Halaman

Jumat, 25 Januari 2013

Smith Linda Tuwai, 1999. Decolonizing Methodologies and Indigenous People.


Ghifari Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)

====================================================================

Tulisan ini merupakan review dua bagian dari buku yang berjudul asli Decolonizing Methodologies and Indigenous People yang ditulis pada 1999. Bab Pendahuluan buku ini mengulas tentang penjajahan pikiran yang dilakukan negeri penjajah dan negara yang dijajah. Sedangkan Bab III mengulas tentang penjajahan pengetahuan yang terjadi pada negara-negara jajahan. Buku ini ditulis dalam perspektif bangsa terjajah. Bagaimanapun penjajahan merupakan periode kelam sebuah bangsa yang terjajah. Buku ini juga menggunakan dikotomi Barat sebagai penjajah dan Timur sebagai bangsa terjajah. Lalu, seperti apa situasi penjajahan “multidimensional” yang dilakukan negara penjajah atas koloninya itu? Bagaimana dampaknya pada penulisan sejarah?

Penjajahan Pikiran
Dampak penjajahan memang menyumbang traumatis yang besar bagi negara yang dijajah. Rasa kemanusiaan acap kali tertikam oleh penjajahan ini. Dalam prosesnya bagaimanapun penjajahan menolak kemungkinan bangsa terjajah bisa menciptakan budaya dan kebangsaan (nation) sendiri. Bangsa yang menjajah selama-lamanya menjaga validitas klaim bangsa terjajah atas eksistensi, tanah, wilayah, hak menentukan nasib sendiri (self-determination) pelestarian bahasa nasional dan berbagai bentuk pengetahuan kultural, kekayaan alam dan sistem kehidupan dalam lingkungan bangsa terjajah.

Cara pandang imperialisme tersebut diabadikan melalui infiltrasi pengetahuan yakni dalam bentuk menghimpun penduduk bangsa terjajah, mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala macam cara Barat, lalu lewat kacamata Barat dikembalikan lagi ke bangsa terjajah. Hal ini mengingatkan pada apa yang disampaikan oleh Edward Said (1961). Said menyebut cara pandang ini sebagai wacana Barat tentang ‘yang lain’ (others). Klaim Barat atas Timur sebagai ‘others’ ini didukung institusi, penghargaan akademik, kosa kata, perumpamaan, doktrin bahkan juga birokrasi klonial dan gaya kolonial. Said menganalisis bahwa proses ini berlangsung antara lain disebabkan oleh pertukaran timbal balik yang simultan antara konstruksi imajinatif terhadap ide-ide tentang Timur.

Berkembangnya penjajahan pikiran dalam tanah jajahan juga ditopang oleh konstruksi skeptis para ilmuwan Barat. Skeptisisme itu itu disokong oleh institusi akademik maupun sponsor korporasi yang mengeluarkan pernyataan tentang Timur yang membawa pandangan miring atas Timur yang sebenarnya bermaksud ingin menguasai Timur. Dalam rangka merealisasikan keinginannya tersebut, Barat terus membangun konstruksi intelektual yang penuh anekdot tentang Timur melalui kajian-kajian resmi mereka. Barat melalui para ilmuwannya mencoba membuat pencitraan bahwa mereka punya niat baik untuk “memperadabkan” koloninya dengan mencoba mengulas kondisi multidimensional dari negara koloninya namun sayangnya, perspektif yang digunakan mereka cenderung subjektif dan jauh dari ‘sebagaimana mestinya’.

Oleh karena itu, tidak salah kiranya sebuah statemen yang menyatakan bahwa “bangsa terjajah adalah bangsa yang paling sering diteliti di seluruh dunia”. Seperti yang diketahui oleh khalayak bahwa sering kali kajian ilmiah tentang tanah koloni adalah sebenarnya bertujuan untuk kepentingan pragmatis negara kolonial. Selebihnya hanya merupakan pemberitahuan kepada orang banyak yang sebenarnya sudah mengetahui, memberikan masukan-masukan yang tanpa makna sehingga terkesan sia-sia.

Smith Linda Tuwai membagi komunitas peneltiia bangsa terjajah menjadi dua: pertama, bekerja sebagai orang dalam (insider), dan kedua, bekerja sebagai orang luar (outsider). Secara simultan, mereka bekerja pada institusi mereka sebagai insider dalam sebuah paradigma atau model penelitian tertentu, juga sebagai outsider karena mereka sering terpinggirkan dan dipandang sebagai wakil dari suatu kelompok minoritas atau kelompok kepentingan lawan. Mengutip Particia Hill, bahwa posisi outsider mereka terbatas dalam posisi mereka dalam penelitian saja.

Terakhir, ada sebuah terminologi yang cukup sensitif kaitannya dengan kajian negara penjajah kepada negeri jajahan yakni kata “indigenous” atau yang biasa diartikan pribumi. Tentu, orang asli dari negara koloni tentulah orang yang terjajah. Bahkan seringkali digambarkan dalam kajian-kajian negara penjajah sebagai orang-orang primitif yang kurang beradab. Kata itu cukup problematis karena punya banyak terminologi turunan yang sebenarnya maknanya sama, seperti first people, native people, first nations, dan peoples of the land. Terminologi itu menghangat dan pertama kali muncul di awal tahun 1970-an. Ketika itu American Indian Movement (AIM) dan The Canadian Indian Brotherhood mencoba mengangkat isu ini sehingga menjadi perhatian khalayak akademisi dari berbagai bidang ilmu.

Penjajahan Pengetahuan
Kolonialisme ternyata juga hadir dalam bentuk penajajahan pengetahuan. Ini menjadi penting karena hanya dengan pengetahuanlah pola piker bangsa yang dijajah bisa dibentuk. Bermula dari zaman pencerahan yang berkembang di negara Barat pada abad ke-14, mereka kemudian merasa sebagai bangsa yang lebih maju, modern dan beradab. Perasaan itulah yang kemudian menimbulkan pelancaran proyek-proyek “pembearadaban” atau “modernisasi” untuk tanah jajahan yang dilancarkan melalui para sarjana Barat.

Masih menurut Edward Said, “superioritas posisional” yang diistilahkannya berguna untuk mengkoptualisasikan cara pengetahuan dan budaya menjadi bagian yang lekat dari imperialisme. Pengetahuan hadir untuk untuk ditemukan, diekstraksi, diambil dan didistribusikan kepada negara jajahan. Proses untuk memedahkan terjadinya hal-hal tersebut sudah diorganisir dan dissitematiskan. Proses memperkaya kajian multidisiplin di tanah jajahan itulah yang disebut “orientalisme”. Barat berharap melalui kajian orientalisme inilah pribumi dihadirkan kembali (represented). Satu hal yang bisa disimpulkan dari penjajahan pengetahuan ini yakni ada keterkaitan antara pengetahuan, penelitian dan imperialisme. Pengetahuan dan sains Barat adalah “warisan” kolonisasi terhadap bangsa-bangsa terjajah. Pengetahuan yang diraih melalui kolonisasi terhadap bangsa jajahan tersebut pada gilirannya dipergunakan untuk menjajah bangsa jajahan itu lagi. Itulah hakikat dari kolonisasi pikiran atau penjajahan pikiran.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar