Ghifari
Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)
====================================================================
Tulisan ini merupakan
review dua bagian dari buku yang
berjudul asli Decolonizing
Methodologies and Indigenous People yang ditulis pada 1999. Bab Pendahuluan
buku ini mengulas tentang penjajahan pikiran yang dilakukan negeri penjajah dan
negara yang dijajah. Sedangkan Bab III mengulas tentang penjajahan pengetahuan
yang terjadi pada negara-negara jajahan. Buku ini ditulis dalam perspektif
bangsa terjajah. Bagaimanapun penjajahan merupakan periode kelam sebuah bangsa
yang terjajah. Buku ini juga menggunakan dikotomi Barat sebagai penjajah dan
Timur sebagai bangsa terjajah. Lalu, seperti apa situasi penjajahan
“multidimensional” yang dilakukan negara penjajah atas koloninya itu? Bagaimana
dampaknya pada penulisan sejarah?
Penjajahan
Pikiran
Dampak penjajahan memang menyumbang traumatis yang besar
bagi negara yang dijajah. Rasa kemanusiaan acap kali tertikam oleh penjajahan ini.
Dalam prosesnya bagaimanapun penjajahan menolak kemungkinan bangsa terjajah
bisa menciptakan budaya dan kebangsaan (nation)
sendiri. Bangsa yang menjajah selama-lamanya menjaga validitas klaim bangsa
terjajah atas eksistensi, tanah, wilayah, hak menentukan nasib sendiri (self-determination) pelestarian bahasa
nasional dan berbagai bentuk pengetahuan kultural, kekayaan alam dan sistem
kehidupan dalam lingkungan bangsa terjajah.
Cara pandang imperialisme tersebut diabadikan melalui
infiltrasi pengetahuan yakni dalam bentuk menghimpun penduduk bangsa terjajah,
mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala macam cara Barat, lalu
lewat kacamata Barat dikembalikan lagi ke bangsa terjajah. Hal ini mengingatkan
pada apa yang disampaikan oleh Edward Said (1961). Said menyebut cara pandang
ini sebagai wacana Barat tentang ‘yang lain’ (others). Klaim Barat atas Timur sebagai ‘others’ ini didukung institusi, penghargaan akademik, kosa kata,
perumpamaan, doktrin bahkan juga birokrasi klonial dan gaya kolonial. Said
menganalisis bahwa proses ini berlangsung antara lain disebabkan oleh
pertukaran timbal balik yang simultan antara konstruksi imajinatif terhadap
ide-ide tentang Timur.
Berkembangnya penjajahan pikiran dalam tanah jajahan juga
ditopang oleh konstruksi skeptis para ilmuwan Barat. Skeptisisme itu itu
disokong oleh institusi akademik maupun sponsor korporasi yang mengeluarkan
pernyataan tentang Timur yang membawa pandangan miring atas Timur yang
sebenarnya bermaksud ingin menguasai Timur. Dalam rangka merealisasikan
keinginannya tersebut, Barat terus membangun konstruksi intelektual yang penuh
anekdot tentang Timur melalui kajian-kajian resmi mereka. Barat melalui para
ilmuwannya mencoba membuat pencitraan bahwa mereka punya niat baik untuk “memperadabkan”
koloninya dengan mencoba mengulas kondisi multidimensional dari negara
koloninya namun sayangnya, perspektif yang digunakan mereka cenderung subjektif
dan jauh dari ‘sebagaimana mestinya’.
Oleh karena itu, tidak salah kiranya sebuah statemen yang menyatakan
bahwa “bangsa terjajah adalah bangsa yang paling sering diteliti di seluruh
dunia”. Seperti yang diketahui oleh khalayak bahwa sering kali kajian ilmiah
tentang tanah koloni adalah sebenarnya bertujuan untuk kepentingan pragmatis
negara kolonial. Selebihnya hanya merupakan pemberitahuan kepada orang banyak
yang sebenarnya sudah mengetahui, memberikan masukan-masukan yang tanpa makna
sehingga terkesan sia-sia.
Smith Linda
Tuwai membagi komunitas peneltiia bangsa terjajah menjadi dua: pertama, bekerja sebagai orang dalam (insider), dan kedua, bekerja sebagai orang luar (outsider). Secara simultan, mereka bekerja pada institusi mereka
sebagai insider dalam sebuah paradigma atau model penelitian tertentu, juga
sebagai outsider karena mereka sering terpinggirkan dan dipandang sebagai wakil
dari suatu kelompok minoritas atau kelompok kepentingan lawan. Mengutip
Particia Hill, bahwa posisi outsider
mereka terbatas dalam posisi mereka dalam penelitian saja.
Terakhir, ada
sebuah terminologi yang cukup sensitif kaitannya dengan kajian negara penjajah
kepada negeri jajahan yakni kata “indigenous” atau yang biasa diartikan
pribumi. Tentu, orang asli dari negara koloni tentulah orang yang terjajah.
Bahkan seringkali digambarkan dalam kajian-kajian negara penjajah sebagai
orang-orang primitif yang kurang beradab. Kata itu cukup problematis karena
punya banyak terminologi turunan yang sebenarnya maknanya sama, seperti first people, native people, first nations,
dan peoples of the land. Terminologi
itu menghangat dan pertama kali muncul di awal tahun 1970-an. Ketika itu American Indian Movement (AIM) dan The Canadian Indian Brotherhood mencoba
mengangkat isu ini sehingga menjadi perhatian khalayak akademisi dari berbagai
bidang ilmu.
Penjajahan
Pengetahuan
Kolonialisme ternyata juga hadir dalam bentuk penajajahan
pengetahuan. Ini menjadi penting karena hanya dengan pengetahuanlah pola piker
bangsa yang dijajah bisa dibentuk. Bermula dari zaman pencerahan yang
berkembang di negara Barat pada abad ke-14, mereka kemudian merasa sebagai
bangsa yang lebih maju, modern dan beradab. Perasaan itulah yang kemudian
menimbulkan pelancaran proyek-proyek “pembearadaban” atau “modernisasi” untuk
tanah jajahan yang dilancarkan melalui para sarjana Barat.
Masih menurut Edward Said, “superioritas posisional” yang diistilahkannya berguna untuk mengkoptualisasikan
cara pengetahuan dan budaya menjadi bagian yang lekat dari imperialisme.
Pengetahuan hadir untuk untuk ditemukan, diekstraksi, diambil dan
didistribusikan kepada negara jajahan. Proses untuk memedahkan terjadinya
hal-hal tersebut sudah diorganisir dan dissitematiskan. Proses memperkaya
kajian multidisiplin di tanah jajahan itulah yang disebut “orientalisme”. Barat
berharap melalui kajian orientalisme inilah pribumi dihadirkan kembali (represented). Satu hal yang bisa
disimpulkan dari penjajahan pengetahuan ini yakni ada keterkaitan antara
pengetahuan, penelitian dan imperialisme. Pengetahuan dan sains Barat adalah
“warisan” kolonisasi terhadap bangsa-bangsa terjajah. Pengetahuan yang diraih
melalui kolonisasi terhadap bangsa jajahan tersebut pada gilirannya
dipergunakan untuk menjajah bangsa jajahan itu lagi. Itulah hakikat dari
kolonisasi pikiran atau penjajahan pikiran.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar