Ghifari
Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)
Sejarah tidak
melulu ditulis berdasarkan sumber-sumber resmi arsip pemerintah ataupun
militer. Sumber-sumber kecil, yang jarang menjadi bagian yang diperhatikan
sejarawan seharusnya sudah mulai dilirik. Dalam kuliah umum di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada, 20 Desember 2012 silam, Michael G. Vann
(Amerika Serikat), Associate Professor di Sacramento State University
mencoba menawarkan alternatif terkait sumber penulisan sejarah, yakni
menggunakan sumber-sumber kartun. Sedangkan Guo Quan Seng (Singapura), kandidat
Ph.D. di University of Chicago menyampaikan apa yang dipahaminya tentang
makna sejarah dan bagaimana memilih topik-topik sejarah sosial yang menggambarkan
kehidupan masyarakat ‘tak berkelas’. Jauh di luar mainstream penulisaan kebanyakan
orang yakni sejarah politik yang berisi kisah-kisah ‘goliath’ (baca: orang
besar). Tulisan ini hanya akan merespon pemaparan Vann.
Sumber-sumber
‘Remeh’
Vann yang
karya-karya akademiknya sangat identik dengan kajian sejarah kolonialisme
Perancis di Vietnam, memberi contoh tulisan yang disampaikannya pada kuliah
umum itu yang berjudul Rat, Rice, and Race. Dia mencoba memaparkan
sebuah kajian metodologis pemilihan sumber penelitiannya yang ditulisnya pada
2003 silam itu. Menurut Vann, kartun yang muncul dalam surat kabar, majalah ataupun
media cetak lain itu dipengaruhi oleh jiwa zaman yang hadir saat kartun itu
dibuat. Di balik kelucuan yang dihadirkan oleh kartun itu, topik atau tema
tertentu sesuai jiwa zaman hadir dalam setiap kartun yang dibuat. Dengan kata
lain, ada mentalitas masyarakat ataupun orang yang menggambar kartun itu yang
tersirat dari goresan-goresan di kartun itu.
Menurut Vann,
secara tidak langsung, kemunculan kartun-kartun itu juga bisa dimaknai sebagai humor
kolonial yang mencerminkan kegagalan kolonialisme membangun mentalitas koloni.
Pihak yang terjajah masih mampu membangun identitas sebagai the colonized
melalui kartun-kartun yang mereka ciptakan. Selain itu, meskipun orang-orang
Vietnam itu dalam posisi terjajah, namun mereka sebenarnya masih memiliki
kebebasan, yakni kebebasan berekspresi yang dituangkan melalui kartun. Dari
kartun itu, mereka bebas menyuarakan aspirasi sampai membahas hal-hal tabu
seperti rasisme kulit putih Amerika dan kulit ‘coklat’ Indo-China dan tentunya
seksualitas. Hal ini senada dengan konsep ‘Historiografi Baru’ yang digaungkan
Bambang Purwanto, Ratna Saptuari dan Henk S. Nordolt yang mendorong penggunaan
sumber-sumber kecil yang jarang dilirik orang seperti film, iklan surat kabar
dan sebagainya untuk menyusun narasi sejarah Indonesia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar