduang harus memiliki sifat keibuan dan kepemimpinan. Menurut adat Minangkabau, bundo kanduang diibaratkan sebagai :
Limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pegangan kunci.
Umbun puruak aluang bunian, hiasan dalam nagari, nan gadang basa batuah,
Kok hiduik tampek banasa, kok mati tampek baniyaik,
kaundung-unduang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo.

Rumusan adat di atas telah menetapkan seperangkat fungsi dari bundo kanduang sesuai dengan konteks-konteks yang diberikan. Gurindam adat tentang Bundo Kanduang di atas, mengandung arti bahwa di dalam adat dan masyarakat Minangkabau memberikan beberapa keutamaan dan pengecualian terhadap perempuan, sebagai bukti dari kemuliaan dan kehormatan yang diberikan kepada Bundo Kanduang, dan untuk menjaga kemuliaannya dari segala kemungkinan yang akan menjatuhkan martabatnya. [2]
            Sistem Matrilineal ini akhirnya bertahan ditengah gempuran pergerakan Islam yaitu Perang Paderi yang terjadi di Minangkabau. Kaum refornis Islam ini menyadari bahwa kadang-kadang mereka harus berkompromi dan beradaptasi dengan adat yang ada. Sehingga Islam dan adat di Minangkabau pun berjalan berbarengan, Adat basandi syarak dan syarak basandi adat. (Adat bersendi syariat dan syariat bersendi adat. Inilah yang menjadi landasan mereka menjalankan agama dan adat di Minangkabau.


 (Belanda) Pembuka Jalan
Pendidikan mulai dilirik dengan cara pandang baru karena manfaatnya pun meningkat. Dimana pun pada periode sebelum 1870-an pendidikan di Minangkabau hampir sepenuhnya ikhtiar orang pribumi. Sesudah itu makin lama makin menjadi produk zaman yang menjalar ke seluruh negeri Hindia Belanda. Namun pada saat yang bersamaan, meskipun kesempatan yang ditawarkan pada masyarakat Minangkabau makin terkait dengan kondisi umum Hindia Belanda, tanggapan yang mereka perlihatkan terhadap kesempatan ini merupakan akibat dari kepentingan dan inisiatif setempat serta penilaian setempat terhadap kesempatan yang tersedia. Semangat pendidikan Minangkabau terus berlanjut atas dorongan internal dan bukan tekanan eksternal. Menjelang pergantian abad ke-20, peningkatan jumlah orang Minangkabau yang ingin menjadi pegawai pemerintah atau karier lain yang berhubungan dengan kepemerintahan telah meyebabkan meluasnya desakan kepada pemerintah Belanda agar memperluas sekolah-sekolah di daerah itu, sehingga dapat menampung lebih banyak murid-murid sekolah.[3]
Ini menjadikan periode yang penting bagi masyarakat Minangkabau, terutama kaum perempuan. Pada saat itu terjadi sebuah peristiwa bersejarah bagi kehidupan masyarakat dan perempuan Minangkabau. Peristiwa ini berkaitan dengan pembaharuan yang sedang terjadi pada sistem pendidikan agama oleh kaum agama di Minangkabau. Bersamaan dengan itu, Belanda menerapkan politik etis yang semenjak itu arus perubahan terutama dalam perkembangan dunia pendidikan. Pendidikan untuk pribumi yang selama ini tidak menjadi perhatian, mulai dikembangkan. Beberapa sekolah khusus untuk pribumi dibuka, begitu pula dengan sekolah kaum perempuan.
Kesempatan ini menjadi penting bagi kaum perempuan dalam melakukan pembaharuan terhadap sistem nilai yang selama ini membatasi mereka. Nilai-nilai yang melarang perempuan bersekolah, karena tugas mereka nantinya hanya mengurus rumah tangga saja, mulai ditentang. Rohana Kudus, Rasuna Said dan beberapa tokoh wanita lainnya, membuktikan hal itu, bahwa mereka mampu melaksanakan peran yang selama ini di dominasi oleh laki-laki.    
Perempuan Pendobrak Zaman
Kesempatan kaum perempuan semakin terbuka luas, setelah Rahmah El-Yunusiyyah pada tanggal 1 November 1923 mendirikan sekolah khusus untuk putri-putri dengan nama al Madrasah-al Diniyah (sekolah agama). Sekolah ini kemudian dikenal oleh masyarakat Minangkabau sebagai perguruan Diniyah Putri Padang Panjang. Perguruan ini didirikan dengan tujuan guna mengangkat derajat kaum perempuan yang selama ini selalu berada dibawah bayang-bayang laki-laki (subordinasi), serta membentuk kaum perempuan berjiwa Islam dan Ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab tentang kesejahteraan keluarga, masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah S.W.T.[4]
Di Bukittinggi pun muncul seorang tokoh perempuan bernama Rohana Kudus. Ia dengan beraninya mendobrak tradisi, yang telah membelenggu kebebasan kaum perempuan. Dia mendirikan sekolah khusus kaum perempuan sekolah kerajinan “Amai Setia”, di kampuang halamannya pada tahun 1911. Ia juga berjuang di media massa sebagai pimpinan redaksi koran Soenting Melayoe yang didirikan oleh Sutan Maharadja di kota Padang tahun 1912. Koran ini membuka kesempatan luas bagi dirinya untuk memperjuangkan nasib perempuan di Hindia Belanda. Rohana Kudus mencoba membuka mata kaum perempuan, kondisi masyarakat Minangkabau waktu itu masih begitu keras berpegang pada tradisi yang dianggap sebagai aturan adat bagi kaum perempuan. Tradisi yang menjadi salah satu penyebab kaum perempuan banyak tertinggal oleh kaum laki-laki. Di saat itu dapat dikatakan kebebasan kaum perempuan ada ditangan kaum laki-laki, bahkan sampai menentukan suami pun peran mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu) sangat besar.[5]
Selain Rohana Kudus, muncul pula nama Rasuna Said (1910-1965) sebagai tokoh perempuan yang banyak melibatkan dirinya dalam bidang politik. Keterlibatannya pada bidang politik tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitasnya memperjuangkan perempuan pada masa pergerakan. Cita-cita besarnya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan diwujudkannya pula dengan memimpin sekolah kursus untuk perempuan di kota Padang. Selanjutnya ia mendirikan perguruan putri dan memimpin Majalah Menara Putri di Medan.[6]
Pengalaman historis yang mendorong lahirnya tuntutan perempuan untuk memperjuangkan persamaan hak ketika itu, baik yang dilakukan secara individual maupun organisasi, adalah keterbelakangan yang pada giliranya menempatkan perempuan sebagai kelompok sosial yang selalu tersubordinasi dalam wilayah publik. Penyebab keterbelakangan itu bermula dari konstruksi sosial budaya Minangkabau yang hingga awal abad kedua-puluh masih menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan berada satu tingkat di bawah kaum laki-laki. Di Kota Gadang, misalnya, sebagai daerah yang paling maju di Minangkabau ketika itu, kaum perempuan sesuai tradisi yang berlaku belum dibolehkan mendapat pendidikan formal. Padahal laki-laki jauh sebelumnya sudah dengan leluasa memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Bagian pertama abad ke-20 merupakan masa penting bagi perempuan Minangkabau untuk memperjuangkan hak-hak mereka dengan jalan melibatkan diri dalam wilayah yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki, seperti pendidikan, ekonomi dan politik. Untuk memperjuangkan hak-haknya, perempuan Minangkabau mulai menggunakan media massa, baik media yang didirikan oleh atau untuk kaum perempuan maupun media yang khusus menyediakan rubrik bagi perempuan. Media massa perempuan pertama adalah Soenting Melayoe yang didirikan oleh Datuek Maharadja di kota Padang pada tahun 1911 atas usulan Rohana Kudus yang langsung menjabat pimpinan redaksi. Pada tahun 1919 terbit pula Koran Soeara Perempoean di Kota Padang yang dipimpinan oleh Mei Saadah. Kemudian pada tahun 1925 muncul lagi di tempat yang sama koran perempuan yang bernama Asjraq.
Selain surat kabar dan majalah perempuan, muncul pula surat kabar yang menyediakan secara khusus rubrik bagi kaum perempuan di Minangkabau pada awal abad ke dua puluh. Salah satunya adalah Surat Kabar Semangat Pemoeda yang diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Islamic College (PIC) di kota Padang pada tahun 1932. Edisi pertama Surat Kabar Semangat Pemoeda terbit pada tanggal 15 Maret 1932 di Alang Lawas, Padang dan berikutnya secara berkala diterbitkan satu kali setiap bulan. Surat kabar ini memiliki rubrikasi yang menarik dan mampu memikat hati para pembacanya, seperti tajuk/editorial, halaman sejarah, sambil lalu, pemandangan luar negeri, suara putri, kronik, aneka warna dan kaca perbandingan. Rubrik “Soeara Poetri” disediakan secara khusus untuk para penulis perempuan agar mereka memiliki kesempatan menyampaikan gagasan dan pemikiran. [7]

Bergelut di Ranah (laki-laki)
Lewat suratkabar-suratkabar perempuan pertama ini meredefinisikan masyarakat Minangkabau dan merumuskan ulang peran-peran gender konvensional. Pada saat yang sama, suratkabar-suratkabar ini berupaya mengonstruksi suatu katalog penindasan-penindasan yang tidak cocok dalam konteks Minangkabau. Perempuan-perempuan Minangkabau secara tradisional punya lebih banyak kuasa daripada perempuan-perempuan Jawa dan Eropa. Matrilokalitas bukanlah pengurungan, perempuan-perempuan ini tidak terkungkung di dalam rumah, terpaksa mengintip dari balik tirai jendela. Suratkabar-suratkabar perempuan ini menikmati masa cetak yang cukup lama, Soenting Melayu terbit selama satu dasawarsa. Dan pidato adalah keterampilan tradisional dalam budaya Minangkabau, dan sama sekali tidak terbatas hanya pada laki-laki. Dalam pengambilan keputusan dikampung dan khususnya dalam negosiasi-negosiasi perkawinan seorang pakar silat lidah adalah aset bagi keluarga mana pun. [8]
Pada tahun 1924, perempuan-perempuan Bukittinggi telah melembagakan kembali pacuan kuda yang sudah lama dilarang dan dengan uang yang diperoleh dari keuntungan perjudian mereka membeli buku-buku pelajaran sekolah. Lalu pada tahun 1926 terjadinya bencana gempa bumi,  sebagian dari uang pacuan kuda in dipakai untuk membantu korban-korban gempa. Perempuan-perempuan menggalang dana dan membangun kembali rumah-rumah dan sekolah-sekolah. Untuk itu mereka menjelajah ke luar kampung-kampung mereka, ke Padang dan Sumatera Utara. Dalam periode ini dewan redaktur Asjraq mentransformasikan jurnal itu, menciptakan salah satu organisasi aktivis perempuan Minangkabau pertama yang punya suatu agenda yang jelas-jelas bersifak publik dan politis.
Sarikat Kaoem Iboe Soematera (SKIS) didirikan pada tahun 1924-1925 dan segera sesudah itu mulai merencanakan suatu “pertemuan besar” mengenai kondisi perempuan Sumatera. Pertemuan yang tertunda karena gempa dan pemberontakan ini. SKIS sudah mengontrol jurnal Asjraq, mengubah namanya menjadi Soeara Kaoem Ibu Soematera. Topik- topik organisasi suratkabar itu adalah catatan luar biasa mengenai feminisme Sumatera pada akhir 1920-an. Pada 17 Agustus 1929, 800 laki-laki dan perempuan berkumpul di bioskop Scala di Bukittinggi untuk hari pembukaan “Pertemoean Besar yang pertama Serikat Kaoem Iboe Soematera”.  [9]  
Ketika angin segar perjuangan melawan pemerintah kolonial mulai ditempuh lewat pendirian partai-partai politik, maka kaum perempuan daerah ini juga ikut serta. Rasuna Said dan Ratna Sari adalah dua contoh dari sekian banyak kaum perempuan Minagkabau yang melibatkan diri secara serius dalam kancah politik daerah. Mereka termasuk dua tokoh yang berperan penting dalam sejumlah aktivitas politik partai Permi.        
Keterlibatan kaum perempuan ini tetap berlanjut pada masa Jepang dan periode perang kemerdekaan. Pada masa Jepang misalnya Rasuna Said termasuk salah satu tokoh perempuan yang aktif dalam Bagian Perempuan, Badan Kebaktian Rakyat Sumatera Barat. Ketika KNID-Sumatera Barat pertama kali dibentuk, maka lima dari 41 orang anggotanya adalah perempuan, yaitu Rasuna Sais, Syamsidar Yahya, Zubaidah Munaf, Hapipah Lanjunin dan Chailan Sjamsoe. Ketika KNIP meminta wakil dari daerah-daerah, maka Rasuna Said termasuk salah satu wakil dari daerah ini. [10]



Kesimpulan
            Membahas mengenai perempuan dalam historiografi Indonesia merupakan hal menarik, bagaimana ternyata perempuan bukanlah mahhluk lemah yang harus di bawah bayang laki-laki. Ketika mereka diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki mereka juga bisa bersaing, ini tergambar dari paparan diatas bagaimana ketika perempuan Minangkabau ini diberi kesempatan untuk sekolah atau mengecap pendidikan. Mereka akhirnya bisa keluar dari kungkungan yang ada selama ini. Perempuan-perempuan ini berhasil keluar dari zamannya, adat dan tradisi yang begitu kuat mengekangnya. Mereka dapat memberikan pembaharuan dan pencerahan dalam budaya yang selama ini membuat mereka berada dibelakang. Perjuangan mereka yang begitu gigih dan kuat untuk mendobrak zaman, dimana ketika perempuan-perempuan masih berada dalam rumah mengurusi rumah tangga mereka sudah tampil sebagai pendidik, orator dan jurnalis yang tangguh.

Daftar Pustaka

A.A. Navis. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT
            Grafiti Pers, 1986.

Amir Syarifuddin. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
            Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Gusti Asnan. Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan
            Obor Indonesia, 2007.

Graves, Elizabeth E. Asal Usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
            2007.

Hadler, Jeffrey. Sengketa Tiada Putus. Jakarta: Freedom Institute, 2010.

Kato, Tsuyoshi. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai
            Pustaka, 2005.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003.

Noni Sukmawati. Ratapan Perempuan Minangkabau Dalam Pertunjukan Bagurau:
            Gambaran Perubahan Sosial Minangkabau. Padang: Andalas University Press, 2006.

Nordholt, Henk Schulte dkk (ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta:
            Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak: Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan
            Daerah 1956-1961” Thesis. Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2009.

Witrianto, “Dari Surau ke Sekolah: Sejarah Pendidikan di Padang Panjang 1904-1942”,
            Thesis.  Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2006.

Zurneli Zubir, “Kekerasan Terhadap Perempuan Minangkabau Pada Masa Pendudukan
            Jepang 1942-1945”, Thesis. Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2006.


[1] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2003), hlm. 128.
[2] Noni Sukmawati, Rarapan Perempuan Minangkabau Dalam Pertunjukan Bagurau: Gambaran Perubahan Sosial Minangkabau (Padang : Andalas University Press, 2006), hlm. 50-51.
[3] Elizabeth E.Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 217-218.
[4] Zurneli Zubir, “Kekerasan Terhadap Perempuan Minangkabau Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945”, Thesis (Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2006), hlm. 35. Lihat juga Witrianto, “Dari Surau ke Sekolah: Sejarah Pendidikan di Padang Panjang 1904-1942”, Thesis (Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2006), hlm. 124-130.
[5] Ibid., hlm. 39-41.

[6] Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 43-45.

[7] Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus (Freedom Institute, 2010), hlm. 215-227.

[8] Ibid., hlm. 271-272.

[9] Ibid., hlm. 278.
[10] Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar