Halaman

Kamis, 17 Januari 2013

The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography ( Anthony H. Johns)


Nama  : Selfi Mahat Putri
Nim     : 10/306215/PSA/02239

        Anthony H. Johns adalah seorang professor emiritus di National University of Australia. Ia mendapatkan gelah Ph.D., dari  School of study Oriental and African di Universitas London. Dia telah menerbitkan banyak tulisan baik dalam bentuk jurnal maupun buku, Anthony banyak menulis mengenai kesusastraan di kawasan Asia khususnya Melayu.  Ia menulis tesis tentang Sufism in World Melayu (1954) dan dalam The Journal of Asian Studies Vol.24, Anthony H. John menulis tentang Peranan Struktur Organisasi dan Mitos Dalam Historiografi Jawa. Dia membahas mengenai historiografi tradisional Jawa, Pararaton dan Babad Tanah Jawi.
         Naskah Pararaton menceritakan perjalanan Ken Angrok, penemu dinasti Singosari dan Majapahit, sebelum kebangkitan dan keruntuhannya di tahun 1222.  Bagaimana Ken Angrok, dalam inkarnasi sebelum itu di mana ia menjadi raja, menawarkan dirinya sebagai pengorbanan manusia untuk Yamadipati, Dewa Pintu Jawa, untuk menyelamatkan  umat manusia dari kematian. Sebagai hadiah, ia berjanji bahwa setelah kematiannya ia akan kembali ke surga Wisnu dan selanjutnya akan terlahir kembali sebagai orang sakti di Singosari. Menurut Anthony, hal inilah yang kemudian mengakibatkan bahwa naskah Pararaton tidak dapat diabaikan karena ketika pengantar naskah pararaton tidak bisa dibedakan antara fakta dan fiksi, atau fantasi dan kenyataan. Tetapi setelah  terbentuk struktur pemerintahan atau kerajaan, kita bisa melihat fakta-fakta sejarah mengenai Ken Angrok dan kerajaannya melalui sumber-sumber berupa prasasti dan sumber-sumber Cina.  
         Sedangkan Babad Tanah Jawi yang  merupakan bentuk tulisan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) yang telah ditandai oleh  penulisan sejarah Jawa dari abad ketujuh belas dan seterusnya. Cerita tentang babad dimulai dari Adam, dilanjutkan dengan silsilah sinkretis dewa Hindu dan Islam, lalu ditambah dengan cerita petualangan dewa-dewa di bumi, penemuan kalender, dan penempatan wisnu sebagai otoritas atas semua hantu dan roh dari Jawa. Puncaknya dengan turunnya Batara Brahma ke Jawa untuk menjadi keturunan bangsawan Jawa,  yang juga merupakan keturunan dari pandawa, dihormati sebagai leluhur dari semua raja-raja Jawa.  Titik sejarahnya  dalam hal ini adalah pendiri Negara Mataram Jawa Tengah oleh Senapati pada tahun 1582, yang negara mencapai puncaknya di bawah Sultan Agung, cucu Senapati itu.  Babad Tanah Jawi ini merupakan naskah resmi Sultan Agung yang dikeluarkan tahun 1633. Babad ini dibuat karena merupakan perintah dari  Sultan Agung untuk mendukung integrasi magis Sultan Agung. Babad yang ditulis sebelum Sultan Agung bukan untuk menggambarkan masa lalu tapi lebih dongeng tentang magis. Bagian awal babad membicarakan kebenaran historis dapat ditemukan. Walaupun kadang kala tertutupi dari cerita fiksi yang ditulis. Babad merefleksikan berbagai distribusi berbagai budaya tradisional Jawa, unsur-unsur budaya baru. Semacam penggabungan Hindu, Islam dan budaya nenek moyang yang masih bertahan.
Jika Pararaton, dengan kualifikasi, dapat diadakan untuk melambangkan historiografi Jawa dari periode Singhasari-Majapahit (1222-1451), Babad tanah jawi  merupakan bentuk tulisan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Walaupun kita ketahui bahwa historiografi tradisional Jawa ini dimulai atau dibubuhi dengan cerita-cerita fiksi atau fantasi mengenai kekuasaan seorang raja untuk melegitimasi kekuasaannya yang digambarkan bahwa raja itu adalah seorang titisan dewa yang memiliki ilmu yang diperintahkan turun ke bumi untuk menjaga perdamaian. Tetapi lebih dari pada itu, dari historiografi tradisional Jawa ini, Pararaton  dan Babad Tanah Jawi  kita bisa melihat fakta atau bukti-bukti sejarah mengenai kejayaan kerajaaan-kerajaan Jawa. Perbandingan-perbandingan teks antara Pararaton dan babad mengindikasikan ada sesuatu sifat dari kelanjutan dan perubahan masyarakat Jawa. Fungsi makro dan mikro sangat umum antara  Pararaton dan babad. Perbedaan lainnya adalah cara dimana kualitas keduanya di indikasikan.
         Kedua naskah ini yang merupakan historiografi tradisional Jawa dikategorikan sebagai karya sastra Indonesia. Bukan berarti karya sastra tidak bisa dijadikan sumber penulisan sejarah. Seperti yang dikatakan CC Berg bahwa nilai historis dari sebuah karya sastra adalah bahwa dokumen-dokumen tersebut bisa ditafsirkan dalam hal pola budaya masyarakat Jawa ketika karya tersebut diproduksi. Oleh karena itu seorang sejarawan harus bisa menangkap atau melihat fakta dari historiografi tradisional ini dan tugas sejarawanlah  untuk melakukan kritik dan membandingkannya dengan sumber-sumber yang lain.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar