Nama : Arum Vitasari
NIM : 12/339811/PSA/7357
Pada
umumnya, selama ini kita mengenal tempayan sebagai tempat untuk menyimpan air
atau mungkin sebagai hiasan yang terbuat dari tanah liat. Tempayan dalam
bahasan ini adalah tempayan dari Kalimantan yang telah menjadi bahan
penelitian. Untuk dapat mengetahui bagaimana perkembangan, bentuk, serta
kegunaan tempayan pada awal abad ke-19, peneliti menggunakan naskah Melayu pada
masa itu.
Seorang
pejabat Belanda yang menerjemahkan sebagian dari naskah tersebut menjelaskan,
bahwa naskah tersebut digunakan sebagai pedoman yang sistematis. Pedoman yang
dimaksudkan adalah guna membantu para pedagang dan pembeli dalam mengenali
jenis dan harga tempayan yang ingin dibeli. Bisa dikatakan hal itu sangat mirip
dengan daftar katalog untuk penjualan barang pada masa sekarang. Singkat kata,
melalui naskah Melayu tersebut, kita dapat mengetahui jenis-jenis, bentuk,
warna tempayan yang beredar pada masa itu.
Penyebaran
tempayan dimulai dari gerabah-gerabah yang dibuat di Cina, lalu menyebar
melalui Vietnam, Thailand, dan Burma. Penyebaran tempayan biasanya melalui
jalur perdagangan maritim, bahkan mencapai wilayah yang cukup jauh. Pada
umumnya tempayan digunakan untuk menyimpang benda cair maupun makanan. Di
Kalimantan sendiri, tempayan memiliki fungsi yang beragam. Selain sebagai tanda
status kehormatan dan kekayaan, tempayan juga difungsikan untuk ritus-ritus tertentu,
misalnya yang berhubungan dengan pemakaman. Dalam prosesi tersebut, tidak
jarang kalau tempayan digunakan untuk menyimpan sisa tulang atau abu jenazah
seseorang maupun beberapa orang sekaligus di dalam tempayan (budaya seperti ini
juga bisa kita temukan pada masyarakat Jepang hingga masa modern). Bahkan, ada
pula jenazah yang diletakkan dalam sebuah tempayan yang dibelah. Pada tempayan
yang digunakan untuk menyimpat jasad maupun abu, tempayan biasanya dihiasi dengan
hiasan kepala naga. Hal ini terpengaruh orang budaya Cina, dimana naga yang
awalnya digambarkan sebagai penghubung langit dan bumi, kemudian menjadi
penghubung antara dunia orang hidup dan dunia orang mati.
Selain
menggambarkan mengenai kegunaan dan fungsi dari tempayan tersebut, naskah
Melayu ini juga mengungkapkan ciri-ciri khusus serta nilai relatif dari
sejumlah tempayan. Juga memerikan dengan terperinci bentuk, ukuran, jumlah
pegangan, warna, dan mutu glasir, serta hiasan. Tempayan yang dideskripsikan dan
digambar berdasarkan dengan golongan kelompok yang masing-masing mempunyai
suatu nama, ditambah nama yang lebih spesifik sesuai variasi hiasan dalam tiap
kelompok. Melalui deskripsi tersebut, bisa dikatakan bahwa penulis naskah saat
itu telah memperhatikan sistemasika penulisan berkelompok. Tentu saja, dengan
cara seperti itu, naskah tersebut dapat dimengerti lebih cepat.
Menurut
penulis buku ini, naskah Melayu sendiri cukup sulit diterjemahkan. Naskah
Melayu biasanya berupa lembar-lembar yang menggunakan bahasa Melayu kuno.
Seperti layaknya naskah Melayu, satu kata dapat dieja dengan beberapa cara. Dikenal
beberapa huruf seperti alif maupun hamzah yang juga dikenal pada huruf
Arab. Sekitar 12 kata diberi tanda vokal (harakat), dan delapan di antaranya
adalah nama-nama tempayan.
Pola-pola
hiasan sangat penting bagi definisi serta penilaian tempayan. Untuk bisa
memahami teks, sangat penting agar kita mengetahui bahwa pola-pola di dalam
tempayan dapat dibuat dengan tiga cara. Dalam hal ini berhubungan juga dengan
proses pengerjaan tempayan. Kemudian motif yang dimiliki oleh tempayan.
Melalui
naskah Melayu ini, kita dapat menemukan informasi mengenai penyebaran,
pembuatan, bahkan jenis tempayan yang ada di Kalimantan. Fungsi tempayan yang
kemudian menjadi simbol kehormatan dan status sosial juga mengindikasikan bahwa
tempayan saat itu tidak hanya memiliki fungsi instrumental, namun fungsi
sosial. Naskah Melayu pada saat itu juga sudah memperhatikan segi informasi
yang jelas, yakni dengan menyajikan gambar dan data yang sistematis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar