Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

Perbadingan Antara Nilai-Nilai Asia dan Sejarah Asia dengan Penulisan Sejarah Indonesia


Wahyu Setyaningsih
12/339547/PSA/7317


Identitas Jurnal yang diperbandingkan:
Penulis            
T. N. Harper
Sue Nichterlein
Judul               
'Asian Values' and Southeast Asian Histories
Historicism and Historiography in Indonesia
Diterbitkan     
The Historical Journal, Vol. 40, No. 2. (Jun., 1997), pp. 507-517.
History and Theory, Vol. 13, No. 3. (Oct., 1974), pp. 253-272.

T.N. Harper menjelaskan dalam tulisan yang berjudul 'Asian Values' and Southeast Asian Histories, mengenai hubungan antara nilai-nilai Asia dan Sejarah Asia Tenggara. Ia menggunakan teori yang dikemukakan oleh Samuel Huntington mengenai benturan peradaban. Huntington memberikan beberapa kesimpulan dalam teorinya, di antaranya adalah peradaban timur sering diidentikan dengan peradaban yang lebih rendah daripada peradaban barat, suatu ketika peradaban timur yaitu Islam dan Konghucu mampu mengalahkan peradaban barat. Namun, yang perlu kita kritisi dari tesisnya Huntington adalah hanya berdasar pada Perang Teluk saja, ia melupakan tentang perang modern yang berhubungan dengan kepentingan negara dan kesenjangan budaya yang terjadi di setiap negara. Huntington juga memberikan kesimpulan bahwa peradaban barat akan mengalami ancaman tentang keekistensiannya dalam dunia, yang mana ia akan digantikan oleh peradaban Konghucu dan Islam. Tesis ini mengalami naik daun ketika terjadi berbagai terorisme yang diidentikan dengan Islam. Hal ini semakin menjadikan ketakutan bagi Barat, maka tesis Huntington dianggap sebagai peringatan bagi barat. Maka, dapat dikatakan bahwa tesis Huntington itu lemah tidak dapat digunakan sebagai teori untuk daerah lain dan waktu lain. Lalu, bagaimanakah nilai-nilai Asia dan sejarah Asia Tenggara itu juga berindikasi mengalami benturan atau mempunyai keterkaitan di antara keduannya?
Meminjam pendapatnya Mahatir bahwa nilai-nilai Asia adalah tantangan bagi neo-imperialisme barat. Selain itu, ia juga memetakan arus besar peradaban baru di Asia dengan kekuatan ekonomi, sosial, dan hagemoni ideologi sehingga munculnya peradaban Asia yang mampu meruntuhkan peradaban barat. Nilai-nilai Asia dalam pandangan sejarah Asia Tenggara ini selalu mengalami perdebatan, seperti tentang sejarah setiap bangsa di Asia Tenggara yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Jika kita menarik garis sejarah pada abad ke XVI sampai XIX yang mana kita tahu bahwa Asia Tenggara menjadi daerah perdagangan terpenting di dunia. Maka, tidak heran berbagai arus modernisasi mulai berkembang dan silang budaya terjadi, baik secara akulturasi maupun asimilasi yang terjadi di negara-negara di Asia Tenggara. Maka, tidak mengherankan jika sebenaranya benturan peradaban sudah terjadi jauh sebelum abad ke XX awal, nilai-nilai Asia dan Sejarah Asia Tenggara mengalami benturan, hanya saja di antara keduanya mempunyai persamaan geografis dan latar belakang historis yang sama, nilai-nilai moral dan etika, serta adat masih dijujung tinggi. Itulah nilai-nilai Asia. Lalu, bagaimanakah dengan modernitas memengaruhi tentang sejarah Asia Tenggara?
Modernitas membawa pada pergeseran intelektual, maka penulisan sejarah Asia Tenggara pun mengalami perubahan. Heper memberikan tiga tema dalam perkembangan sejarah Asia Tenggara. Tema pertama mengenai rekontruksi sejarah Asia Tenggara berdasarkan waktu, maka terdapat tradisi lisan untuk mengungkap sejarah Asia Tenggara. Tokoh yang mempelopori ini adalah Clifford Greetz, Siagel, Shelly Errington, Ben Aderson dan lain-lain. Tema kedua adalah pengaruh dari kolonisasi yang dilakukan bangsa barat dalam penulisan sejarah, maka ada pengaruh eropa sentris dalam sejarah Asia Tenggara. Tema ketiga adalah penulis ulang sejarah setiap bangsa yang sudah tercampur oleh kolonialisme. Maka kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan Herper adalah nilai-nilai asia dalam penulisan sejarah Asia Tenggara adalah perdebatan tentang bentuk-bentuk sejarah yang memberikan ruang kepada masyarakat sipil, tidak hanya kaum elit saja yang ditulis dalam sejarah, Di samping itu juga, dengan adanya benturan peradaban yang ada di setiap negara-negara di Asia Tenggara menjadikan benturan ideologi yang akan menjadikan benturan identitas. Maka, siapa yang mampu mempertahankan identitasnya berarti mampu bertahan dan menjadi penguasa dunia.
Jika kita tarik garis lurus dari posisi Indonesia yang merupakan bagian Asia Tenggara, dan secara historis Indonesia juga mempunyai peran penting dalam Sejarah Asia Tenggara, seperti Kerajaan Majaphit, Singasari dan Melayu mempunyai peran yang penting dalam perkembangan sejarah Asia Tenggara. maka tidak heran jika 'Asian Values' and Southeast Asian Histories dan Historicism and Historiography in Indonesia, mempunyai hubungan yang erat. Kolonisasi yang terjadi di setiap negara, termasuk Indonesia tidak bisa lepas dalam penulisan sejarah Indonesia. Hal inilah yang menjadi menarik ketika kita mengkaji mengenai pandangan hidup dari masing-masing bangsa, karena historiografi kolonial tidak relevan lagi untuk sejarah Indonesia sehingga Indonesia pada tahun 1947 melakukan Seminar Sejarah Nasional pertama di Yogyakarta. Hasilnya adalah pandangan Eropasentris sudah dapat diganti menjadi pandangan Indonesiasentris.[1] Selain itu, pemikiran-pemikiran tentang sejarah Indonesia lebih bersifat filosofis atau teoritis sehingga menimbulkan pemikiran spekulatif yang tidak mampu memberikan manfaat dalam penulisan Indonesia. Maka, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Apa sajakah permasalahan baru tersebut?
Dengan meminjam tulisan Sartono Kartodirjo, maka permasalahan-permasalahan yang terjadi ketika membuat konsep tentang Sejarah Indonesia, adalah 1) mengenai sejarah Nasional sebagai unit sejarah; 2) skala dari sejarah nasional sebagai relasi antara sejarah lokal dan sejarah nasional; 3) perspektif sejarah; 4) penafsiran multidimensional dalam sejarah nasional; 5) sejarah nasionalis.[2] Dari kelima masalah itu, yang paling mendasar adalah sejarah nasional sebagai unit sejarah dan perspektif sejarah. Sejarah sebagai unit historis ini mencakup skope spatial dan skope temporal, terutama dalam menentukan sejak kapan sejarah nasional itu dituliskannya. Dengan mengutip pertanyaan Sodjatmoko bahwa seberapa jauh kategori yang berasal dari perkembangan masyarkat Eropa dapat digunakan dalam memahami perkembangan sejarah masyarakat Indonesia? Hal ini merupakan kritik dalam penulisan sejarah Indonesia yang masih Eropasentris, maka penulisan sejarah harus Indonesiasentris, jika kita kaitkan dengan tulisan Harper menjadi jelas bahwa hal-hal yang berbau eropa harus segera ditinggalkan diganti dengan yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada setiap negara. Dalam hal ini menimbulkan berbagai perdebatan, seperti Resink, Sitorus, R. Moenander, Moh Yamin, Moh Ali, Kartono Hadi, Sumardjo, Nugroho Notosusanto, Sanusi Pane.[3] Hal ini juga dialami oleh Chaudhuri dalam menuliskan sejarah India. Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah kedua tulisan ini saling berhubungan, penulisan sejarah Indonesia harus Indonesiasentris yang berdasar pada nilai-nilai Asia sehingga menumbukan nasionalisme dan subyektifitas harus dikurangi dalam menuliskan sejarah.


[1] Muhammad Yamin, “Tjatur-Sila Chakduniah”, dan prasaran Soedjatmoko, “Merintis Hari Depan”, keduanya dalam Seminar Sejarah, (Yogyakarta, 1958). Karangan-karangan G.J. Resink sejak 1950 terkumpul dalam Indonesia’s History between tha Myths, (The Hague, 1968).
[2] Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 31-41.
[3] Perdebatan mereka tertulis pada setiap karya-karya mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar