Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

Suatu Passe-Partout Sekitar Penulis-Penulis Sedjarah Tentang Indonesia


Wahyu Setyaningsih
12/339547/PSA/7317




Tulisan G.J. Resink dalam bukunya, Suatu Passe-Partout Sekitar Penulis-Penulis Sedjarah Tentang Indonesia, memberikan penjelasan mengenai penulis-penulis Sejarah pada masa kolonial, terutama yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Menurut saya, yang dimaksudkan dengan passe-partout adalah sebuah bingkai masa lalu dalam menggambarkan tentang sejarah Indonesia. Artinya, pembingkaian yang dilakukan oleh orang-orang Belanda pada waktu itu digunakan sebagai upaya pembatasan dalam menuliskan tentang keadaan Indonesia pada waktu itu. Bingkai yang seperti apa yang dibuat dalam mendiskripsikan sejarah Indonesia? Mengapa pembingkaian itu dilakukan dan bagaimana caranya?
Berdasarkan bacaan tersebut, Resink mengidentifikasikan empat bingkai passe partout. Bingkai pertama, beranekaragamnya kebangsaan para penulis, maka bahasa mereka pun berbeda-beda. Misalanya, orang-orang Belanda berasal dari Eropa dan Indo; orang-orang Inggris, Perancis, Jerman, Swiss, India, Amerika, dan orang-orang Indonesia. Ketika Vlekke dan Van Mook menulis Nusantara dalam bahasa Belanda dan dalam bahasa Inggris, maka hasilnya pun berbeda karena harus disesuaikan dengan bahasa di lingkungan masing-masing. Maka, penulis yang menulis dengan tema yang sama, mempunyai pandangan, pendekatan dan perlakuan yang berbeda, perbedaan itu terlihat dalam bahasa yang digunakan, di samping ada bentuk kepentingan lain dalam penulisan tersebut. Jika kita kritisi penulisan sejarah Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang Belanda, maka bingkai pertama ini memberikan kita penjelasan bahwa tulisan-tulisan orang-orang Belanda pada masa kolonial ini dari segi bahasa yang digunakan menandakan pandangan-pandangan, pendekatan, dan tujuan yang digunakan dalam menuliskan sejarah Indonesia pada masa kolonial. Selain itu, kebangsaan yang berbeda dari para penulis, maka ada perbedaan kejiwaan dari lingkungan mereka masing-masing. Bentuk kepribadian pun berbeda-beda. Maka, para penulis masa kolonial yang berasal dari kebudayaan yang beragam ini memberikan penulisan sejarah Indonesia dari sudut pandang internasional.
Bingkai yang kedua adalah pekerjaan dan minat dari penulis sehingga memengaruhi sudut padang dalam menuliskan sejarah. Bagi orang asli Indonesia, sudut pandang internasional belum tentu cocok dengan sudut pandang nasional Indonesia, bisa saja hal ini justru menjadi bumerang bagi Indonesia, seperti kata pemberontakan dan kata perlawanan. Contohnya, dari sudut internasional pemberontakan adalah kata yang cocok dalam menggambarkan para pahlawan bangsa dalam mengusir penjajah, tetapi jika dipandang dari kacamata nasional kata itu mempunyai penegasian negatif yang justru melemahkan jiwa patriotisme generasi selanjutnya yang membaca sejarah tersebut.
Bingkai yang ketiga adalah organisasi di dalam dan orientasi pada berbagai aliran-aliran ilmu pengetahuan, sehingga diperoleh spesialis-spesialis yang membawa mereka lebih dekat dengan spesialisasi dalam sejarah. hal ini membawa kita pada subyektifitas dan kesiswaan. Pada masa kolonial terdapat dua aliran yang berkembang, yaitu aliran Batavia, aliran Utrech. Aliran-aliran itu dipengaruhi oleh ilmu atau minat dari masing-masing sejarawan tersebut dalam menuliskan sejarah Indonesia pada waktu itu, hal ini bersandar dari data-data yang digunakan oleh sejarawan itu, apakah hanya terpaku dari arsip yang ada tanpa melihat langsung kondisi dari masyarakat pribumi. Maka, kita perlu mengkritisi tulisan-tulisan yang sejarah yang ditulis oleh orang-orang Barat, karena data sangat memengaruhi jenis tulisan, apakah mereka menekan subyektifitasnya atau tidak, atau dapat dikatakan tingkat akademis mereka dan pandangan mereka dalam menuliskan sejarah Indonesia.
Bingkai keempat adalah cara-cara berfikir dan persangkaan-persangkaan sejarah yang subyektifitas kelompok ini yang pada akhirnya menempatkan pada suatu persatuan pada kepentingan suatu kelompok tertentu. Persekutuan kepentingan dalam suatu golongan tertentu, baik itu kasta pemerintahan penjajah, maupun kelas elit nasional, hal  itu akan menjadi khas dari masyarakat ekslusif. Mereka akan menentukan sendiri masa depannya berdasarkan ciri khas dari masyarakat tersebut tanpa pengaruh dari luar. Hal ini perlu dikaji dalam penulisan sejarah Indonesia yang dilakukan oleh penulis dengan bersandar bingkai keempat ini, karena jika hanya berorientasi pada masyarakat penulis saja, maka jauh dari keadaan yang sebenarnya terjadi di daerah pribumi, baik secara mentalitas maupun secara faktual. Kita tahu bahwa sebelum orang-orang kolonial datang ke Indonesia, terlebih dahulu rakyat pribumi telah memiliki sumber sejarah berupa babad yang belum ada campurtangan dari pihak kolonial. Hal ini jika dikaitan dengan bingkai keempat menjadi kontras karena babad menjadi ciri khas Indonesia, sedangkan penulis barat tidak menggunakannya sebagai sumber dalam menuliskan sejarah Indonesia, mereka hanya terpaku dengan sudut pandang nederlansentris, maka perlu dikritisi dalam menggunakan sumber kolonial.
Jika kita merujuk dengan buku yang ditulis oleh H.J. De Graaf yang berjudul Historiografi Hindia Belanda, maka kita akan sedikit banyak setuju apa yang dituliskan oleh De Graaf, salah satunya bahwa seorang sejarawan kolonial harus mempunyai kriteria sebagai berikut: harus mengetahui dengan baik sejarah kolonial Hindia-Belanda dan juga tentang sejarah negara-negara koloni yang lainnya; harus mengerti bahasa-bahasa Belanda dan pribumi (Jawa dan Melayu); harus mengenal dengan baik adat-istiadat, baik dari orang-orang pribumi maupun orang-orang Belanda Kolonial, dan harus tahu psikisnya juga; dan harus mengadakan kunjungan langsung di Indonesia.[1] Disamping itu, De Graaf juga menyebutkan beberapa kelemahan penulisan sejarah pada masa kolonial yaitu sebagai beriku: orang-orang Jawa pada dasarnya suatu bangsa yang bodoh, tanpa orang-orang Hindu mereka tidak bisa mencapai tingkat yang begitu tinggi; orang-orang Jawa dahulunya semua Buddhis dan memeluk agama yang sangat halus; semua bangsa di Nusantara ditempatkan di bawah kekuasaan Nederland, kemudian mereka berjuang mati-matian untuk memperoleh kemerdekaan; J.Pz. Coen yang harus dicontoh karena dianggap sebagai kolonisator sejati; lada yang dikirim Compagnie ke Holland harus mengorbankan pribumi; semua orang Ambon dipermainkan dengan sangat buruk; segala sesuatu yang dicapai adalah hasil kerja orang-orang Jerman; gereja Portugis di Batavia bersalam dari masa Portugis; semua orang Indo-Eropa bersala dari “Jan Fuselier” dan “Baboe Minah”; Deandels hanyalah seorang liar, tetapi raffles adalah kolonisator sejati; Diponegoro dan Trunojoyo merupakan pahlawan kemerdekaan; Cultuurstelsel menyebabkan Hindia lebih miskin 800.000.000 gulden; serta sebelum van Deventer Hindia hanya berfungsi sebagai obyek ekslpoitasi.[2]
Namun, hal di atas harus dikritisai lagi menurut sudut pandang Indonesia sentris, maka historiografi kolonial perlu direvisi lagi agar mendapatkan penulisan yang lebih baik, maka perlu dilakukan langkah yaitu: memperluar scope dengan memperhatikan berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia; menggunakan pendekatan multidimensional; menyusun konseptualisasi sejarah nasional; menggunakan konsep dan teori dari berbagai cabang ilmu sosial; memberi tekanan pada mikro-historis; serta menerapkan sejarah analistis.[3] Maka, historiografi kolonial juga harus memberikan gambaran tentang kehidupan masyrakat pribumi juga, tidak hanya kepentingan kolonial saja.


[1] H.J. De Graaf, Historiografi Hindia Belanda, (Jakarta: 1971), hlm. 30.
[2] Ibid., hlm 31-32.
[3] Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar