Halaman

Kamis, 17 Januari 2013

Tugas Akhir: Mengali Yang Terabaikan

Tiyas Dwi Puspita
 (12/340431/PSA/07415)

Pendahuluan
            Tulisan ini tercetus dari sebuah artikel pendek “TEMPAYAN KALIMANTAN MENURUT SEBUAH TEKS MELAYU TAHUN 1839”[1] yang menurut saya merupakan suatu tema yang unik dalam sejarah, lain dari kebanyakan. Dan lebih berkembang lebih luas terkait dengn buku ini secara utuh, buku “Sultan, Pahlawan dan Hakim”. Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya tema-tema yang diambil dalam penulisan sejarah adalah tema-tema besar, seperti tokoh-tokoh atau pristiwa-peristiwa besar yang dianggap lebih menarik minat dan menjual. Tulisan sejarah seperti kebanyakan, membuat hal-hal yang terabaikannya yang dianggap hal-hal kecil yang tentu sebenarnya merupakan komponen dari peristiwa sejarah juga. Artikel pendek ini seakan mengingatkan kita tentang hal-hal yang terabaikan, yang jarang ditengok dan mendapat sorotan. Hal-hal yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam historiografi kita. Dengan melihat dengan mendetail ternyata dari tema ini ditemukan berbagai hal-hal yang menarik dan menambah pengetahuan tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat kita di masa lalu.
Sebagai sejarawan, dalam menulis kita sering terbentur pada masalah sumber. Dengan melihat artikel-artikel ini kita dapat belajar bagaimana kita bisa tidak harus bergantung pada arsip negara. Tulisan ini membuktikan dengan membukakan pemikiran kita tentang kemungkinan menulis sejarah tanpa hanya bergantung pada arsip Negara (colonial), sebagai ‘fakta-fakta yang dapat dipercaya’.[2] Untuk menulis hal-hal baru ada kendala terkait dengan sulitnya sumber penulisan namun apabila kita melihat lebih luas tidak sedikit karya sastra yang bisa dijadikan sumber. Fiksi dan fakta sejarah tidak dapat begitu saja  secara kaku diasosiasikan  hanya dengan salah satu di antara keduanya, yaitu hanya berkaitan dengan sastra atau hanya dengan sejarah.[3]
Dalam buku yang inspiratif ini juga terdapat karya sastra yang dijadikan sumber, tetapi tentunya diperhatikan dari segi sejarah. Seperti yang telah kita ketahui, sastra dan sejarah telah lama menjadi bahan perdebatan yang terus-menerus dalam bidang penelitian tentang sastra-sastra klasik Nusantara, oleh karena semua teks penting yang berkaitan dengan sejarah suatu kerajaan juga merupakan karya sastra.[4] Walaupun mempunyai unsur subjektivitas yang sangat kental, Tradisi penulisan tradisioanl yang sering diartikan sebagai karya sastra tidak lantas dapat diabaikan begitu saja. Seperti pendapat Taufik Abdullah yang dikutip Bambang Purwanto, melalui karya sastra kita dapat memahami proses masa lalu dan menangkap kembali struktur waktu dari realitas.

Menggali Yang Terabaikan
Buku dengan judul Sultan, Pahlawan, dan Hakim ini merupakan kumpulan dari berbagai tema yang jarang mendapatkan sorotan dari masyarakat luas dan jarang juga menarik minat sejarawan untuk menggali tentang hal-hal tersebut. Adapun bab-bab di dalam buku ini membahas lima teks melayu yang diedit dan dijadikan sumber data, atau sedikitnya diselidiki dan dibahas sebagai sumber data.[5] Dan yang perlu diketahui bahwasanya teks-teks itu mengandung informasi yang tidak terdapat dalam sumber lain.
Perkembangan historiografi sekarang yang memperkenankan penggunaan sumber-sumber tradisional sebagai sumber sejarah telah memberikan angin segar bagi dunia historiografi. Dewasa ini, mulai banyak ditemukan sejarawan yang mulai berani menggunakan sumber lokal sebagai sumber utama penelitiannya.
Sejarah kita nampak tidak utuh, menghambat dalam membaca dan mempelajari realita. Seakan-akan sejarawan tidak adil dalam kinerjanya seperti tidak memberi porsi untuk menyajikan kehidupan masyarakat. Perlu ada banyak yang di benahi dalam pola pikir kita dalam menulis obyek sejarah. Dan buku ini membantu membenahi dan membuka jalan ke arah yang lebih luas tentang penulisan, pemaknaan sejarah, sumber sejarah, dan obyek-obyek yang bisa menjadi tema sejarah sendiri.
Kajian yang ditulis oleh  Henri Chambert–Loir bersama dengan Marie-France Dupoizat ini sangat menarik. Teks Melayu yang menjadi bahasan dijelaskan secara mendetail dan terperinci. Walau tidak keseluruhan sejarah dan rincian tentang tempayan dapat terpecahkan karena memang tidak semua dijelaskan dalam teks yang diteliti atau diketahui oleh penulis.[6] Namun sebagai peta atau pedoman yang sistematis bagi penggemar tempayan baik pedagang maupun pembeli tempayan untuk lebih mengenali jenis tempayan dan harganya, pada masa teks tersebut digunakan, tentunya teks ini sangat besar manfaatnya. Untuk menjelaskan tentang periode, teks melayu  ini cukup terang karena tertera tahun di dalamnya, 1839. Dalam teks juga mencantumkan nama pemilik yaitu Mahbud, yang kemungkinan juga penyalinnya atau bahkan pengarangnya.[7]
            Ke dua peneliti dalam memetakan penjelasannya dalam tulisan artikel tentang teks melayu ini cukup baik. Dari deskripsi artikel ini dijelaskan kajian asal usul dan guna dari tempayan sebagai pokok bahasan, dan terdapat rincian naskah melayu dan pengertiannya (ada beberapa yang ambigu dan memang tidak terdapat dalam teks melayu yang kedua peneliti ketahui). Peneliti berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang bisa dipahami orang banyak. Isi dari teks melayu ini sangat baik untuk masanya, apabila melihat dari masa tersebut kiranya penulis memiliki pengetahuan yang tinggi serta wawasan yang luas dan cerdas. Pembuat petunjuk tentang tempayan ini mampu menjelaskan dan menggambarkan secara fisik mulai dari ukuran, bentuk, sampai hiasan-hiasan yang tertera pada tempayan yang ada pada masa itu, selayaknya seseorang yang mampu mendesain perabot. Dan juga terdapat penomoran pada teks sehingga pengguna teks dapat membaca secara runtut. Ini menunjukkan bahwa pembuat teks melayu tersebut cukup intelek pada masanya, sehingga mampu menggambarkan apa yang terlihat dari sebuah tempayan secara tersurat. Si pembuat teks juga mengungkapkan pernah mendampingi pejabat tinggi kesultanan Pontianak. Hal ini menguatkan bahwa penulis teks melayu tersebut termasuk golongan intelektual pada masa itu.
            Artikel ini memuat bahwa dari melihat kepemilikan tempayan, kita dapat mengetahui tatanan sosial yang terdapat di masyarakat, sehingga status sosial seseorang dapat diidentifikasi. Masyarakat pada masa itu memiliki kecenderungan mengumpulkan tempayan sebagai symbol martabat.[8] Dengan demikian masyarakat menjadikan kepemilikan tempayan sebagai gengsi atau gaya hidup. Semakin berharganya tempayan yang dimiliki maka ia semakin dipandang.
            Selain dari guna tempayan itu sendiri, hiasan-hiasan yang terdapat pada tempayan memiliki makna yang turut menentukan nilai dari tempayan. Symbol yang paling menarik dan memiliki makna yang unik adalah naga. Naga dalam budaya masyarakat Tionghoa merupakan hewan yang dapat menjadi perantara antara langit dan bumi. Berkaitan dengan tempayan berhiaskan naga yang digunakan sebagai tempat untuk orang mati, naga di sini berfungsi sebagai penghubung antara orang yang hidup dengan yang mati.[9] Beberapa mitos dan keajaiban yang berkaitan dengan ratu Campa dan Majapahit juga mempengaruhi nilai dari tempayan. Jadi dapat disimpulkan bahwa mitos masih mewarnai kehidupan masyarakat pada masa itu dan selain itu, kebesaran kerajaan Majapahit mendapat tempat hingga masyarakat pelosok Kalimantan.
            Pada masa itu juga terdapat kisah yang menarik tentang perdagangan tempayan, di Kalimantan, yaitu terdapat penipuan dalam jual beli tempayan. Perkara ini cukup serius dan bahkan sampai dipengadilan raja Charles Brooke,dan pelaku penipuan mendapat hukuman selama dua tahun. Masalah ini terbongkar karena peran para ahli pribumi yang memiliki pengetahuan mendalam tentang tempayan. Ini menunjukkan bahwa telah ada atau terdapat kemajuan hukum dan system peradilan, baik pidana maupun niaga.
            Dari teks Melayu dan terjemahannya tersebut, nampak jelas penulis menggunakan huruf Arab dan gaya bahasa yang sangat Islami. Namun dari sudut pandang lain terkait dengan tempayan - tempayan yang populer pada masa itu, tersirat pula bahwa masyarakat meyakini mitos-mitos dewa, sehingga dalam ritual kematian mereka masih menggunakan tempayan berhias naga  sebagai tempat mayat, seperti yang telah disinggung sebelumnya kepercayaan tentang naga sendiri merupakan budaya Tionghoa. Dari sini dapat diketahui bahwa walau pengaruh Islam sudah kuat namun dalam kehidupan masyarakat kepercayaan terhadap budaya lain dan mitos tetap ada, tidak hilang. Tampak bahwa masyarakat kita pada masa itu sangat tolerir dalam menerima berbagai budaya dan kepercayaan, sehingga mereka dapat menyandingkan dan menganut berbagai pengaruh baik mitos, agama, maupun kepercayaan dalam kehidupannya.
            Tema seperti tempayan yang diulas ini membuka jalan untuk menemukan posisi dari kajian-kajian yang selama ini dianggap tidak menarik untuk dikaji secara mendalam. Dengan adanya warna baru ini seakan mampu mengisi sisi-sisi yang selama ini kosong dan kekurang lengkapan yang terasa hambar karena warna yang sama dari tema-tema yang senada. Hasil dari kebudayaan manusia yang selama ini kurang dianggap bermakna ternyata membawa banyak nilai yang menerangkan jalan dalam memngintai masa lampau.
Dari uraian tentang tempayan tersebut, kita dapat melihat betapa luas jangkauan dari sebuah sumber tradisional yang selama ini kurang dimaknai mendalam dalam penginterpretasiannya. Ini menegaskan bahwa tanpa sumber arsip pemerintah sejarah masih bisa dikuak. Sudut ini justru mampu memunculkan perspektik lain yang mewakili budaya local dan menembus berbagai aspek kehidupan.
Secara menyeluruh kelima teks yang menjadi bahasan, mampu mencerminkan jenis sastra yang berlaku pada masa itu. Dan menampilkan beberapa aspek bahasa melayu sebagai bahasa sastra, politik dan hukum serta bahasa komunikasi.[10] Dan dapat pula untuk mengetahui tentang sastra melau lama yang memiliki peran penting dalam khazanah sejarah bahasa Indonesia.
Penggunaan sumber-sumber local ini membuktikan bahwa kita sejak awal telah memiliki sumber-sumber yang dapat menjelaskan tentang masyarakat kita. Dalam penulisan sejarah local akan sangat dapat di pahami kelokalannya secara arif dan bijk apabila menggunakan sumber-sumber local juga. Jadi secara otomatis akan semakin menampakkan esensi dari kelokalannya sendiri.

Kesimpulan
            Setelah menilik dari awal hingga akhir dari karya yang ditulis oleh  Henri Chambert–Loir ini sangat menarik. Dimana terdapat tema-tema yang jarang diangkat kepermukaan, diabaikan oleh orang kebanyakan. Namun Henri mampu menggali dan mengkaji dengan rinci dan jelas dengan menggunakan sumber-sumber lokal. Ini seakan membuktikan bahwa sumber-sumber local yang selama ini banyak dihindari mampu dan dapat dijadikan sebagi sumber utama.
            Tema-tema yang diulas seperti tempayan salah satunya membuka jalan untuk menemukan posisi dari hal-hal yang selama ini dianggap tidak penting dan tidak menarik untuk dikaji secara mendalam. Adanya warna baru ini seakan mampu mengisi sisi-sisi yang selama ini kosong dan kekurang lengkapan yang terasa hambar karena warna yang sama dari tema-tema yang senada. Hasil dari kebudayaan manusia yang selama ini kurang dianggap bermakna ternyata membawa banyak nilai yang menerangkan jalan dalam memngintai masa lampau. Memperjelas akan identitas ke-Indonesiaan.
Dari uraian tersebut, kita dapat melihat betapa luas jangkauan dari sebuah sumber local tradisional yang selama ini kurang dimaknai mendalam dalam penginterpretasiannya. Ini menegaskan bahwa tanpa sumber arsip pemerintah sejarah masih bisa dikuak. Sudut ini justru mampu memunculkan perspektik lain yang mewakili budaya local dan menembus berbagai aspek kehidupan.
Dengan demikian diharapkan dapat memotivasi para sejarawan untuk tidak berputus asa dan percaya diri untuk terus mengungkap sejarah kita, menganalisis dengan melibatkan dan menggunakan karangan-karangan local dengan telaten, teliti dan terperinci, sehingga historiografi kita dapat terus berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Loir, Henri Chambert. Sultan, Pahlawan dan Hakim. Jakarta: KPG,École française d’Extrême-Orient, Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta. 2011.
Nordholt, Henk Schulte., Bambang purwanto, dan Ratna Saptari. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan. 2008.
P. Swantoro. Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG . 2002.



           



[1] Artikel ini ditulis bersama Marie-France Dupoizat dan pertama terbit dalam majalah Archipel (No. 66, 2003, h. 113-160) dengan judul “Le jarres de Bornéo d’après un texte malaise de 1839”. Dan di baca penulis dalam Henri Chambert-Loir, “Sultan, Pahlawan dan Hakim”, (Jakarta: KPG,École française d’Extrême-Orient, Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta, 2011), halaman 111-152.
[2] Lihat Henk Schulte Nordholt, Bambang purwanto, dan Ratna Saptari “Memikir Ulang Historiografi Indonesia” dalam  buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan, 2008), halaman 14.
[3] Dalam artikel “Kesadaran Dekontruktif dan Historiografi Indonesiasentris” oleh Bambang Purwanto, hal. 2.
[4] Henri Chambert-Loir, “Sultan, Pahlawan dan Hakim”, (Jakarta: KPG,École française d’Extrême-Orient, Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat-UIN Jakarta, 2011), halaman 7.

[5] Ibib.
[6] Di dalam bab ini dijelaskan bahwa kedua peneliti tidak dapat dapat memastikan bahwa teks yang sedang dikaji tersebut merupakan salinan seutuhnya dari naskah aslinya, buku pegangan tenteng tempayan tersebut., Ibib., halaman 116.
[7] Ibid.,halaman 111.
[8] Ibid. halaman 114.
[9] Ibid.,halaman.112-113.
[10] Ibib, halaman 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar