NIM : 12/338870/PSA/07247
Latar
Belakang
Indonesia merupakan sebuah
negara yang memiliki peradaban yang cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari
peninggalan-pening galan dari masa lampau yang sangat menkajubkan. Nenek moyang
bangsa Indonesia telah mewarisi perdaban yang luhur untuk dipelajari sebagai
ilmu pengetahuan. Beberapa warisan tesebut dapat dilihat hingga kini seperti
Candi Borobudur yang dibangun pada masa Mataram kuno, Situs Trowulan yang diperkirakan
berasal pada masa majapahit abad 14, hingga beberapa prasasti dan teks-teks
kuno. Melihat peninggalan masa lampau yang begitu banyak maka diperlukanlah
suatu ilmu yang dapat merekonstruksi peristiwa masa lampau. Ilmu tersebut ialah
ilmu Sejarah
Ilmu sejarah yang kita kenal merupakan
ilmu yang mempelajari masa lampau, namun bukan berarti sejarah hanya berpijak
dimasa lampau saja, namun sejarah juga berpijak dimasa depan. Sebagai ilmu
pengetahuan, maka sejarah pun memiliki perkembangan, terutama dari segi
penulisan. Penulisan sejarah atau Historiografi ternyata berkembang dari masa
ke masa. Historiografi pun berkembang sejak jaman kemerdekaan. Penulisan
sejarah Indonesia berkembang dari berbagai cakrawala diantaranya dari religio kosmoginis ke
sejarah kritis,2 dari etnocentrism ke natiocentris, dari kolonial elitis ke sejarah Indonesia secara
keseluruhan
Ilmu sejarah memiliki
tahap-tahap kritis dalam perkembangannya manakala muncul pemahaman yang dikenal
dengan posmodernisme. Mereka yang termasuk dalam peham ini ialah Derrida,
Lyotard. Foucault, yang dianggap hanya membongkar-bongkar tatanan dan
menihilkan segala hal3. R.Z.
Leirissa, menganggap bahwa kaum posmodernisme ini sudah terlalu berbahaya dalam
mengkritik ilmu sejarah karena posmo berpandangan negatif terhadap fakta,
objektivitas dan kebenaran yang menjadi pokok kajian sejarah.
Sejarah
bukan semata-mata rangkaian fakta belaka, tetapi sejarah adalah sebuah cerita.
Cerita yang dimaksud adalah penghubungan antara kenyataan yang sudah menjadi kenyataan
peristiwa dengan suatu pengertian bulat dalam jiwa manusia atau pemberian
tafsiran /interpretasi kepada kejadian tersebut.4 Dengan kata lain penulisan
sejarah merupakan representasi kesadaran penulis sejarah dalam masanya5. Secara umum dalam metode
sejarah, penulisan sejarah (historiografi) merupakan fase atau langkah akhir
dari beberapa fase yang biasanya harus dilakukan oleh peneliti sejarah.
Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara penulisan, pemaparan, atau
pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan6
Dipaparkan oleh Prof. F.W. Stapel, seorang historiograf
Belanda: penulisan sejarah Hindia Belanda harus menguntungkan kepentingan
negara induk di tanah jajahan. Jadi apa yang disampaikannya bersifat Niderland
Centries. Pandangan yang diarahkan pada kepentingan ini juga dapat
ditemukan dalam penulisan sejarah nasional yang bersifat Jawa Centries. “Tendensi
memandang sesuatu dengan perspektif alam pikir mitis (mengagungkan kepentingan
Raja/Kepala Negara) hingga kini masih mempengaruhi cara pikir orang Indonesia7. Studi C. Berg tentang filsafat sejarah apa yang telah
mendasari historiografi Jawa membuktikan, penulisan sejarah Jawa tak seluruhnya
berdasar pada realitas sejarah itu sendiri tapi pada pola-pola mitos”. Sejarah adalah ilmu mengenai
kisah-kisah perkembangan manusia yang unik pada waktu dan tempat tertentu.
Kisah–kisah yang terjadi dalam sejarah dapat dibedakan menjadi dua arti antara
sejarah dalam arti objektif dan sejarah dalam arti subjektif. Sejarah
dalam arti objektif, adalah kejadian atau peristiwa yang sebenarnya (History
of Actually).
Sesuai dengan namanya, historiografi tradisional, maka
historiografi ini berasal dari masa tradisional, yakni masa kerajaan-kerajaan
kuno. Penulisnya adalah para pujangga atau yang lain, yang merupakan pejabat
dalam struktur birokrasi tradisional bertugas menyusun sejarah (babad,
hikayat). Contoh-contoh historiografi tradisional di antaranya
ialah : sejarah Melayu, hikayat raja-raja Pasai, hikayat Aceh, Babad Tanah
Jawi, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Kartasura dan lain-lain.
Apakah penulisan sejarah dilakukan oleh lembaga Negara
atau para intelektual lokal, proses ini tidak dapat dilepaskan dari pandangan
subjektif mengenai nasion, peran elit dan rakyat, Historiografi yang reflektif
tidak saja menguji secara kritis metodologi sejarah, tetapi juga menguji dan
merumuskan kembali berbagai klaim kebenaran dan menyelidiki terbentuknya klaim
kebenaran secara historis.8
Kajian
Kritis Bidadari Mandi
Setelah Kaibar Pas (jalur sutra) dinyatakan
tertutup sebagai jalur perhubungan perdagangan melalui darat antara India dan
Cina dengan alasan perampokkan, rute pelayaran perdagangan selanjutnya
dialihkan ke jalur laut yang melewati selat Malaka. Kenyataan ini Pengalihan rute
pelayaran telah membikin akulturasi kebudayaan antara India dan negara-negara
yang ada di kepulauan nusantara terutama kerajaan Srivijaya dan kerajaan
Malaka. Pengaruh kebudayaan
India di nusantara dapat terlihat jelas yaitu mudah diserap ajaran tentang kasta
(varna) yang terdapat dalam kitab suci Hindu Purana oleh masyarakat
nusantara8. Jauh sebelum masuknya pengaruh
kebudayaan Hindu ini, kelas bangsawan kerajaan-kerajaan di nusantara belum
terbentuk. Setelah sistem kasta diperkenalkan melalui akulturasi kebudayaan,
mereka memanfaatkan ajaran agama Hindu– raja sebagai titisan dewa–untuk
memberikan legitimasi atas posisi mereka di hadapan masa rakyat. Dari sinilah
terbentuknya struktur kekuasaan yang feodal, teokratis. Terbentuknya kerajaan- kerajaan
Hindu di nusantara ini meniru kerajaan yang sama di Funan, Champa, Vietnam
Tengah, dan Vietnam Selatan.
Masuknya kebudayaan India di
nusantara itu secara tidak langsung juga mempengaruhi kerajaan-kerajaan di
Maluku Utara (Moloku Kie Raha, ‘Empat Kerajaan Pulau’), termasuk
kerajaan Ternate. Terbukti seperti diungkapkan oleh seorang historiograf
legendaris kerajaan Ternate, Naidah dalam Kronik Kerajaan Ternate yang alih-bahasakan oleh P. Van der Crab9 Kronik yang
ditulis oleh Naidah menggunakan bahasa Ternate dengan teks Melayu itu ternyata
mengandung perspektif kosmos mitis–konsepsi tentang kedudukan Sultan sebagai
titisan Penguasa Langit di Bumi (Baca: Mitos Bidadari Mandi)10. Makna filosofis yang terkandung di dalamnya adalah
melindungi dan memperkuat legitimasi secara politik atas eksistensi wilayah
kekuasaan kerajaan Ternate dari kemungkinan hegemoni negara-negara asing
(Eropa), khususnya berhubungan dengan perdagangan cengkeh dari dan antarbangsa
di dunia dan posisinya di hadapan masa rakyat, agar kelangsungan hidup kerajaan
Ternate tetap bertahan di tengah persaingan perdagangan antarnegara. Makna
filosofis dari penulisan kronik itu disadari dan dipikirkan oleh Naidah, karena
kedudukannya sebagai seorang abdi istana (juru tulis peristiwa) kerajaan
Ternate. Dengan demikian, arah penulisan kronik kerajaan Ternate itu pun
bersifat istana centries.
Dalam penulisan sejarah lokal di
Indonesia hampir seluruhnya mengaitkan asal usul daerahnya dengan “Bidadari
Mandi”, bukan saja di Moloku Kie Raha. Demikian juga dengan penulisan
kronik (sejarah lokal) Moloku Ternate oleh Naidah yang bernuansa kepentingan,
ternyata menyimpan kelemahan-kelemahan yang dapat terbaca dan dimanfaatkan oleh
bangsa Eropa (Belanda) untuk menjalankan kepentingan politik ekstirpasinya
yaitu melakukan penebangan cengkeh secara besar-besaran, guna mengurangi
(melenyapkan) produksi komoditas ekspor utama itu dari bumi Moloku Kie
Raha–Moloku Ternate. Meksipun apa yang dipaparkan oleh Naidah menampakkan
kelemahan yang telah terbaca oleh bangsa Eropa, namun mereka tidak mampu
mengambil alih kekuasaan dan menaklukkan Moloku Ternate termasuk tata niaga
cengkeh yang diatur Moloku Ternate (Moloku Kie Raha). Ketidakmampuan bangsa
Eropa (Belanda) untuk menaklukkkan dan mengambilalih kekuasaan kesultanan Ternate, disebabkan oleh pengaruh
kekuatan ajaran Islam yang sangat fundamental yaitu sebagai agama rahmatan
lil alamin yang perlu dipertahankan dan disebarluaskan yang telah
diletakkan oleh Djafar Sadik, seorang ulama dan juga pedagang dari Arab–Persia
yang masuk ke Moloku Kie Gapi (kerajaan Ternate) melalui Jawa tanggal 12
Februari 1204 M.
Kitab berbahasa Ternate dengan
menggunakan aksara Arab Melayu yang dikenal dengan sebutan Buku Tambaga
memaparkan penjelasan tentang pembagian wilayah kekuasaan Moloku Ternate masa
Awal. Tulisan Drs. Mudafar Syah, Sultan Ternate, yang mengutip Buku Tambaga
halaman 3 menulis. “Pembagian wilayah kekuasaan kerajaan Ternate masa Awal,
dimulai dari pembagian wilayah kekuasaan untuk tiga orang bersaudara yaitu Anak
Tuan Zaman jadi kerajaan Ternate masa Awal, dimulai dari pembagian
wilayah kekuasaan untuk tiga orang bersaudara yaitu Anak Tuan Zaman jadi
“Moloku”, Sahabat jadi “Moloku Tobona”, dan Daradjat jadi “Moloku Tubo”.11
Moloku, dalam asumsi saya, adalah sebuah negara berbentuk
kerajaan dengan Momole12 dan sebagai pemimpin (raja)-nya. Pembagian wilayah
kekuasaan itu terjadi sebelum masuknya pengaruh agama Islam di wilayah Moloku
Kie Gapi (kerajaan Ternate). Ini dibuktikan dengan pemberian nama oleh Tuan
Zaman kepada ketiga anaknya yang bernuansa kepercayaan lama (animisme dan
dinamisme). Berdasarkan wawancara saya dengan para informan (imam desa
Foramadiahi dan beberapa tokoh lainnya), “Anak” Tuan Zaman jadi Moloku yang
tidak disebutkan namanya dalam Buku Tambaga halaman 3, ternyata seorang
Perempuan yang bernama Bay Guna.
Berkenan dengan semakin ramainya kapal-kapal dagang milik
para pedagang Islam menyinggahi kota bandar dagang Rua–Akerica (Akesibu) Moloku
Kie Gapi (kerajaan Ternate) yang dipimpin oleh Djafar Sadik, seorang ulama dan
juga pedagang berkebangsaan Arab–Persia tahun 624 H atau bertepatan dengan
tanggal 12 Februari 1204 M, melakukan proses hubungan dagang dengan penguasa
Moloku Ternate. Rempah-rempah (cengkeh) kemudian dibawa oleh para pedagang
untuk diperdagangkan di Kota Bandar Dagang Bagdad (Irak) yang merupakan pusat
kota Bandar dagang di Timur, dan dari Irak selanjutnya diangkut dan
diperdagangkan kembali ke kota-kota Bandar dagang negara-negara Eropa.
Kenyataan itu membuat naluri dagang Tuan Zaman bergerak dan melakukan
perombakan struktur pemerintahan dalam Moloku Ternate (Kerajaan Ternate). Cara
yang ditempuh
adalah mengangkat Anaknya (Bay Guna) untuk menduduki kursi kekuasaan Moloku
Ternate (Kepala Negara Kerajaan Ternate) dengan gelar Momole (seorang pemimpin
yang dianggap cerdas, berwibawa, dan memiliki kesaktian tinggi dalam
kepemimpinan) sekitar tahun 1205 M. Sebelumnya menduduki jabatan Fanyira Moloku
Tobona (Negara Bagian Tobona). Keterangan tentang Bay Guna sebagai seorang
perempuan yang menduduki jabatan Moloku Ternate (Kepala Negara Kerajaan
Ternate), dilihat dari gelar yang diberikan: Momole. Demikian halnya
dengan gelar Kolano13. Gelar ini diberikan kepada seorang pemimpin Laki-laki.
Kolano maupun Momole adalah gelar untuk para pemimpin di Moloku Kie Gapi
(Kerajaan Ternate) sebelum pengaruh ajaran Islam. Selanjutnya gelar itu
kemudian di gunakan oleh seluruh pemimpin di Moloku Kie Raha – Empat Kerajaan
Pulau yaitu Moloku Ternate, Moloku Tidore, Moloku Moti, dan Moloku Makian
(Hasil Pertemuan Tobona sekitar tahun 900 M), yang merupakan sebuah lambang
(identitas) persatuan dan kesatuan. Makna filosofis Moloku Kie Raha adalah
kebersamaan empat Kerajaan Pulau itu dalam menghadapi situasi perdagangan dunia
yang sudah menglobal, agar kelangsungan hidup Moloku Kie Raha dapat bertahan di
tengah persaingan dagang antarbangsa, terutama masa hegemoni Khubilai Khan
(Dinasty Tang) dari Cina di wilayah kepulauan Nusantara sekitar tahun 1200 M Gelar Momole
dan Kolano tidak digunakan lagi saat kehadiran Djafar Sadik dan para pedagang
muslim lainnya di Moloku Kie Raha, terutama setelah Djafar Sadik menikahi
pemimpin Moloku Ternate (Bay Guna) dan mengajak istrinya masuk agama Islam.
Gelar Momole dan Kolano selanjutnya diganti dengan Sultan yang secara
keseluruhan dapat digunakan juga di seluruh Moloku Kie Raha. Sedangkan gelar Boki
‘Ratu’ hanya
digunakan pada masa kekuasaan Moloku Ternate periode Bay Guna yang telah memeluk Islam dengan nama Nursafa.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa sebelum periode Momole Bay Guna, sistem
pemerintahan Moloku Kie Gapi (Kerajaan Ternate), sudah terbentuk sekitar tahun
900 M. Diperkirakan masa sebelum kepemimpinan Bay Guna, Moloku Ternate berada
dalam Kekuasaan Kapita–Kepala Suku Zaman (Tuan Zaman) yang berasal dari
komunitas Tobona (Perkampungan paling Awal di Ternate). Keterangan itu dapat
dihubungkan dengan kenyataan bahwa jalur pelayaran perdagangan dunia dikuasai
oleh umat Islam yang berpusat di Baghdad.
Secara politis, dengan melakukan
perombakan struktur pemerintahan oleh Tuan Zaman, Moloku Ternate oleh Tuan
Zaman dapat memperkuat posisi tawar Moloku Ternate dalam keterlibatannya di
pentas perdagangan dunia yang dimotori para pedagang Islam. Pengambilan
keputusan politik yang ditempuh Tuan Zaman itu, mengandung konsekuensi harus
menukarkan agama lama (Animisme dan Dinamisme) yang dianut Moloku Ternate dan
seluruh rakyatnya dengan ajaran Islam yang dianut para pedagang Islam.14 Dengan demikian, Moloku Ternate pun
akan dilibatkan dalam proses hubungan perdagangan dunia yang dikuasai pedagang
Islam. Meksipun begitu cengkeh merupakan komoditas ekspor utama Moloku Ternate
yang memiliki posisi tawar terkuat dalam perdagangan di dunia. Ini dapat
dibuktikan dengan masuknya kapal-kapal dagang milik pedagang Muslim di bawah
pimpinan Saudagar dan Ulama Djafar Sadik di Kota Bandar Dagang Rua–Akerica
Moloku Ternate tanggal 12 Februari 1204 M guna melakukan proses hubungan dagang
dengan penguasa Moloku Ternate.
Cengkeh yang menjadi komoditas
ekspor utama Moloku Ternate sangat diminati para pedagang Muslim, memaksa Bay
Guna harus bekerja keras dalam melakukan diplomasi dagang dengan prinsip saling
percaya dan saling menguntungkan. Pertemuan kedua pemimpin itu melahirkan
kesepakatan (memorandum of understanding) tanggal 19 Februari 1204 M
atau seminggu setelah tibanya Djafar Sadik dan rombongan dagang di Rua- Akerica (Baca hikayat Rua–Akerica) yang merupakan Ibukota Bandar Dagang
Moloku Ternate. Rupa-rupanya dalam pertemuan formal kedua pemimpin itu, Djafar
Sadik berniat memasang perangkap “asmara” untuk menjaring Bay Guna sebagai
strategi untuk mecapai tujuan yang diharapkan. Strategi itu diperhitungkan
dengan matang sehubungan dengan kemungkinan-kemungkinan memperoleh keuntangan
dalam proses sebuah perdagangan dan dapat menyebarkan ajaran agama Islam yang
dianutnya agar dapat diterima oleh penguasa Moloku Kie Gapi (Kerajaan Ternate)
dan seluruh rakyat. Pertimbangan pemikiran Djafar Sadik adalah bahwa Bay Guna
seorang pemimpin yang menganut kepercayaan Animisme–Dinamisme dan seorang dara
yang kemungkinan akan tertarik dengan ketampanan Djafar Sadik. Gaung pun tersambut.
Dasar pertimbangan yang sangat strategis itu diilhami oleh sejarah kehidupan
Nabi Sulaiman yaitu sebelum Kerajaan Sabah ditaklukkan, kepala negaranya
terlebih dahulu ditaklukkan (Ratu Balgis). Keunggulan diplomasi itulah pada
akhirnya Djafar Sadik dapat mempersunting Bay Guna. Setelah Bay Guna resmi
menjadi istrinya, Djafar Sadik kemudian menggantikan kepercayaan
Animisme–Dinamisme dengan ajaran agama Islam untuk istrinya dan seluruh anggota
keluarga lainnya dari Tuan Zaman.
Sebagai pengganti gelar Momole
yang disandang istrinya dalam jabatan sebagai kepala negara Moloku Ternate,
Djafar Sadik kemudian memberikan gelar dan nama baru bernuansa Islami kepada Kepala Negara (istrinya) dengan
sebutan Boki Nursafa.15
Walaupun didasari oleh motif
penyebaran ajaran agama Islam dan politik dagang, kehidupan rumah tangga Djafar Sadik dan Boki
Nursafa berjalan harmonis. Semenjak berumah tangga, kendali Moloku Ternate
tetap berada dalam genggaman Biko Nursafa. Sementara itu, kesibukan perdagangan
di Kota Bandar Dagang Rua–Akerica terus berjalan lancar tanpa hambatan, telah
memacu aktivitas Boki Nursafa. Ia berupaya melakukan kontak dengan setiap pedagang yang melakukan
transaksi dagang dengan pihaknya. Kesibukan itu terus menyita perhatian dan
kemampuannya selaku Boki Moloku Ternate hingga kelahiran anak mereka yang
pertama yang diberi nama Tjitjo Bunga alias Mansur Malamo tahun 1207 M.16
Aktivitas Nursafa sebagai
seorang Boki Moloku Ternate setelah kelahiran anak mereka yang pertama,
menurunkan kemampuan aktivitasnya sebagai Boki. Dengan demikian, dua puluh
tahun kemudian (1227 M) Tjitjo Bunga alias Mansur Malamo naik tahta Moloku
Ternate menggantikan ibunya sebagai Moloku (Kesultanan) Ternate pertama dalam
periode Islam dengan gelar Sultan. Sejak itu, gelar Kolano maupun Momole
dinyatakan tidak berlaku lagi. Kendali Kesultanan Ternate yang dijalankan
Tjitjo Bunga alias Mansur Malamo berjalan dengan aman dan lancar sesuai misi
(Kesultanan yang rahmatan lil alamin) visi (menjalankan syariat Islam
dan mempertahankan eksistensi Kesultanan Ternate dari hegemoni bangsa lain).
Kenyataan itu berlangsung hingga masa kekuasaan Sultan Zainal Abidin
(1486–1500).
Dalam permulaan berkuasanya Sultan Khairun alias Djamil
(1558–1570) perdagangan dunia yang dimotori pedagang Islam (Arab–Persia dan
Gudjarat) mulai menampakkan kemunduran. Hal demikian sangat mempengaruhi
intesitas hubungan dengan pihak kesultanan Ternate. Situasi yang kurang
menguntungkan itu bersamaan dengan gejala-gejala kemunduran kesultanan Turki
Usmani dengan wafatnya Sultan Sulaiman al–Qanuni (1566). Akan tetapi, hubungan
perdagangan antara kesultanan Ternate dengan para pedagang Nusantara (Jawa, Gowa,
dan Melayu) tetap berjalan dengan lancar.
Limau
Jore-Jore (Kota Baru)
Limau Jore-Jore (komunitas Tuboleu) merupakan nama
wilayah–kota baru dari ibukota secara politik administratif pemerintahan maupun
sebagai pusat operasional Bandar Dagang Kesultanan Ternate yang dipindahkan
dari Rua–Akerica dan Foramadiahi Lama, berlokasi di sekitar Kelurahan Soasio,
Salero, dan Kasturian sekarang. Pemberian nama untuk ibukota Kesultanan Ternate
yang baru itu, berdasarkan pertimbangan keamanan dan kenyamanan oleh Sultan
Sahid (1583–1606) dalam menjalankan pemerintahan dari interfensi politik bangsa
Eropa. Secara diomatik, Limau Jore-Jore
berarti ‘Kota Maritim’. Dalam bahasa Ternate, kata Limau berarti
‘perkampungan penduduk yang bermukim di pesisir’, sedangkan Jore-Jore berarti ‘pesisir yang
didominasi tumbuhan sebangsa semak dan bakau.17
Sejak tahun 1952 hingga sekarang secara administratif
ibukota pemerintahan dan ibukota perdagangan dipindahkan ke arah selatan dari
Limau Jore-Jore sekitar 1 km, tepatnya
Kelurahan Kota Baru yang berlokasi di sekitar pelabuhan perdagangan Kota
Ternate sekarang, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses sejarah
Kesultanan Ternate, khususnya Limau Jore-Jore.
Ada beberapa indikator yang
dapat dijadikan acuan dalam penetapan waktu kelahiran Kota Ternate. Pertama,
ibukota Bandar Dagang pertama Moloku Ternate di Rua-Akerica (komunitas Tobona)
sebelum masa kekuasaan Momole Bay Guna (Boki Nursafa) sekitar tahun 1200 M
sampai masa pemerintahan Sultan Sahid (1583-1606). Pada masa itu hubungan
perdagangan antara kesultanan Ternate dengan pedagang asing (Arab-Persia dan
Gudjarat) di samping para pedagang dari kepulauan nusantara yaitu Jawa, Gowa,
dan Melayu mengalami kemajuan pesat. Hubungan ini mengalami gangguan terutama
monopoli perdagangan cengkeh setelah masuknya bangsa Portugis (1512) untuk
melakukan hubungan perdagangan dengan kesultanan Ternate. Keterangan ini
menunjukkan bahwa aktivitas Kota Perdagangan Moloku Ternate pertama adalah pada
masa pemerintahan sebelum Bay Guna sekitar tahun 1200 M. Ketika itu Moloku
Ternate mengadakan kontak perdagangan pertama di luar kepulauan Nusantara
dengan bangsa Cina pada masa Dinasty Tang di Kota Bandar Dagang Rua–Akerica.
Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa aktivitas Kota Ternate yang pertama adalah
pada masa Kapita (pemimpin Moloku Ternate masa awal) Zaman (Tuan
Zaman—ayah Bay Guna) seperti disebutkan
di atas.
Berdasarkan apa yang telah
disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa hingga kini, masa aktivitas Kota
Bandar Dagang Moloku Ternate terutama dihitung sejak kedatangan Pedagang dan
Ulama Djafar Sadik di Kota Bandar Dagang Rua–Akerica Moloku Ternate tanggal 12
Februari tahun 1204 M. Dengan begitu, pada tanggal 12 Februari 2003 lalu usia
Kota Ternate adalah 799 Tahun.
Kedua, sebagai
puncak dari hubungan perdagangan yang panas antara kesultanan Ternate pada masa
kekuasaan Sultan Khairun (1558-1570) dengan Portugis, pada tanggal 28 Februari
1570 di benteng Kastela telah terjadi pembunuhan atas Sultan Khairun. Benteng
Kastela merupakan wilayah Kota Bandar Dagang kesultanan Ternate yang menjadi
markas (pusat kekuasaan perdagangan) bangsa Portugis. Pembunuhan terhadap
Sulktan Khairun membuat kevakuman kesultanan Ternate. Situasi ini memaksa
Babullah (1570) naik tahta menggantikan Sultan Khairun. Kebijakan politik yang
dilakukan Sultan Babullah adalah
mengusir bangsa Portugis keluar dari jalur perdagangan kesultanan
Ternate termasuk wilayah politik kesultanan Ternate. Kebijakan Babullah ini
didukung oleh seluruh rakyatnya. Setelah Sultan Babullah wafat (1583), tahta
kesultanan Ternate dilanjutkan oleh Sultan Sahid alias Saidi Barakati
(1583–1606). Sultan Sahid kemudian membuat program baru dengan memindahkan
ibukota Bandar Dagang Rua–Akerica (secara administratif) ke Foramadiahi Lama
(jaraknya sekitar 1 km arah barat Foramadiahi sekarang). Akan tetapi, dalam
rentang masa kekuasaan Sultan Sahid, dari Banten telah tiba kapal-kapal dagang
milik Belanda di Bandar Dagang Rua–Akerica (1599) yang dipimpin J.C. van Neck
untuk melakukan kontak perdagangan dengan kesultanan Ternate.
Kehadiran kapal-kapal dagang
Belanda itu menimbulkan kecurigaan Sultan Sahid kerena pengalaman terbunuhnya
Sultan Khairun, pendahulunya. Atas dasar pengalaman itu Sultan Sahid mengambil
keputusan politik dengan memindahkan Kota Bandar Dagang Rua–Akerica dan ibukota
kesultanan Ternate di Foramadiahi Lama ke ibukota kesultanan Ternate dan Kota
Bandar Dagang yang baru yaitu Limau Jore-Jore, sekitar wilayah kelurahan
Soasio, Salero, dan Kasturian sekarang. Wilayah ini masuk dalam komunitas
Tuboleu.17
Ketiga, Limau Jore-Jore
merupakan bagian dari rencana strategis Sultan Sahid untuk mengamankan ibukota
dagang dan politik kesultanan Ternate dari interfensi politik Belanda (bangsa Eropa umumnya).
Setelah 326 tahun (1599–1925), yaitu masa sejak kapal-kapal dagangnya
menyinggahi Kota Bandar Dagang pertama hingga masa kekuasaan Sultan Muhammad
Djabir Syah (1925–1975) yang berkedudukan di Limau Jore-Jore, Belanda tetap
saja melakukan interfensi politik ke dalam kekuasaan kesultanan Ternate. Ini
dapat dibuktikan dengan diasingkannya Sultan Muhammad Djabir Syah dan seluruh
anggota keluarganya ke Jakarta guna membendung pengaruh kekuasaan Sultan.
Keempat, pada masa kekuasaan
Sultan Muhammad Djabir Syah, situasi politik dan perdagangan kesultanan Ternate
yang berpusat di Limau Jore-Jore (Kota Baru) mulai mengalami kevakuman. Ada beberapa faktor
penyebabnya. Pertama, kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Kedua, dihapusnya
Swapraja kesultanan Ternate tahun 1946. Ketiga, penyerahan aset kesultanan
Ternate dari ahli waris ke pemerintah Republik Indonesia tahun 1952.
Sejak itu kekuasaan politik dan
keramaian (kesibukan) Kota Bandar Dagang kesultanan Ternate yang berpusat di
Limau Jore-Jore (Kota Baru) mengalami kevakuman. Apa yang disampaikan dalam tulisan ini
baru merupakan pembacaan dan pengamatan penulis terhadap teks-teks sejerah yang
tersedia. Sebab itu, pengkajian ilmiah, melalui penelitian sejarah perlu
dilakukan agar dipertanggawabkan keilmiahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim. 1993. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
B. Sularto, Sekitar Tradisi Ternate.
(Proyek pengembangan Media kebudayaan Departemen pendidikan dan kebudayaan)
1997.
Dudung Abdurrahman, 1999. Metode Penelitian Sejarah.
Jakarta Penerbit: Logos
Heine, Robert dan Geldern. 1972. Konsepsi Tentang
Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Penerjemah Deliar Noer.
Jakarta: C.V. Rajawali.
Henk Schulte Nordholt, Bambang
Purwanto dan Ratna Saptari. Persperkif Baru Penulisan Sejarah Indonesia.
(KITLV-Jakarta) 2008.
L. Radjiloen. Dartan Tinggi
Foramadiahi adalah Ternate-awal ke dataran rendah Limau Jore-Jore.
(Ternate: Hasil Penelitian yang tidak di Publikasi), 1982.
Naidah. Tanpa Tahun. Kronik Kerajaan Ternate.
Alihbahasa P. Van der Crab dengan judul Geshiedenis van Ternate, in der
Ternataanschen en Maleischen Teks, beschreven door der Ternataan Naidah, met
vertaling en aantekeringen door P. Van der Crab.
Mudafar Syah. Tabloid Parada edisi 6 tanggal 6 Juni 2002.
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan perkembangan
Historiografi Indonesia suatu Alternatif. Jakarta: PT. Gramedia
________Kartodirdjo. 1992. Pemikiran dan Perkembangan
Historiografi Indonesia. Jakarta : PT Gramedia.
Sukiman. Harian Kompas, Sabtu 10 Juli 1999.
R. Moh. Ali. 2005. Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit.
Gramedia.
Zuhdi Susanto. 2008. Metodologi Strukturistik Dalam
Historiografi Indonesia :Sebuah Alternatif dalam
Djoko Marhiandono (ed).Titik Balik Historiografi Indonesia.
Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
Wibawa,
Samudro. 2001. Negara-Negara di Nusantara; Dari Negara-Kota hingga
Negara-Bangsa; Dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi. Yopgyakarta:
Gajah Mada University Press
1 Liamau Jore-Jore: merupakan nama wilayah–kota baru dari ibukota secara
politik administratif pemerintahan maupun sebagai pusat operasional Bandar
Dagang Kesultanan Ternate yang dipindahkan dari Rua–Akerica dan Foramadiahi
Lama, berlokasi di sekitar Kelurahan Soasio-Salero, dan Kasturian sekarang. Pemberian nama untuk
ibukota Kesultanan Ternate yang baru. Limau Jore-Jore berarti ‘Kota
Maritim’. Dalam bahasa Ternate, kata Limau berarti ‘perkampungan
penduduk yang bermukim di pesisir’, sedangkan
Jore-Jore berarti pesisir yang didominasi tumbuhan sebangsa semak
dan bakau.
(
Jakarta : PT Gramedia, 1992), hal 3
3 Zuhdi, Susanto. Metodologi Strukturistik Dalam
Historiografi Indonesia :Sebuah Alternatif dalam
Djoko Marhiandono (ed).Titik Balik Historiografi Indonesia.
(Jakarta : Wedatama Widya Sastra, 2008), hal 1
4 R. Moh. Ali,
Mengerti Sejarah.( Jakarta: Penerbit. Gramedia 2005) hlm 37.
5 Sartono
Kartodirdjo, Pemikiran dan perkembangan Historiografi Indonesia suatu
Alternatif (Jakarta: PT. Gramedia 1982), hlm
XIV
7 Sukiman. Harian Kompas, Sabtu 10 Juli 1999. hlm 5
8 Henk Schulte Nordholt, Bambang
Purwanto dan Ratna Saptari. 2008. Persperkif Baru Penulisan Sejarah Indonesia.
(KITLV-Jakarta), hlm 2
8 Wibawa, Samudro. 2001. Negara-Negara di Nusantara;
Dari Negara-Kota hingga Negara-Bangsa; Dari Modernisasi hingga Reformasi
Administrasi. Yopgyakarta: Gajah Mada University Press), hlm 47
9 P. Van der Crab, Geshiedinis van Ternate, in der Ternataanschen en
Maleischen Teks, beschreven door der Ternataan Naidah, met vertaling en aantekeringen. Volume II
tanpa tahun
10 Mitos Bidadari Mandi:
adalah mitos kelahiran kerajaan di Maluku, lihat juga dalam karangan M.
Adnan Amal. Kepulauan rempah-rempah
Perjalan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Penerbit (Jakarta KPG: Kepustakaan
Populer Gramedia) 2010. hlm 15.
11 Tabloid Parada edisi 6 tanggal 6 Juni 2002, hlm 5
12 Momole,
Dalam Bahasa Ternate Kata Mo- adalah ‘Pemarkah
Persona Ketiga Tunggal Perempuan’, Sedangkan Kata Mole Berasal Dari Kata
Tomole ‘Seseorang yang Memiliki Kesaktian Tinggi’; dan Terjemahan idIomatik
Momole adalah ‘Pemimpin Perempuan yang Memiliki Kesaktian Tinggi Dalam
Kepemimpinan’.
13 Kolano adalah Penyebutan Sultan/ Raja dalam
masyarakat Ternate sebelum memeluk Islam, setelah Islam gelar Kolano di Ganti
dengan nama Sultan.
14 L. Radjiloen, 1982. Dartan Tinggi
Foramadiahi adalah Ternate-awal ke Dataran Rendah Limau Jore-Jore. (Ternate:
Hasil Penelitian yang tidak di Publikasi), hlm 15.
15 B. Sularto, 1997. Sekitar Tradisi Ternate. (Proyek
pengembangan Media kebudayaan Departemen pendidikan dan kebudayaan), hlm 10.
16 B. Sularto, Op., Cit. hlm 18
17 L. Radjiloen, Op., Cit. hlm 20
17 M. Jusuf Abdulrahman, 2001. Ternate
Bandar Jalur Sutra. (penerbit: Lembaga Informasi dan Transformasi social), hlm
90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar