Halaman

Jumat, 25 Januari 2013

THE FINAL PAPER - HISTORIOGRAFI MUHAMMADIYAH DI MATA SEJARAWAN LOKAL DAN ASING: PERKEMBANGAN TEMA, LOCUS DAN TEMPUS KAJIAN (SEBUAH KAJIAN HISTORIOGRAFIS AWAL)

Ghifari Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)

Pengantar
Muhammadiyah sebagai sebuah fakta historis banyak dikaji oleh sejarawan asing maupun lokal. Organisasi Islam yang berdiri pada 1912 ini bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan dan keagamaan. Muhammadiyah didirikan oleh Raden Ngabei Achmad Dahlan, seorang pribumi Jawa yang menjadi abdi dalem agama di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat[1]. MC. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2005) mengkategorikan organisasi yang berdiri di kampung Kauman ini sebagai salah satu organisasi modern di Indonesia yang paling penting di awal abad XX[2]. Alasannya, kelahiran Muhammadiyah berada di posisi in the right place and time dalam menjawab permasalahan masyarakat Hindia-Belanda khususnya di Yogyakarta. Akibat kolonialisme dan stratifikasi kelas sosial yang dibedakan kepada bangsawan dan orang biasa, masyarakat membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan yang lebih. Tentunya, juga misi keagamaan yang menjadi tujuan utama didirikannya organisasi ini.
Apabila dirunut, kajian tentang Muhammadiyah bisa dikategorikan antara sejarah sosial ataupun sejarah agama, ataupun bisa digabungkan antara keduanya menjadi sejarah agama dengan pendekatan teori sosial[3]. Kuntowijoyo mengajak melihat sisi lain dari sejarah agama. Dari satu sisi memang cenderung normatif, namun agama ini juga merupakan sebuah institusi sosial. Terlebih ketika ingin melihat organisasi agama seperti Muhammadiyah sebagai gerakan sosial yang membawa perubahan sosial dalam sebuah masyarakat[4].
Menurut Kuntowijoyo, setidaknya ada dua model perubahan sosial bisa dilakukan ketika mengkaji jenis sejarah seperti ini untuk Muhammadiyah dan organisasi agama serupa, yakni model evolusi sejarah dan model kekuatan sejarah. Model yang pertama bisa dilihat dari perubahan birokrasi organisasi, perubahan kelas simpatisan, perubahan lokasi ataupun perubahan orientasi pendidikan. Sedangkan model yang kedua, contohnya organisasi dan modernisasi, organisasi dan konflik dengan organisasi lain, organisasi dan entrepreneur ataupun orang-orang kreatif, juga organisasi dan masyarakat industri.[5] Tema tentang Muhammadiyah memang sangat luas untuk dikaji.
Terkait tujuan pragmatis sebagai tugas akhir mata kuliah historiografi, paper sederhana ini berusaha mengembangkan analisa saya sebelumnya atas artikel prakata dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) karya Ricklefs dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium ke Imperium (1987) karya Sartono Kartodirjo. Dalam analisa artikel sebelumnya, saya membandingkan sudut pandang dua sejarawan lokal dan asing itu terkait konsepsi “modern” dan “baru” dalam sejarah Indonesia. Dalam paper ini, saya mencoba menggunakan pisau yang sama yakni perspektif sejarawan lokal dan asing namun digunakan untuk melihat hal yang berbeda, yakni terkait historiografi Muhammadiyah.
Menurut saya, kajian historis Muhammadiyah menarik untuk dilihat dalam aspek historiografis. Pasalnya, selain alasan yang dikemukakan Ricklefs yang menganggap bahwa Muhammadiyah adalah organisasi paling penting yang pernah tumbuh dan berkembang Indonesia, Muhammadiyah hingga 100 tahun usianya telah menghasilkan gerakan filantropi yang sedikit banyak telah ikut menyumbang dalam perubahan sosial di Indonesia dalam kurun satu abad terakhir ini[6]. Mitsuo Nakamura pun mengamini pernyataan Ricklefs tersebut bahwa saat ini Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama menjadi organisasi paling penting dalam perjalanan Indonesia[7]. Itulah mengapa studi tentang Muhammadiyah telah marak dikaji di berbagai jurusan Asia Tenggara ataupun Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Eropa, Amerika dan Australia.
Ulasan majalah Tempo Edisi 14-20 November 2011 yang mengatakan bahwa pengkajian sejarah Indonesia di beberapa universitas di luar negeri mulai sepi peminat, bolehlah menjadi indikator bahwa bisa jadi aspek kajian tentang Indonesia sudah mulai menyempit dan tidak lagi menarik[8]. Namun, kaitannya dengan Muhammadiyah studies, dinamika organisasi yang terus bergeliat menjadikan banyak aspek yang masih bisa dikaji, khususnya aspek historis. Belum habisnya kajian tentang Muhammadiyah terbukti dengan terselenggaranya The International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM) dengan tema Discourse on the Search for a Renewed Identity of Muhammadiyah for its Post-Centennial Era di Universitas Muhammadiyah Malang, 29 November-2 Desember 2012 yang lalu. Seminar itu menghadirkan 59 peneliti yang mempunyai spesifikasi dalam kajian tentang Muhammadiyah dalam berbagai bidang, termasuk sejarah[9].
Paper ini mencoba melakukan kajian historiografis perkembangan studi tentang Muhammadiyah dengan melihat perkembangan tema, locus dan tempus yang dipilih para peneliti, terutama yang telah ditulis sebagai desertasi doktoral.
Terkait dengan tema, akan diklasifikasikan sesuai dengan aspek, misal sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sedangkan temporal, akan dibedakan berdasarkan periodesasi perkembangan Muhammadiyah yang terkait dengan perkembangan politik di Indonesia, yakni Awal berdiri, Hindia-Belanda, Jepang, Pergerakan Nasional, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Sedangkan spasial, akan dibagi berdasarkan lingkup kajian Yogyakarta, Jawa non-Yogyakarta dan luar Jawa.
Pemetaan minat kajian ini menjadi penting dalam rangka melihat tema, temporal maupun spasial apa saja yang telah diteliti dan yang belum diteliti? Apa kecenderungan peneliti lokal dan asing terhadap tema, spasial dan temporal kajian mereka tentang Muhammadiyah? Diharapkan, aspek-aspek yang masih belum diteliti bisa menjadi pertimbangan para peneliti sejarah Muhammadiyah berikutnya untuk dipilih sebagai subjek penelitian mereka.aHaH


“Muhammadiyahnis”
Jika ada istilah Indonesianis bagi para peneliti tentang Indonesia, terminologi “Muhammadiyahnis” juga tentu bisa dipakai untuk melabeli para peneliti tentang Muhammadiyah[10]. Desertasi pertama yang mengaji tentang Muhammadiyah lahir di Universitas Cornell pada 1963 oleh Deliar Noer dengan judul The Rise and Development of the Modernist Muslim Movement in Indonesia during the Dutch Colonial Period (1900-1942). Muhammadiyah memang belum menjadi kajian utama dalam studi Deliar Noer ini karena memang dia juga memasukkan organisasi modern Islam di Indonesia yang lain. Selain Muhammadiyah, Noer juga mengulas Serikat Islam dan Persis. Walaupun begitu, kajian Deliar Noer ini menginspirasi peneliti-peneliti setelahnya untuk mengulas gerakan Islam modern di Indonesia, khususnya Muhammadiyah.
Peneliti yang bisa dikatakan pertama kali mengulas Muhammadiyah untuk desertasi sebagai aspek tunggal kajian adalah Alfian. Desertasi yang berjudul Islamic Modernism in Indonesian Politics: the Muhammadijah Movement during the Dutch Colonial Period (1912-1942), dipertahankan di Universitas Winconsin-Madison pada 1969. Alfian lebih mengulas aspek politik Muhammadiyah sebagai gerakan kaitannya dengan pendudukan Belanda. Menariknya, kedua disertasi di atas memiliki temporal yang sama, yakni memulai kajiannya pada awal abad XX dan membatasi hingga berakhirnya periode Kolonial Belanda. Sepertinya, pandangan post-kolonialisme atas apa yang terjadi pada Muhammadiyah di era kolonial menjadi isu yang menarik. Kajian gerenal tentang Muhammadiyah inilah yang mengawali kajian para “Muhammadiyahnis” lokal.
Pada perkembangannya, pada dekade berikutnya, kajian Muhammadiyah mulai menarik perhatian peneliti asing. Peneliti yang tercatat sebagai “Muhamamdiyahnis” asing pertama yakni Mitsuo Nakamura dengan desertasi di Universitas Cornell  dengan judul The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town pada 1976. Desertasinya mengaji tentang Muhammadiyah di Kotagede, sebuah wilayah di selatan Yogyakarta, yang dahulu pernah menjadi ibukota kerajaan Mataram Islam. Berbeda dengan desertasi Deliar Noer yang memilih aspek yang lebih umum, aspek lokalitas Muhammadiyah dipilih oleh Nakamura. Muhammadiyah di Kotagede memang menarik untuk disimak. Bagaimana sebuah organisasi reformis yang puritan bisa memperoleh banyak pengikut di sebuah tempat yang menjadi pusat klenik. Sebagaimana yang diketahui, sebagai bekas ibukota kerajaan Mataram, Kotagede masih menyimpan heritage barupa makam raja dan kerabat Kerajaan Mataram Islam.
Selain yang dikaji oleh ketiga peneliti tersebut, kajian tentang Muhammadiyah pada kurun 1980an hingga 2000an terus berkembang. Temanya pun semakin beragam. Terkait pada peneliti Muhammadiyah dari mancanegara, Ahmad Najib Burhani membuat daftar beberapa peneliti asing yang pernah mengkaji tentang Muhammadiyah, antara lain Clifford Geertz, Herman L. Beck, Hisanori Kato, Howard M. Federspiel, James L. Peacock, John R. Bowen, Julia Day Howell, Eunsook Jung, Kim Hyung-jun, Leslie H. Palmier, M. B. Hooker, Pieternella van Doorn-Harder, dan Selly White[11]. Tentu tidak semua dari nama-nama itu mengkaji aspek historis Muhammadiyah, aspek lain seperti antropologi, sosiologi, politik dan budaya juga menjadi spesifikasi sebagian “Muhammadiyahnis” itu.
Bagaimana dengan ‘Muhammadiyahnis’ lokal? Deliar Noer dan Alfian memang memulai kajian tentang Muhammadiyah untuk desertasi, namun jauh sebelum mereka, sebetulnya Muh. Ali Mukti (1957) telah menyelesaikan tesis MA dengan judulThe Muhammadiyah Movement: A Bibliographical Introduction. Setelah Ali Mukti, Murni Djamal (1975) dan Muhammad Idris (1976) juga menyelesaikan MA dengan judul Dr. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century dan Kiyai Haji Ahmad Dahlan, His Life and Thought dan disusul. Ketiganya menyelesaikan tesis di McGill, Montreal, Canada.
Kurun 1980an memang cukup sepi pengkaji Muhammadiyah baik untuk tesis maupun desertasi. Tercatat hanya satu Tesis MA dari periode ini yakni milik Titi Supratignyo (1980) yang berjudul A study of alternative schooling in Indonesia: the Muhammadiyah schools in Central Java and Yogyakarta region. Setelah itu, tren kajian Muhammadiyah baik Tesis maupun Desertasi kembali ramai pada kurun 1990an. Dimulai dari, oleh Muhammad Sirajuddin Syamsuddin dan Muslich Shabir (1991) dan dilanjutkan Achmad Jauniuri pada 1992. Din Syamsuddin, nama pendek Muhammad Sirajuddin Syamsuddin yang kini menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menulis desertasi dengan judul Religion and politics in Islam: the case of Muhammadiyah in Indonesia's New Order di University of California. Sedangkan Achmad Jainuri menulis The Muhammadiyah movement in twentieth-century Indonesia: A socio-religious study di McGill University dan Shabir menulis The educational reform of the Muhammadiyah movement in Indonesia: a reflection of Muḥammad ʻAbduh's influence di University of Utah.
Setelah lama tidak dituangkan dalam desertasi oleh ‘Muhammadiyahnis’ asing, kajian Muhammadiyah kembali diminati, kali ini oleh Sally Jane White (2004) dan Hyung-Jun Kim (2007). Kedua-duanya di Australia National University. White menulis desertasi dengan judul Reformist Islam, Gender and Marriage in Late Colonial Dutch East Indies, 1900–1942 sedangkan deseritasi Kim berjudul Reformist Muslims in Yogyakarta Village: the Islamic transformation of contemporary socio-religious life.
Ada yang menarik apabila dilihat berdasarkan universitas tempat lahirnya desertasi tersebut. Tren kajian tentang Muhammadiyah ternyata dimulai dari univeristas-universitas di Amerika Serikat. Kurang lebih selama 30 tahun, mulai tahun 1960an hingga 1990an, kajian historis tentang Muhammadiyah dikaji di  univeristas-universitas di Amerika Serikat seperti Cornell, Wisconsin-Maddison, Harvard, California, Temple dan McGill. Apabila dicermati judul-judul dari desertasi yang dipertahankan di sana, ada kecenderungan bahwa Cornell dan Wisconsin-Maddison lebih mengkaji aspek historisnya, Harvard dan California aspek sosial-politik sedangkan Temple dan McGill aspek religiusnya.
Kurun 1990an kajian tentang Muhammadiyah juga mulai berkembang di Eropa. Tahun 1994, Irwan Abdullah mempertahankan desertasi Antropologinya di Universiteit van Amsterdam dengan judul The Muslim businessmen of Jatinom: religious reform and economic modernization in a Central Javanese town. Selain itu, ditingkat master, Ahmad Najib Burhani (2004) menulis tesis dengan judul The Muhammadiyah's attitude to Javanese culture in 1912-1930: appreciation and tension di Leiden.
Bagaimana dengan skripsi? Saya berkesempatan meneliti data skripsi yang dihasilkan oleh mahasiswa jurusan Sejarah UGM. Memang satu universitas kurang bisa menjadi gambaran yang valid tentang minat penulisan tentang Muhammadiyah di Indonesia, meskipun begitu jurusan sejarah UGM yang berdiri sejak 1952 dan menjadi jurusan sejarah tertua di Indonesia menjadi representasi. Kurang lebih ada sekitar 27 judul skripsi yang mengaji sejarah Muhammadiyah di UGM. 23 diantaranya menyebut langsung kata Muhammadiyah ataupun organisasi sayapnya seperti Aisyiyah. Mereka juga merupakan ‘Muhammadiyahnis’.
Terminologi ‘Muhammadiyahnis’ memang terlalu sempit jika hanya dilabelkan kepada para peneliti yang menulis skripsi, tesis atau desertasi tentang Muhammadiyah. Alasannya, sangat mungkin, sebenarnya seseorang itu punya minat dan ketertarikan dalam kajian Muhammadiyah yang hanya dituangkan tidak dalam skripsi, tesis ataupun desertasi, namun hanya dalam jurnal, paper seminar ataupun liputan jurnalistik saja. Kuntowijoyo misalnya, dalam skripsi, tesis maupun desertasinya, tak sekalipun Kunto menulis tema Muhammadiyah namun dia banyak menghasilkan tulisan tentang Muhammadiyah dari berbagai aspek[12].

Kajian Historis Muhammadiyah: Tema, Locus dan Tempus
Tema: Tren Micro-history dalam Historiografi Muhammadiyah
Banyak lingkup sejarah untuk mengkaji Muhammadiyah. Para peneliti pun hampir sudah menjamah hampir semua lingkup kajian, baik sejarah politik, sejarah ekonomi, dan utamanya sejarah sosial. Dari aspek politik, jika ditinjau dari lahirnya Muhammadiyah pada 1912 ketika kebangkitan nasional berdengung, pilihan Muhammadiyah untuk menjadi organisasi massa sosial-keagamaan dan bukan partai  politik bisa dilihat bagian dari hal tema ini. Sudah ada beberapa kajian yang mengkaitkan Muhammadiyah dengan Serikat Islam. Muhammadiyah lahir tidak jauh dari kelahiran Serikat Islam, bahkan di berbagai wilayah, banyak anggota Muhamadiyah yang merangkap sekaligus sebagai anggota Serikat Islam.Tema ini sudah dibahas Deliar Noer dalam desertasinya The Rise and Development of the Modernist Muslim Movement in Indonesia during the Dutch Colonial Period (1900-1942). Dinamika politik Muhammadiyah di masa Orde Baru juga sudah diulas oleh Din Syamsuddin (1991).
Godaan Muhammadiyah untuk menjadi partai politik dikarenakan potensi yang besar juga pernah dikaji oleh Agusti Riandani (2010), Bayangan Politik dalam Perjalanan Sejarah Muhammadiyah (1937 – 2006). Pun dengan benturan dengan orang-orang Kristen, bahwa gerakan-gerakan Muhammadiyah di awal berdirinya, khususnya di Yogyakarta, juga dibuat dalam rangka membendung kristenisasi akibat kolonialisasi juga menarik perhatian peneliti. Alwi Abdurahman Shihab. (1995) menulis desertasi The Muhammadiyah movement and its controversy with Christian mission in Indonesia di Temple University. Kedekatan Sukarno dan Muhammadiyah juga pernah menjadi perhatian Drakeley yang dituangkan dalam jurnal New Zeland (2010).
Selain itu, perkembangan politik tingkat lokal kaitannya dengan simpatisan Muhammadiyah juga pernah diteliti Mutiah Amini (1994) dengan judul Buruh Perak dan Perkembangan Politik di Kotagede. Suasana perang mempertahankan kemerdekaan di Yogyakarta sehingga memunculkan prajurit-prajurit milisi seperti Askar Perang Sabil yang beranggotakan para simpatisan Muhammadiyah juga menjadi bagian dari kajian politik Muhammadiyah yang pernah diteliti, yakni dari Nur Aini Setiawati (1988) dengan judul Askar Perang Sabil : Studi Sosio – Religius dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta 1945 – 1949.
Terkait dengan aspek ekonomi, dikarenakan perkembangan Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari para peran pengusaha yang ketika itu menjelma menjadi golongan menengah pribumi yang sangat dinamis bergerak, kajian tentang relasi Muhammadiyah dan wirausahawan cukup banyak dilakukan. Dua diantaranya adalah yang telah dilakukan oleh Kuntowijoyo (1991) Muslim Kelas Menengah 1910-1950: Sebuah Pencarian Identitas dan Bambang Purwanto (2000) Merajut Jaringan di Tengah Perubahan: Komunitas Ekonomi Muslim di Indonesia pada Masa Kolonial dan juga dari Dwi Ratna Nurhajarini (1989) tentang Pengaruh Industri Batik Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Pekajangan 1937 – 1952. Desertasi Mitsuo Nakamura (1976) tentang Kotagede pun menyangkut perkembangan ekonomi komunitas Muhammadiyah.
Aspek sosial menjadi aspek yang paling banyak dikaji. Platform Muhammadiyah sebagai organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial-keagamaan banyak mengundang peneliti untuk melihat lebih spesifik penciri Muhammadiyah sebagai gerakan sosial itu. Desertasi Alfian (1969), tesis A. Mukti Ali (1957) dan juga tesis Achmad Jaenuri (1992) The Muhammadiyah movement in twentieth-century Indonesia: A socio-religious study, mengkaji aspek sosial Muhammadiyah. Tak terlupakan, skripsi Ahmad Adaby Darban (1984) yang mengkaji perubahan sosial di Kampung Kauman, tempat lahirnya Muhammadiyah. Dalam tema yang spesifik, skripsi-skripsi di jurusan sejarah UGM yang membahas tentang Muhammadiyah juga didominasi tentang tema sosial ini, antara lain Sejarah Rumah Sakit Umum Pembina Kesejahteraan Umat (RSU PKU) Muhammadiyah Yogyakarta, Berdiri Perkembangan dan Sumbangannya Terhadap Masyarakat Pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (1923 – 1990) yang ditulis seorang mahasiswa Malaysia, Nang Hamiyon binti Nik Salim pada 1992 dan juga Panti Asuhan Putri Muhammadiyah Ngampilan oleh Siti Fatimah (1993).
Khusus pendidikan yang juga menjadi amal usaha sosial Muhammadiyah, selain Sumatera Barat yang ditulis oleh Rahmawati Baharuddin (2000) dengan judul Muhammadiyah di Sumatera Barat dengan judul The Muhammadiyah movement: its rise and development in West Sumatra: a study of Islamic educational reform during the Dutch Colonial periode. Institusi pendidikan Muhammadiyah di Yogyakarta, tempat beridirnya Muhammadiyah mendominasi, antara lain Madrasah Muallimin Muhammadiyah (Ahmad Munajib, 1989), Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah (Salis Musna Ani, 2002), Pondok Pesantren Darul Uluum Muhammadiyah Galur Kulonprogo (Agung Gunadi, 1999) dan Pondok Modern Karangasem Paciran, Lamongan (Hanafi Noor, 1992).
Lingkup kajian politik, ekonomi dan sosial memang sudah banyak dikaji oleh para peneliti Muhammadiyah. Namun sayangnya, aspek kebudayaan yang sebenarnya menjadi kor Muhammadiyah sejak berdiri justru tidak banyak dikaji. Akar gerakan Muhammadiyah yang berbasis kebudayaan yang kini mungkin sudah sedikit bergeser kepada kecenderungan puritan yang anti-kebudayaan lokal menjadi menarik dikaji. Ahmad Najib Burhani (2009) dengan tesisnya di Leiden dengan judul The Muhammadiyah's attitude to Javanese culture in 1912-1930: appreciation and tension, telah memulai dengan sangat baik. Dinamika di dalam Muhammadiyah yang yang saat ini ingin mengembalikan Muhammadiyah ke “khittoh”-nya yang bergerak dalam ranah kultural menjadi menarik untuk dilihat aspek kesejarahannya, terutama dalam aspek sejarah kebudayaan.
Terkait, tren tema penulisan, pada mulanya, kajian tentang Muhammadiyah masih menggunakan tema-tema tentang Muhammadiyah secara umum sebagai organisasi, seperti halnya dalam tulisan A. Mukti Ali (1957), Deliar Noer (1963), dan Alfian (1967). Namun, dalam perkembangannya, Mitsuo Nakamura (1976) mulai memberi corak yang berbeda dengan mengkaji aspek kewilayahan yang lebih mikro. Irwan Abdullah (1994) juga memilih microhistory sebuah kawasan untuk melihat Muhammadiyah pada sebuah lokalitas Muhammadiyah di Klaten. Tren ini terus berkembang, terlebih setelah kajian sejarah sosial yang menekankan kepada wong cilik berkembang di Indonesia pada kurun 1960an hingga saat ini[13]. Kajian tentang Muhammadiyah mulai menyempit pada sebuah lokalitas-lokalitas baik di tingkat desa, kecamatan ataupun kabupaten. Namun, patut disayangkan, terutama pada penelitian skripsi, pilihan untuk memilih topik Muhammadiyah banyak yang terjebak dalam penulisan sejarah institusi tanpa sama sekali memberikan pendekatan multidimensional pada tulisannya. Akibatnya, hasil penelitian dan penulisan mereka hanya sebatas sejarah institusi.
Biografi tokoh-tokoh Muhammadiyah juga mulai diminati beberapa peneliti, seperti Murni Djamal (1975) dan Idris Muhammady (1976). Murni Djamal menulis judul Dr. H. Abdul Karim Amrullah: his influence in the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the early twentieth century sedangkan Idris Muhammady menulis tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan, his life and thought. Keduanya merupakan tesis MA di McGill University Canada. H. Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan HAMKA tidak pernah menjadi ketua umum Muhammadiyah, tetapi tetap menarik beberapa peneliti. Selain biografinya, tafsir terkenal HAMKA yang dinamakan Tafsir al-Azhar juga diteliti oleh Wan Sabri Wan Yusof pada 1997 di Temple University dengan judul Hamka's "Tafsir al-Azhar": Qur'anic exegesis as a mirror of social change. Meskipun kajiannya lebih ke kajian agama yang sinkronis (meluas dalam ruang). Lilis Yuliati (2000) juga pernah menulis biorgafi Ahmad Badawi. Ki Bagus Hadikusumo, wakil Muhammadiyah ketika penandatanganan Piagam Jakarta juga sudah pernah ditulis biografinya oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Masih banyak tokoh Muhammadiyah yang bisa ditulis sebagai biografi, yang tentunya mewakili zaman perkembangan Muhammadiyah.
Tema-tema perempuan dengan keberadaan gerakan sayap wanita Muhammadiyah, Aisyiyah semakin memperkaya kajian Muhammadiyah. Isu pengangkatan harkat kaum wanita yang telah dibangun Muhammadiyah sejak 1914 melalui pengajian Sopo Tresno yang menjadi cikal bakal kelahiran Aisyiyah pada 1917 ternyata juga telah banyak dijamah oleh para peneliti. Kajian tentang gerakan wanita Muhammadiyah oleh orang Indonesia di universitas luar negeri memang baru muncul pada kurun 2000an. Diawali dari Tesis MA Ro’fah di McGill University dengan judul A study of `Aisyiyah: An Indonesian women's organization (1917--1998), Ahmad Ali Nurdin (Univerisity of New England, 2003) menyusul dengan judul The Muslim women's movement in Indonesia: a study of the Aisyiyah organisation, 1966-2001. Namun, sebelum mereka, Lailatul Huda (UGM, 1998) ternyata sudah mengkaji Aisyiyah terlebih dahulu dengan lingkup yang lebih kecil, yakni di Kauman dengan judul Wanita dan Malam: Aisyiah di Kauman Yogyakarta, 1914-1942.
Setelah peneiti Indonesia, peneliti asingpun ikut melihat lebih dekat Aisyiyah. Dimulai dari Sally Jane White (The Australian National University, 2004) dengan judul Reformist Islam, Gender and Marriage in Late Colonial Dutch East Indies, 1900–1942 dan Sefland, Signe (Norwegia University, 2005). 'Aisyiyah og visjonen av det sanne islam: reislamisering gjennom sosialt og religiøst arbeid i Padang, Sumatra. Kajian Aisyiyah yang terbaru adalah dari Siti Syamsiyatun dan  Susan Blackburn (2006) yang menulis Tesis Ph.D di Monash University dengan judul Serving young Islamic Indonesian women: the development of gender discourse in Nasyiatul Aisyiyah 1965-2005.
Kajian Siti dan Susan tentang gerakan wanita muda Aisyiyah yang bernama Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiah), yang juga menjadi underbown gerakan remaja putri Muhammadiyah, telah didahului dan disusul dengan kajian organisai otonom (otonom) Muhammadiyah lain seperti Tapak Suci, Hizbul Wathan dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Kajian itu dilakukan oleh Hasni Utami Nur Aida, 2002; Surti Raharjendra, 1990 dan Ahmad Mujahid Arrozi, 2012. Sejauh pengetahuan saya, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Pemuda Muhammadiyah (PM) belum dikaji secara historis oleh para peneliti, padahal dinamika historis keduanya juga tidak kalah menarik untuk dikaji. IPM didirikan 1961 jelang meletusnya G30S sedangkan PM jauh sebelumnya yakni pada 1932. Majalah Suara Aisyiyah dan Suara Muhammadiyah yang menjadi corong komunikasi dan propaganda organisasi ini juga sudah pernah diteliti.

Locus: Dominasi Kauman dan Yogyakarta
Terkait aspek kewilayahan kajian tentang Muhammadiyah yang pernah dilakukan oleh para peneliti, lingkup Yogyakarta khususnya Kauman menjadi hal yang sangat dominan meskipun dalam judul penelitian mereka menuliskan ‘di Hindia Belanda’ ataupun ‘di Indonesia’. Hal ini bisa dipahami bahwa kemunculan Muhammadiyah pada awal abad XX adalah di Kauman, di tengah-tengah masyarakat yang masih kental dengan penyekutuan Tuhan serta salah kaprah terhadap pengamalan agama. Dengan membawa semangat purifikasi agama dan produk-produk kegiatan sosial, Muhammadiyah menuai pertentangan yang kuat dari masyarakat lokal, ternyata Muhammadiyah dengan berbagai sekolah dan lembaga sosial yang didirikannya memberi dampak yang signifikan dalam perubahan sosial masyarakat. Perubahan sosial di Kauman dan Yogyakarta secara umum menarik para peneliti untuk mengkaji lebih dekat tentang Muhammadiyah. Untuk itulah mengapa lingkup spasial Kauman dan Yogyakarta pada umumnya yang dominan dikaji.
Seiring dengan menyebarnya pengaruh Muhammadiyah di berbagai wilayah lain di luar Yogyakarta, di setiap wilayah tempat berdirinya Muhammadiyah ternyata menyisakan hal yang menarik untuk dikaji. Satu hal yang pasti yang dilihat adalah pertumbuhan gerakan dan dampak sosial dari gerakan Muhammadiyah di berbagai tempat. Pekajangan, Pekalongan dan Jatinom, Klaten misalnya. Nurhajarini (1989) menulis gerakan ekonomi orang-orang Muhammadiyah dan transfer ideologi yang berkembang dalam masyarakat di Pekajangan. Sedangkan Irwan Abdullah (1994) mengulas bagaimana etos kerja wirausahawan pribumi yang berhasil bersaing dengan orang-orang Tionghoa dalam hal perdagangan di Jatinom, Klaten. Selian itu, perkembangan gerakan reformasi pendidikan di Sumatera Barat juga menarik perhatian para peneliti, seperti yang dilakukan Rahmawati Baharuddin (2000).
Sedangkan gerakan Muhammadiyah di belahan Indonesia lain juga pernah dikaji oleh beberapa sarjana, antara lain di Bali oleh I Ketut Ardhana (1985), Pekajangan, Pekalongan oleh Endang Nugrahaeni (1986), Surakarta, Jawa Tengah oleh Ana Dwi Kustiwi (1993), Lamongan, Jawa Timur oleh Mustakim (1995) dan Pati, Jawa Tengah oleh Akhid Masduki (2004). Sedangkan lingkup yang lebih kecil seperti tingkat kecamatan dan kampung pernah diteliti Tsaibun Nuhud (2010) dan Ghifari Yuristiadhi (2011). Tampaknya baru Bali dan Sumatera Barat yang menjadi lingkup spasial penelitian kajian Muhammadiyah di luar Jawa. Jika Sumatera Barat merupakan basis Muhammadiyah, di Bali yang tentu Muhammadiyah merupakan minoritas ternyata juga bisa ditulis menjadi tema kajian. Spasial lain masih sangat banyak yang bisa dikembangkan sebagai kajian historis Muhammadiyah. Sifat sejarah yang unik dan hanya terjadi sekali memungkinkan kajian fenomenologis historis tentang spasial-spasial kajian Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.
Kajian yang lebih luas tentang Muhammadiyah yang terkait dengan kehidupan sosial dan politik tingkat nasional memang belum terlalu banyak dibahas oleh para peneliti. Selain Agusti Riandani (2010) yang mengkaji tentang kebijakan politik Muhammadiyah, belum ada kajian historis yang meneliti Muhammadiyah secara keseluruhan dalam beberapa aspek lain. Ini juga menjadi celah yang bisa dilengkapi oleh peneliti-peneliti selanjutnya. Jika celah ini tidak diisi, kajian Muhammadiyah akan cenderung jauh dari dinamika kebangsaan dan nasional.

Tempus: Variasi Temporal Kajian Muhammadiyah
Menurut Kuntowijoyo, ada dua model yang dikenal dalam ilmu sosial yakni sinkronis dan diakronis. Dalam sebuah model yang sinkronis, masyarakat digambarkan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari struktur dan bagiannya. Pendekatan struktural dan fungsional dalam ilmu-ilmu sosial menyarankan pada model sinkronis yang melihat potret masyarakat dalam keadaan statis. Model sinkronis lebih mengutamakan lukisan yang meluas dalam ruang dengan tidak memikirkan terlalu banyak dimensi waktunya. Sebaliknya, model yang diakronis lebih mengutamakan memanjangnya lukisan yang berdimensi waktu, dengan sedikit saja peluasan ruang[14]. Untuk itu, dalam mengkaji Muhammadiyah sebagai bagian dari Sejarah Sosial yang diakronis, rentang temporal menjadi sangat penting.
Ada beberapa tonggak-tonggak waktu yang telah menjadi pilihan para peneliti dalam membuka dan menutup kajiannya tentang Muhammadiyah. Selain kelahirannya pada 1912 hingga berakhirnya Hindia-Belanda pada 1942, periode Orde Baru pada 1966-1998 juga menjadi periode yang banyak dipakai oleh para peneliti. Selebihnya, momentum munculnya lembaga pendidikan Muhammadiyah ataupun lahirnya organisasi Muhammadiyah di tingkat rating (desa/kampung), cabang (kecamatan) dan daerah (kota/kabupaten) yang dijadikan lingkup temporal oleh para peneliti.
Periode awal berdirinya Muhammadiyah, Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah di tengah situasi dinamika politik Hindia Belanda pasca pemberlakuan politik etis memang menarik untuk dikaji. Namun, memotret Muhammadiyah dengan lensa dinamika perkembangan politik di Hindia-Belanda dan Republik Indonesia pasca kemerdekaan tentu akan semakin memperluas latar belakang kajian yang memang terimbas oleh situasi politik dalam lingkup kewilayahan koloni ataupun negara. Masa pendudukan Jepang, ketika Muhammadiyah termasuk salah satu organisasi yang dibekukan masih belum dipilih para peneliti. Selain tulisan Harry J. Benda tentang Islam pada masa pendudukan Jepang, pembahasan tentang Muhammadiyah masih terlalu kecil. Muhammadiyah di masa Demokrasi Terpimpin Soekarno juga masih menjadi celah penelitian, tentunya selain tema tentang Ahmad Badawi yang diangkat sebagai penasehat Presiden Sukarno dan Kedekatan Sukarno dengan Muhammadiyah ketika menerima penghargaan “Bintang Muhammadiyah” 1962.
Pada periode Demokrasi Terpimpin itu Muhammadiyah menerima pinangan Partai Masyumi bergabung menjadi aliansi Islam. Relasi politik Muhammadiyah dan Masyumi menjadi kajian yang menarik, dan ini belum disentuh banyak oleh peneliti Muhammadiyah. Selebihnya tentu ketika era Reformasi ketika banyak aktivis Muhammadiyah terlibat di dalamnya. Yang terakhir ini tentu jika tidak dipandang terlalu kontemporer. Namun, meskipun begitu, dinamika Muhammadiyah ketika reformasi telah disinggung Ricklefs pada bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
                             
Penutup
Kajian historiografis ini merupakan kajian awal untuk memetakan tema-tema, serta pilihan spasial dan temporal kajian Muhammadiyah di Indonesia. Pilihan-pilihan peneliti lokal maupun asing sebenarnya cukup komplementer. Kecenderungan yang bisa digeneralisasi antara keduanya memang tidak terlalu tampak. Namun, bisa disimpulkan bahwa para peneliti asing ingin melihat dengan lebih spesifik dinamika Muhammadiyah, setelah mereka melihat gambaran Muhammadiyah secara general melalui penelitian A. Mukti Ali, Alfian dan Deliar Noer. Hal ini tampak pada generasi awal peneliti asing tentang Muhammadiyah di Indonesia seperti Mitsuo Nakamura dan James Peacock. Nakamura melihat lokalitas Muhammadiyah di Kotagede, kegiatan yang dilakukan, tokoh-tokoh utama yang menjadi elit lokal dan sebagainya. Peacock bahkan detail melihat bagaimana proses “doktrinasi” simpatisan Muhammadiyah yang dibangun melalui Baitul Arqam, sejenis training perkaderan formal milik Muhammadiyah. Isu-isu besar seperti modernisasi, ijtihad (proses pengambilan hukum) dan gender menjadi minat para peneliti asing itu.
Terkait lingkup spasial dan temporal penelitian, para peneliti asing cenderung memilih periode-periode yang terkait langsung dengan konstelasi politik tingkat nasional. Periode kelahiran Muhammadiyah hingga berakhirnya kolonialisme Belanda pada 1942 menjadi temporal yang paling banyak dipilih oleh peneliti asing. Periode Sukarno juga dipilih oleh peneliti asing untuk melihat Muhammadiyah. Sedangkan peneliti lokal, cenderung lebih beragam. Periode kolonial, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, pasca-Suharto bahkan pada momentum kemunculan Muhammadiyah ataupun lembaga milik Muhammadiyah dalam sebuah lokalitas tertentu.
Objek penelitian yang masih menjadi celah masih cukup banyak, sejarah kebudayaan Muhammadiyah, salah satunya. Selain itu biografi tokoh-tokoh Muhammadiyah di tingkat lokal yang juga membawa dampak atas perubahan sosial di masyarakatnya juga bisa dikaji. Jaringan perdagangan Muhammadiyah antar-kota juga belum dikaji lebih spesifik kecuali jaringan kewirausahaan Muslim. Gerakan mahasiswa Muhammadiyah di Mesir menjelang kemerdekaan ataupun keterlibatan mahasiswa Muhammadiyah dalam malapelata tiga Januari (Malari) misalnya, juga masih bisa diteliti lebih lanjut. Jaringan pesantren Muhammadiyah yang didirikan oleh alumni dari Madrasah Muallimin dan Muhammadiyah, aspek corak pendidikan dan buku-buku yang dipakai, misalnya, juga menjadi celah yang bisa dilihat lebih detail. Tak pelak, Muhammadiyah studies memang belum habis.

Referensi:
Arsip Digital. “Daftar Skripsi Jurusan Sejarah Univeristas Gadjah Mada”.
Arsip Digital. “Daftar Tesis Pascasarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada”.
Burhani, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al-Wasath.
Darban, Ahmad Adaby. 2000. Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang.
Kartodirdjo, Sartono. 2001. Indonesian Historiography. Yogyakarta: Kanisius. Hlm 20.
----------. 1981. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
----------. 1991. Paradigma Islam. Bandung: Mizan.
Nakamura, Mitsuo. “Mencari Identitas dan Arah Baru Muhammadiyah di Abad Kedua”. Kompas, 23 November 2012.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
----------. “Muhammadiyah dan Pemerintah”. Kompas, 21 November 2012
Suara Muhammadiyah, Edisi 02 / 98, 4 - 19 Rabiulawwal 1434 H /16 - 31 Januari 2013, “Muhammadiyah Melangkah ke Dunia Internasional”.
Tempo, 14-20 November 2011. “Liputan Khusus: Republik di Mata Indonesianis”.
www.muhammadiyahstudies.blogspot.com.




[1] Ada perbedaan dalam penyebutan gelar Ahmad Dahlan. Alfian (1963) dalam desertasinya menulis bahwa gelar Ahmad Dahlan adalah Mas sedangkan Najib dalam tesis, berdasar hasil wawancara bahwa gelar Ahmad Dahlan adalah Raden Ngabehi karena. Lihat: Ahmad Najib Burhani. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al-Wasath. Hlm. 55.

[2] M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. (Jakarta: Serambi). Hlm 356.

[3] Ilmu sosial akan memperkaya perbendaharaan pengetahuan tentang manusia. Lihat Sartono Kartodirdjo. 1981. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hlm. 4.

[4] Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana). Hlm166.

[5] Ibid.

[6] M.C. Ricklefs. “Muhammadiyah dan Pemerintah”. Kompas, 21 November 2012

[7] Mitsuo Nakamura. “Mencari Identitas dan Arah Baru Muhammadiyah di Abad Kedua”. Kompas, 23 November 2012

[8] Tempo, 14-20 November 2011. “Liputan Khusus: Republik di Mata Indonesianis”. Hlm. 54-128

[9] “Muhammadiyah Melangkah ke Dunia Internasional”. Suara Muhammadiyah, 02 / 98 | 4 - 19 Rabiulawwal 1434 H or 16 - 31 Januari 2013, hal. 40-41.
[10] Baik peneliti lokal maupun asing dimasukkan oleh penulis ke dalam “Muhammadiyahnis” ini.
[11] www.muhammadiyahstudies.blogspot.com
[12] Lihat Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Intepretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan dan Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid. (Bandung: Mizan).
[13] Sartono Kartodirdjo. 2001. Indonesian Historiography. (Yogyakarta: Kanisius). Hlm 20.
[14] Kuntowijoyo, op.cit., Hlm. 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar