Tiyas Dwi Puspita
(12/340431/PSA/07415)
Pendahuluan
Tulisan ini tercetus dari sebuah
artikel pendek “TEMPAYAN KALIMANTAN MENURUT SEBUAH TEKS MELAYU TAHUN 1839”[1] yang menurut saya merupakan
suatu tema yang unik dalam sejarah, lain dari kebanyakan. Dan lebih berkembang
lebih luas terkait dengn buku ini secara utuh, buku “Sultan, Pahlawan dan Hakim”. Seperti yang telah kita ketahui
bahwasanya tema-tema yang diambil dalam penulisan sejarah adalah tema-tema
besar, seperti tokoh-tokoh atau pristiwa-peristiwa besar yang dianggap lebih
menarik minat dan menjual. Tulisan sejarah seperti kebanyakan, membuat hal-hal
yang terabaikannya yang dianggap hal-hal kecil yang tentu sebenarnya merupakan
komponen dari peristiwa sejarah juga. Artikel pendek ini seakan mengingatkan
kita tentang hal-hal yang terabaikan, yang jarang ditengok dan mendapat
sorotan. Hal-hal yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam historiografi
kita. Dengan melihat dengan mendetail ternyata dari tema ini ditemukan berbagai
hal-hal yang menarik dan menambah pengetahuan tentang berbagai aspek kehidupan
masyarakat kita di masa lalu.
Sebagai
sejarawan, dalam menulis kita sering terbentur pada masalah sumber. Dengan
melihat artikel-artikel ini kita dapat belajar bagaimana kita bisa tidak harus
bergantung pada arsip negara. Tulisan ini membuktikan dengan membukakan
pemikiran kita tentang kemungkinan menulis sejarah tanpa hanya bergantung pada
arsip Negara (colonial), sebagai ‘fakta-fakta yang dapat dipercaya’.[2] Untuk menulis hal-hal baru ada kendala
terkait dengan sulitnya sumber penulisan namun apabila kita melihat lebih luas
tidak sedikit karya sastra yang bisa dijadikan sumber. Fiksi dan fakta sejarah
tidak dapat begitu saja secara kaku
diasosiasikan hanya dengan salah satu di
antara keduanya, yaitu hanya berkaitan dengan sastra atau hanya dengan sejarah.[3]
Dalam
buku yang inspiratif ini juga terdapat karya sastra yang dijadikan sumber,
tetapi tentunya diperhatikan dari segi sejarah. Seperti yang telah kita
ketahui, sastra dan sejarah telah lama menjadi bahan perdebatan yang
terus-menerus dalam bidang penelitian tentang sastra-sastra klasik Nusantara,
oleh karena semua teks penting yang berkaitan dengan sejarah suatu kerajaan
juga merupakan karya sastra.[4] Walaupun mempunyai unsur subjektivitas yang
sangat kental, Tradisi penulisan tradisioanl yang sering diartikan sebagai
karya sastra tidak lantas dapat diabaikan begitu saja. Seperti pendapat Taufik
Abdullah yang dikutip Bambang Purwanto, melalui karya sastra kita dapat
memahami proses masa lalu dan menangkap kembali struktur waktu dari realitas.
Menggali
Yang Terabaikan
Buku
dengan judul Sultan, Pahlawan, dan Hakim
ini merupakan kumpulan dari berbagai tema yang jarang mendapatkan sorotan dari
masyarakat luas dan jarang juga menarik minat sejarawan untuk menggali tentang
hal-hal tersebut. Adapun bab-bab di dalam buku ini membahas lima teks melayu
yang diedit dan dijadikan sumber data, atau sedikitnya diselidiki dan dibahas
sebagai sumber data.[5] Dan yang perlu diketahui bahwasanya teks-teks
itu mengandung informasi yang tidak terdapat dalam sumber lain.
Perkembangan
historiografi sekarang yang memperkenankan penggunaan sumber-sumber tradisional
sebagai sumber sejarah telah memberikan angin segar bagi dunia historiografi.
Dewasa ini, mulai banyak ditemukan sejarawan yang mulai berani menggunakan
sumber lokal sebagai sumber utama penelitiannya.
Sejarah
kita nampak tidak utuh, menghambat dalam membaca dan mempelajari realita.
Seakan-akan sejarawan tidak adil dalam kinerjanya seperti tidak memberi porsi
untuk menyajikan kehidupan masyarakat. Perlu ada banyak yang di benahi dalam
pola pikir kita dalam menulis obyek sejarah. Dan buku ini membantu membenahi
dan membuka jalan ke arah yang lebih luas tentang penulisan, pemaknaan sejarah,
sumber sejarah, dan obyek-obyek yang bisa menjadi tema sejarah sendiri.
Kajian
yang ditulis oleh Henri Chambert–Loir
bersama dengan Marie-France Dupoizat ini sangat menarik. Teks Melayu yang
menjadi bahasan dijelaskan secara mendetail dan terperinci. Walau tidak
keseluruhan sejarah dan rincian tentang tempayan dapat terpecahkan karena
memang tidak semua dijelaskan dalam teks yang diteliti atau diketahui oleh
penulis.[6] Namun sebagai peta atau
pedoman yang sistematis bagi penggemar tempayan baik pedagang maupun pembeli
tempayan untuk lebih mengenali jenis tempayan dan harganya, pada masa teks
tersebut digunakan, tentunya teks ini sangat besar manfaatnya. Untuk menjelaskan
tentang periode, teks melayu ini cukup
terang karena tertera tahun di dalamnya, 1839. Dalam teks juga mencantumkan
nama pemilik yaitu Mahbud, yang kemungkinan juga penyalinnya atau bahkan
pengarangnya.[7]
Ke dua peneliti dalam memetakan
penjelasannya dalam tulisan artikel tentang teks melayu ini cukup baik. Dari
deskripsi artikel ini dijelaskan kajian asal usul dan guna dari tempayan
sebagai pokok bahasan, dan terdapat rincian naskah melayu dan pengertiannya
(ada beberapa yang ambigu dan memang tidak terdapat dalam teks melayu yang
kedua peneliti ketahui). Peneliti berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang
bisa dipahami orang banyak. Isi dari teks melayu ini sangat baik untuk masanya,
apabila melihat dari masa tersebut kiranya penulis memiliki pengetahuan yang
tinggi serta wawasan yang luas dan cerdas. Pembuat petunjuk tentang tempayan
ini mampu menjelaskan dan menggambarkan secara fisik mulai dari ukuran, bentuk,
sampai hiasan-hiasan yang tertera pada tempayan yang ada pada masa itu,
selayaknya seseorang yang mampu mendesain perabot. Dan juga terdapat penomoran
pada teks sehingga pengguna teks dapat membaca secara runtut. Ini menunjukkan
bahwa pembuat teks melayu tersebut cukup intelek pada masanya, sehingga mampu
menggambarkan apa yang terlihat dari sebuah tempayan secara tersurat. Si
pembuat teks juga mengungkapkan pernah mendampingi pejabat tinggi kesultanan
Pontianak. Hal ini menguatkan bahwa penulis teks melayu tersebut termasuk
golongan intelektual pada masa itu.
Artikel ini memuat bahwa dari
melihat kepemilikan tempayan, kita dapat mengetahui tatanan sosial yang
terdapat di masyarakat, sehingga status sosial seseorang dapat diidentifikasi.
Masyarakat pada masa itu memiliki kecenderungan mengumpulkan tempayan sebagai
symbol martabat.[8] Dengan demikian masyarakat
menjadikan kepemilikan tempayan sebagai gengsi atau gaya hidup. Semakin
berharganya tempayan yang dimiliki maka ia semakin dipandang.
Selain dari guna tempayan itu
sendiri, hiasan-hiasan yang terdapat pada tempayan memiliki makna yang turut
menentukan nilai dari tempayan. Symbol yang paling menarik dan memiliki makna
yang unik adalah naga. Naga dalam budaya masyarakat Tionghoa merupakan hewan
yang dapat menjadi perantara antara langit dan bumi. Berkaitan dengan tempayan
berhiaskan naga yang digunakan sebagai tempat untuk orang mati, naga di sini
berfungsi sebagai penghubung antara orang yang hidup dengan yang mati.[9] Beberapa mitos dan keajaiban
yang berkaitan dengan ratu Campa dan Majapahit juga mempengaruhi nilai dari
tempayan. Jadi dapat disimpulkan bahwa mitos masih mewarnai kehidupan
masyarakat pada masa itu dan selain itu, kebesaran kerajaan Majapahit mendapat
tempat hingga masyarakat pelosok Kalimantan.
Pada masa itu juga terdapat kisah
yang menarik tentang perdagangan tempayan, di Kalimantan, yaitu terdapat
penipuan dalam jual beli tempayan. Perkara ini cukup serius dan bahkan sampai
dipengadilan raja Charles Brooke,dan pelaku penipuan mendapat hukuman selama
dua tahun. Masalah ini terbongkar karena peran para ahli pribumi yang memiliki
pengetahuan mendalam tentang tempayan. Ini menunjukkan bahwa telah ada atau
terdapat kemajuan hukum dan system peradilan, baik pidana maupun niaga.
Dari teks Melayu dan terjemahannya
tersebut, nampak jelas penulis menggunakan huruf Arab dan gaya bahasa yang
sangat Islami. Namun dari sudut pandang lain terkait dengan tempayan - tempayan
yang populer pada masa itu, tersirat pula bahwa masyarakat meyakini mitos-mitos
dewa, sehingga dalam ritual kematian mereka masih menggunakan tempayan berhias
naga sebagai tempat mayat, seperti yang
telah disinggung sebelumnya kepercayaan tentang naga sendiri merupakan budaya
Tionghoa. Dari sini dapat diketahui bahwa walau pengaruh Islam sudah kuat namun
dalam kehidupan masyarakat kepercayaan terhadap budaya lain dan mitos tetap
ada, tidak hilang. Tampak bahwa masyarakat kita pada masa itu sangat tolerir
dalam menerima berbagai budaya dan kepercayaan, sehingga mereka dapat
menyandingkan dan menganut berbagai pengaruh baik mitos, agama, maupun
kepercayaan dalam kehidupannya.
Tema seperti tempayan yang diulas
ini membuka jalan untuk menemukan posisi dari kajian-kajian yang selama ini
dianggap tidak menarik untuk dikaji secara mendalam. Dengan adanya warna baru
ini seakan mampu mengisi sisi-sisi yang selama ini kosong dan kekurang
lengkapan yang terasa hambar karena warna yang sama dari tema-tema yang senada.
Hasil dari kebudayaan manusia yang selama ini kurang dianggap bermakna ternyata
membawa banyak nilai yang menerangkan jalan dalam memngintai masa lampau.
Dari
uraian tentang tempayan tersebut, kita dapat melihat betapa luas jangkauan dari
sebuah sumber tradisional yang selama ini kurang dimaknai mendalam dalam
penginterpretasiannya. Ini menegaskan bahwa tanpa sumber arsip pemerintah
sejarah masih bisa dikuak. Sudut ini justru mampu memunculkan perspektik lain
yang mewakili budaya local dan menembus berbagai aspek kehidupan.
Secara
menyeluruh kelima teks yang menjadi bahasan, mampu mencerminkan jenis sastra
yang berlaku pada masa itu. Dan menampilkan beberapa aspek bahasa melayu
sebagai bahasa sastra, politik dan hukum serta bahasa komunikasi.[10] Dan dapat pula untuk mengetahui tentang
sastra melau lama yang memiliki peran penting dalam khazanah sejarah bahasa
Indonesia.
Penggunaan
sumber-sumber local ini membuktikan bahwa kita sejak awal telah memiliki
sumber-sumber yang dapat menjelaskan tentang masyarakat kita. Dalam penulisan sejarah
local akan sangat dapat di pahami kelokalannya secara arif dan bijk apabila
menggunakan sumber-sumber local juga. Jadi secara otomatis akan semakin
menampakkan esensi dari kelokalannya sendiri.
Kesimpulan
Setelah menilik dari awal hingga akhir dari
karya yang ditulis oleh Henri
Chambert–Loir ini sangat menarik. Dimana terdapat tema-tema yang jarang
diangkat kepermukaan, diabaikan oleh orang kebanyakan. Namun Henri mampu
menggali dan mengkaji dengan rinci dan jelas dengan menggunakan sumber-sumber
lokal. Ini seakan membuktikan bahwa sumber-sumber local yang selama ini banyak
dihindari mampu dan dapat dijadikan sebagi sumber utama.
Tema-tema yang diulas seperti
tempayan salah satunya membuka jalan untuk menemukan posisi dari hal-hal yang
selama ini dianggap tidak penting dan tidak menarik untuk dikaji secara mendalam.
Adanya warna baru ini seakan mampu mengisi sisi-sisi yang selama ini kosong dan
kekurang lengkapan yang terasa hambar karena warna yang sama dari tema-tema
yang senada. Hasil dari kebudayaan manusia yang selama ini kurang dianggap
bermakna ternyata membawa banyak nilai yang menerangkan jalan dalam memngintai
masa lampau. Memperjelas akan identitas ke-Indonesiaan.
Dari
uraian tersebut, kita dapat melihat betapa luas jangkauan dari sebuah sumber local
tradisional yang selama ini kurang dimaknai mendalam dalam
penginterpretasiannya. Ini menegaskan bahwa tanpa sumber arsip pemerintah
sejarah masih bisa dikuak. Sudut ini justru mampu memunculkan perspektik lain
yang mewakili budaya local dan menembus berbagai aspek kehidupan.
Dengan
demikian diharapkan dapat memotivasi para sejarawan untuk tidak berputus asa
dan percaya diri untuk terus mengungkap sejarah kita, menganalisis dengan
melibatkan dan menggunakan karangan-karangan local dengan telaten, teliti dan
terperinci, sehingga historiografi kita dapat terus berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Loir, Henri
Chambert. Sultan, Pahlawan dan Hakim.
Jakarta: KPG,École française d’Extrême-Orient, Masyarakat Pernaskahan
Nusantara, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta. 2011.
Nordholt, Henk
Schulte., Bambang purwanto, dan Ratna Saptari. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan. 2008.
P. Swantoro. Dari
Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG . 2002.
[1] Artikel ini ditulis bersama Marie-France Dupoizat dan pertama
terbit dalam majalah Archipel (No.
66, 2003, h. 113-160) dengan judul “Le jarres de Bornéo d’après un
texte malaise de 1839”. Dan di baca penulis dalam Henri Chambert-Loir, “Sultan,
Pahlawan dan Hakim”, (Jakarta: KPG,École française d’Extrême-Orient, Masyarakat
Pernaskahan Nusantara, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta, 2011),
halaman 111-152.
[2] Lihat Henk Schulte Nordholt, Bambang purwanto, dan Ratna Saptari
“Memikir Ulang Historiografi Indonesia” dalam
buku Perspektif Baru Penulisan
Sejarah Indonesia,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka
Larasan, 2008), halaman 14.
[3] Dalam artikel “Kesadaran Dekontruktif
dan Historiografi Indonesiasentris” oleh Bambang Purwanto, hal. 2.
[4] Henri Chambert-Loir, “Sultan, Pahlawan dan Hakim”, (Jakarta:
KPG,École française d’Extrême-Orient, Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta, 2011), halaman 7.
[5] Ibib.
[6] Di dalam bab ini dijelaskan bahwa kedua peneliti tidak dapat dapat
memastikan bahwa teks yang sedang dikaji tersebut merupakan salinan seutuhnya
dari naskah aslinya, buku pegangan tenteng tempayan tersebut., Ibib., halaman 116.
[7] Ibid.,halaman 111.
[8] Ibid. halaman 114.
[9] Ibid.,halaman.112-113.
[10] Ibib, halaman 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar