Halaman

Kamis, 17 Januari 2013

RUANG POLITIK DALAM HIKAYAT HANG TUAH(Dalam Buku Sultan, Pahlawan dan Hakim) Oleh : Henri Chambert-Loir


Nama  : Selfi Mahat Putri
Nim     : 10/306215/PSA/02239
Henri Chambert-Loir sendiri adalah peneliti di Ecole Française d’Extrême-Orient sejak 1971. Henri telah menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis sekitar enam karya sastra Indonesia (antara lain Perjalanan Penganten karya Ajip Rosidi dan Para Priyayi karya Umar Kayam) dan menerjemahkan beberapa karya ilmiah Prancis ke dalam Bahasa Indonesia (salah satunya Le Candi Sewu karya Jacques Dumarsay). Buku Sultan, Pahlawan dan Hakim  ini menawarkan referensi yang menarik tentang sejarah melayu di Indonesia.
Dalam buku Sultan, Pahlawan dan Hakim, Henry Chambert Loir juga menulis “Ruang Politik dalam Hikayat Hang Tuah”. Hikayat ini menarik karena epos melayu abad ke 17 ini adalah karya sastra tetapi diperhatikan dari sini dari segi sejarah. Teks ini juga menampilkan beberapa aspek bahasa melayu: bahasa sastra,politik dan hukum serta bahasa komunikasi, yaitu bahasa yang dipakai begitu orang ingin melampaui dimensi lokal. Sekalipun menggabungkan antara fakta dan fiktif, menggambarkan situasi politik masa itu ketika Malaka mulai tumbuh menjadi negeri yang kuat berinteraksi dengan Majapahit hingga negeri tetangganya Trengganu, Brunei, Aceh dan Patani.
Sosok Hang Tuah dalam naskah Melayu itu menurut pengamatan Henri digambarkan sebagai rakyat jelata, patriot, prajurit tangguh, diplomat handal, sekaligus pedagang yang berjiwa petualang. Hubungan Malaka-Majapahit merupakan hubungan yang rumit. Sultan Malaka memperlakukan negara asing seperti Siam, India, Tiongkok Istambul dengan rendah hati, tetapi hirarki tidak dipersoalkan. Sebaliknya dengan Majapahit hal tersebut tidak kelihatan. Malaka takluk pada Majapahit. Majapahit adalah satu-satunya negara asing yang dikunjungi sendiri oleh Sultan Malaka, bahkan dua kali. Padahal Sultan Malaka tidak pernah keluar negeri dan selalu mengutus orang lain untuk misi persahabatan dan perdagangan dan perlawatannya ke Majapahit merupakan pengecualiaan yang sangat bermakna. Adapun Hang Tuah sebagai tangan kanan Sultan sampai lima kali ke Majapahit. Diceritakan dia bertemu dengan Raja Seri Betara dan Patih Gajah Mada. Diceritakan Sultan menikahi puteri Majapahit dan memberikannya dua putra, yaitu Raden Bahar dan Raden Bajau. Namun ada kalanya Majapahit juga mengirim orang untuk membunuh Sultan Malaka. Di antaranya Taming Sari yang bisa dibunuh oleh Hang Tuah.

Setelah Sultan, bendahara dan Hang Tuah telah meninggalkan jabatan mereka dan menjauhi dunia untuk menyepi sebagai pertapa, seorang kapten portugis datang ke Malaka dan membeli tanah di Malaka dengan harga yang sangat mahal. Lalu yang cukup luas itu dibangun sebuah benteng yang dipersenjatai oleh meriam. Portugis pun menghancurkan kota Malaka sehingga permaisuri dan semua penduduknya melarikan diri.

Epos ini merupakan karya sastra orang-orang Melayu, yang hampir sama dengan historiografi tradisional lainnya seperti babad dan pararaton di Jawa berikan fakta dan fiksi yang begitu kuat. Epos yang memaparkan kehidupan kesultan Malaka, sejak berdiri sampai dikalahkan Portugis. Kedua peristiwa ini selalu ditandai dengan dua gejala yang serupa. Ketika sultan yang masih memrintah Bentan, sedang berburu diiringi oleh banyak pengikutnya, seekor pelanduk putih membuat dua anjingnya lari terbirit-birit, lalu menghilang entah kemana. Maka sultan memutuskan akan mendirikan sebuah kota baru disitu. Inilah asal usul Malaka. Pada akhir cerita, mahkota Sultan jatuh di laut dan seekor buaya putih menghalangi Hang Tuah untuk mendapatkannya kembali. Itulah pertanda kejatuhan Malaka. Cerita-cerita ini penuh sejarah mengenai awal berdirinya kerajaan Malaka sampai dia jatuh karena kalah dengan Portugis, tetapi sejarah yang ada ditampilkan dalam bahasa-bahasa sastra yang penuh makna dan simbolik.

Hikayat Hang Tuah  memberikan gambaran tentang ruang politik Melayu sekitar abad-16. Namun penjelajahan ruang itu oleh tokoh tunggal (Hang Tuah) bersifat fiktif. Dan deskripsi beberapa tempat berupa khayalan. Jadi, ruang itu sebenarnya ruang ideal. Oleh karena itu ia semakin mencerminkan konsepsi orang Melayu tentang dunia geografis serta kekuatan-kekuatan politik yang harus mereka hadapi.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar