Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Dekolonisasi Metodologi oleh Linda Tuhiwai Smith


Nama            : Suriani
NIM               : 12/338550/PSA/07236

 Imperialisme, Sejarah, Teori dan Penulisan
            Istilah imperialisme adalah istilah yang cenderung mengerikan bagi bangsa yang terjajah dan akan mengarah kepada istilah lain yang juga sama mengerikannya, yaitu kolonialisme. Imperialisme digunakan untuk mengartikan beberapa dimensi seperti, sebagai ekspansi ekonomi yang mengarah pada penaklukan, eksploitasi, distribusi dan perampasan, selanjutnya imperialisme sebagai penundukan Others, selain itu MacKanzie mengatakan juga bahwa imperialisme sebagai ideology kompleks yang memiliki ekspresi cultural dan intelektual. Imperialisme memunculkan manusia modern, negara modern dan juga ilmu pengetahuan. Setidaknya itulah imperialisme dalam pandangan Eropa, namun harus ada imperialisme lain dalam pandangan bangsa timur sebagai bangsa yang terjajah sebagai pembandingnya. Istilah imperialisme itu dijadikan sebagai satu bidang pengetahuan diskursif, yang menunjuk pada wacana postcolonial dan melihat segala sesuatunya dari sisi yang berlainan dari sisi yang digunakan oleh bangsa barat. Dan selanjutnya kajian mengenai ketimuran (oriental) bermunculan, sebagai suara yang tersembunyi, suara itu kini angkat bicara mengenai eksistensinya. “Timur” yang selama ini hadir bukanlah seperti “timur” dalam konstruksi Barat. Muncul citra baru tentang timur yang diciptakan oleh timur itu sendiri.
Ketimuran atau lokalitas, tidaklah sebagai natives/objek, melainkan sebagai subjek. Mitos, dongeng, dan lain sebagainya yang menyimbolkan ketimuran, tidak lagi berdiri menurut cara pandang barat dan kita yang mengikutinya, yakni sebagai ketidaksadaran kolektif masyarakat, akan tetapi memandangnya sebagai rasionalitas tersendiri yang gagal ditangkap oleh bangunan grand narative barat. Dekonstruksi adalah sebuah langkah yang tepat dalam memberikan alternatif perpektif dalam melihat “kesejarahan” sehingga melihat sejarah bukan lagi sebagai masa lalu akan tetapi sebagai masa kini dan melahirkan sebuah proyeksi kedepan.
Imperialisme dan kolonialisme adalah bagian yang terintegral. Kolonialisme menjadi  citra imperialisme. Edward W. Said, dalam buku yang berjudul, Power and Culture : Interview with Edward W. Said, mengatakan bahwa kolonialisme memproduksi pengetahuan dan kebudayaan. Namun itu tidak berarti bahwa citra imperialisme itu menjadi baik karena mengahasilkan pengetahuan dan kebudayaan seperti yang dikatakan Edward W. Said tersebut.  Inilah yang menjadi pokok kajian dari diskursus post kolonialis, dan selalu berhubungan dengan identitasnya.


Selanjutnya, mengambil dari konsep kuasa Foucoult, yang menyatakan bahwa kuasa terdapat dimana-mana dan berada dalam segala bentuk apapun. Maka kita sedikit melakukan renungan atas penelitian dan penulisan sejarah bangsa terjajah. Penelitian dan penulisan sejarah bangsa terjajah juga bisa mendapat pengaruh akan kuasa tersebut. Nicholas B. Dirk dalam tulisannya Kolonialisme dan Kebudayaan, mengatakan bahwa kita sekarang dapat berpikir bahkan percaya bahwa kolonialisme adalah tempat berkisar sebuah kebudayaan. Artinya adalah bahwa penelitian antar disiplin tentang sejarah dan masyarakat-masyarakat colonial merupakan dasar landasan untuk kemajuan-kemajuan teoritis yang penting dalam membangun suatu “antropologi historis yang kritis”.
Namun, dekolonisasi yang muncul untuk menuntut adanya kebebasan dengan cara apapun, baik itu fisik, sosial, ekonomi, cultural maupun psikologis menurut Fanon tidak tertata, sehingga tujuannya yang lain, untuk mengubah tatanan dunia akan sulit untk dicapai.
Tulisan, sejarah, dan teori menjadi bagian penting untuk melihat sejauh mana pencapaian dekolonisasi itu bisa dicapai oleh bangsa-bangsa yang terjajah. Karena teori, sejarah dan tulisan adalah pencerminan superior atas barat terhadap timur. Untuk menghilangkan superior tersebut, bangsa terjajah harus mampu untuk mengeluarkan tulisan, sejarah dan teori dari framework bangsa barat. Namun hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya usaha tersebut sudah dilakukan oleh bangsa terjajah, dimulai dengan melontrakan kritik terhadap cara sejarah bangsa terjajah diceritakan oleh bangsa penjajah. Muncul keinginan bangsa terjajah untuk memperbaiki citra primitive atau tidak baik mereka yang selama ini diciptakan oleh bangsa penjajah. Mereka ingin menulis dan menceritakan nasib dan sejarah mereka sendiri.
Menulis dalam bahasa penjajah sama artinya dengan mengagungkan mereka, sedangkan menulis bagi bangsa terjajah adalah perjuangan anti imperialis. Menulis sejarah hari ini adalah bagian dari luas perjuangan untuk otoritas kultural di mana di dalamnya bersaing ideologi dan institusi yang berusaha untuk membentuk representasi dari masa lalu. Selain sejarah, teori yang digunakan untuk memahami realitas dan membuat asumsi dan prediksi tempat tinggal kami “bangsa terjajah” juga menjadi bagian dalam upaya pencapaian dekolonisasi metodologi dalam penulisan bangsa terjajah. Teori memberikan ruang bagi bangsa terjajah untuk menrencanakan, menata strategi, dan menguasai control lebih besar atas perlawanan yang bangsa terjajah.
Jika penelitian merupakan medan perjuangan bagi bangsa terjajah untuk mewujudkan dekolonisasi, maka untuk pencapaian tujuan tersebut bangsa terjajah harus bisa untuk menciptakan teori, penulisan dan sejarahnya sendiri. Namun perjuangan itu tidak harus dimulai dari nol. Bangsa terjajah masih bisa menggunakan yang baiknya dari bangsa penjajah. Karena tidak semua yang dilakukan bangsa penjajah adalah tidak baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar