Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

The Survival of Asian Values as Zivilianistickritik (Thompson) and Asian Values and South East Asian Histories (TN.Harper)


Nama         : Suriani
NIM            : 12/338550/PSA/7236
Asian Values and Southeast Asian History
     Orientalisme adalah gaya berpikir yang berdasar pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara Timur (the Orient) dan Barat (the Occident)[1]. Orientalisme adalah cara Barat memandang Timur dan juga digunakan orang Barat untuk mendominasi dan menghegemoni dunia Timur. Hegemoni tersebut terdapat dalam berbagai bidang, baik itu ekonomi, budaya dan juga ide-ide atau gagasan-gagasan berpikir. Sehingga memunculkan pembedaan nilai-nilai barat (Eropa) dan nilai-nilai timur (Asia) . Penulisan sejarah (Historiografi) juga mendapat pengaruh atas orientalisme tersebut, terutama dalam masalah interpretasi penerapan nilai-nilai di dalamnya.
            Jika orientalisme adalah sebuah cara Barat menilai Timur, maka Asian Values adalah kebalikannya. Orientalis menganggap bahwa timur adalah keterbelakangan dan Eropa lebih maju. Dan Pendapat Asia tentang Barat adalah bahwa Barat itu sesuatu yang menakutkan seperti obat-obatan terlarang, orangtua tunggal, AIDS dan juga inses. Saling bertentangan sekali pandangan “mereka”.
Selanjutnya, nilai-nilai Asia muncul sebagai reaksi terhadap dominasi nilai-nilai Barat. Thompson mengatakan bahwa nilai asia adalah kritik atas westernization. Yang kemudian disebutnya sebagai Zivilizationskritik, dan berfungsi untuk membentuk sebuah cultural particularism. Thompson juga menyebutkan bahwa ada dua bentuk nilai-nilai asia, yaitu developmental and post-developmental.[2] 
            Westernization yang dimaksud oleh Thompson kemudian juga disebut oleh Harper sebagai sebuah identitas tentang ke“modern”an. Modernisasi- modernisasi di Asia justru menyebabkan kehancuran lembaga dan cara hidup tradisional yang sering menimbulkan disorganisasi, kekacauan, dan anomi. Perilaku menyimpang dan kenakalan meningkat. Ketidakselarasan di sektor ekonomi dan tidak sinkronnya perubahan di berbagai subsistem menyebabkan pemborosan dan ketidakefisienan[3]. Maka dari itu nilai-nilai Asia menolak hal tersebut.
            Walau begitu, bagi sejarawan tidak selamanya hal tersebut harus ditolak. Sejarawan melihat bahwa bagaimanapun ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan, seperti bentuk baru cara memproduksi dan juga cara/metode perdagangan yang baru serta modernitas itu sendiri sebagai sebuah ide. Ide-ide tersebut juga masuk ke dalam penulisan sejarah. Interpretasi sejarah melalui Clifford Geerz, James Siegel, Ben Anderson dan lainnya mulai berbeda dari consensus sejarah Barat.
            Sebuah konstruksi sejarah Asia Tenggara baru terbentuk dengan hadirnya interpretasi-interpretasi  dalam teks-teks sejarah Asia Tenggara. Teks tersebut bergerak dari penulisan yang bersangkutan dengan mitos ke penulisan sejarah yang baru tentang pengalaman hidup manusia secara nyata. Penulisan sejarah yang tumbuh dari hasil penolakan nilai barat, tidak sepenuhnya bisa lepas dari pengaruh nilai barat tersebut. Hal ini terjadi karena dalam penulisan sejarah di Asia Tenggara masih menggunakan sumber-sumber milik Barat.
            Dari perdebatan tetang nilai-nilai Asia dan Barat memunculkan penulisan sejarah (Historigraphy) di Asia dan Asia tenggara  yang berasal dari konstruksi colonial dan penolakan terhadap sejarah colonial.
Perkembangan penulisan sejarah Asia Tenggara tidak lepas dari pengaruh Barat, ketika  tahun 1980 orang Barat menulis dengan pendekatan sejarah sastra maka di Indonesia juga memulai penulisan sejarah yang sama melalui seorang novelis, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Selanjutnya , penulisan sejarah bukan semata-mata hanya proyek “elit” tertentu, karena nilai-nilai Asia tersebut di Indonesia muncul sebuah biografi dan penulisan sejarah baru yang kontekstual, kaya akan symbol, dengan inovasi bahasa, dan berbagai macam representasi yang independen dan menyatu.
            Nilai-nilai asia yang bisa dilihat dalam tulisan ini adalah bagaimana jejak-jejak sejarah, baik  lisan maupun tulisan, audio maupun visual dan narasi –narasi sejarah colonial maupun nasionali, yang ditulis oleh orang asing mupun local dijadikan suatu tulisan yang berarah kepada jiwa identitas budaya Asia itu sendiri dengan konteks kekinian dan interdesipliner. Tidak salah  kita bersumber pada arsip colonial, yang penting kita bisa melihat pentingnya nilai kebudayaan dan sejarah di Asia dan Asia tenggara sehingga muncullah identitas kawasan berupa peradaban yang dibentuk oleh sejarah Asia itu sendiri. Dan nilai-nilai Asia tetap muncul dan bertahan.


[1] Edward W.Said. Orientalisme. (Penerbit Pustaka : Bandung, 2001). hal 3
[2] Mark. R. Thompson. The Survival of Asian Values as Zivilianistickritik.
[3] Sztomka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008), hal 157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar