Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

Beberapa Aspek Peradilan Agama Islam di Kesultanan Pontianak Tahun 1880-an


Wahyu Setyaningsih
12/339547/PSA/7317




Buku yang berjudul Sultan, Pahlawan dan Hakim Lima Teks Indonesia Lama yang ditulis oleh Henri Chambert Loir terdiri dari lima artikel, salah satunya berjudul “Beberapa Aspek Peradilan Agama Islam di Kesultanan Pontianak Tahun 1880-an”. Artikel ini ber-genre Melayu. Istilah Melayu umumnya terbatas untuk menyebut orang-orang yang tinggal di pantai timur Sumatra serta Kalimantan Barat dan Timur (Wertheim, 1999: 16). Bahasa Melayu digunakan sebagai lingua-franca (Rickleft, 2008: 76-77). Menurutnya hal ini sangat menarik karena melalui naskah-naskah proses peradilan di Kesultanan Pontianak ini dapat memberikan kilasan mendalam tentang masyarakat Pontianak pada akhir abad ke-XIX dari sisi sejarah lembaga hukum, baik jenis kasus yang dibawa ke pengadilan agama, pihak-pihak yang berperkara dan keputusan pengadilan dalam kasus yang spesifik, seperti rakyat yang bersebrangan dengan sultan. Selain itu, yang melatarbelakanginya karena sumbangan berharga dalam mencapai tujuan Menteri Agama untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama ke DPR pada 28 Januari 1989. RUU Peradilan Agama ini merupakan undang-undang yang akan memperluas kewenangan peradilan agama, memandirikannya dari pengadilan umum dan menyeragamkan standar peradilan agama Islam di seluruh negeri.
Henri menggunakan dokumen pengadilan yang diperoleh dari seorang pemuda yang masih kerabat para penguasa pada masa lampau, Syarif Muhammad Yusuf. Naskah Pontianak terdiri kurang lebih 185 folio dengan format 20x35 cm, yang berisi 91 dokumen; tiap dokumen menjadi bagian dari urusan peradilan; dan hanya merupakan potongan dan kepingan dari teks-teks yang lebih besar karena dalam setiap teks tidak berisi semua permohonan, pertimbangan, dan putusan akhir. Dokumen yang diklasifikasikan sebagai arsip tidak dijilid supaya dapat dibaca, tetapi dokumen lain dijilid tanpa urutan tematis atau kronologi. Kertas yang digunakan dalam dokumen buatan Eropa terutama Inggris dan dua pertinganya terdapat cap air berangka tahun (antara 1875-1880). Dokumen-dokumen ini berisi dakwaan yang diajukan warga Pontianak kepada Mahkamah Agama (Raad Agama), kepada Sultan, atau menteri antara 1872-1882, terutama 1881. Syarif Yusuf bin Sultan Syarif Hamid yang menjadi sultan pada 1872-1895. Mahkamah agama Pontianak didirikan pada 1867 dan beberapa waktu lembaga ini menjadi persaingan antara Sultan dan Perdana Menteri (Pangeran Bendahara).
Penulisan naskah-naskah ini menjunjukan bahwa di istana telah ada aktivitas pengarsipan. Dakwaan-dakwaan itu diduga juga ditulis oleh pendakwa sendiri, tetapi ini masih diragukan karena dalam bagian tanda tangan pembuat dakwaan hanya tertulis tanda silang saja dan bahasa yang digunakan formal, sehingga kuat dugaan semua itu ditulis oleh juru tulis istana atau panitera profesional, meskipun tuntutannya berbeda-beda. Di samping itu juga, pada abad 18 jarang penduduk yang telah melek huruf. Biasanya, dakwaan itu dibuka dengan “Dipersembahkan menghadap ke bawah kaos Sri Paduka duli yang maha mulia tuanku Sultan yang bersemayam di atas takhta kerajaan di dalam negeri Pontianak. Ampun Tuanku.”
Pada umumnya kasus yang ada di mahkamah agama pada waktu itu adalah 63% kasus warisan dan perceraian, 37% kewenangan Sultan. Yang menarik adalah tidak ada satu pun kasus yang  mengenai wasiat, sedekah dan wakaf, padahal lazimnya kasus tersebut masuk dalam wewenang mahkamah agama. Sebaliknya, kasus yang seharusnya bukan wewenang mahkamah agama justru masuk ke mahkamah agama, kasus permohonan oleh kepala kampung Wajo, di hilir Pontianak yang berisis seorang pedagang Tionghoa ditempatkan di desanya dengan alasan karena warga desa tidak mampu lagi ke kota unutk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menunjukan bahwa otoritas Sultan sangat dominan dalam pengambil kebijakan, dan mahkamah yang sudah ada pun tidak bisa netral dalam memutuskan perkara.
Dengan demikian, aspek-aspek peradilan yang telah ada di Kesultanan Pontianak tahun 1880-an yang ditunjukan oleh Henri adalah surat-surat dakwaan sebagai salah satu aspek dari prosedur peradilan, tetapi surat-surat dakwaan itu perlu dikritisi lagi karena tidak mengandung informasi mengenai acara persidangan, tanya jawab dengan kedua belah pihak yang berperkara, dengar pendapat pendapat para saksi, pertimbangan para hakim, dan sebagainya. Menurutnya, kebanyakan dari naskah Melayu sering kali naskah tidak sesuai dengan teks. Meskipun demikian, naskah peradilan ini menyajikan tilikan mendalam tentang masyarakat Pontianak pada akhir abad ke-19 yang tidak dapat ditemukan dalam karya sastra lainnya dari periode yang sama. Selain itu, sultan sangat memengaruhi setiap keputusan yang dalam peradilan tersebut, sehingga unsur kekuasaan tetap saja ada dalam pembuatan dokumen. Maka, naskah-naskah melayu itu tetap saja tidak lepas dari kekuasaan raja, pujangga-pujangga istana berpihak pada istana dalam menuliskan peristiwa yang terjadi atau istanasentris, meskipun unsur supranatural sudah tidak dominan seperti pada naskah-naskah Jawa, tulisan yang ada dalam dokumen juga bertuliskan Arab karena pengaruh dari Islamisasi yang sudah masuk ke Nusantara, bahasa dalam dokumen pun tidak hanya Melayu, Arab, Jawa, tetapi Tionghoa pun ada, seperti surat pernyataan oleh Sultan Syarif Hamid Pontianak dan Tuan Residen tentang pengangkatan seorang matoa Bugis di Pulau Sapua Laut. 
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar