Halaman

Jumat, 25 Januari 2013

D.G. E. Hall, On the Study of Southeast Asian History, “Pacific Affair”, Vol. 33, No. 3, (Sep., 1960), pp. 268-281. - Sue Nichterlein, Historicism and Historiography in Indonesia, “History and Theory”, Vol. 13, No. 3, (Okt., 1974), pp. 253-272.


Ghifari Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)


====================================================================

Tulisan ini mencoba mengkomparasikan dua jurnal D. G. E. Hall dan Sue Nichterlein dengan judul On the Study of Southeast Asian History (1960) dan Historicism and Historiography in Indonesia (1974). Jurnal pertama secara umum menjelaskan tentang perkembangan tema penulisan sejarah tentang Asia Tenggara hingga menjelang 1960, sedangkan jurnal yang kedua lebih mengulas tentang perkembangan historigrafi di Asia Tenggara khususnya di Indonesia pasca 1945. Irisan tema antara kedua jurnal tersebut adalah pandangan para sejarawan tentang kecenderungan tema yang dipilih dan sudut pandang penulisan sejarah Indonesia.

Daya Tarik Kajian Asia Tenggara
Dalam jurnal yang ditulisnya, Hall menutup tulisannya dengan ajakan kepada para sejarawan untuk mulai banyak mengkaji Asia Tenggara. Pasalnya, pada dekade jelang 1960an, kajian Asia Tenggara dibanjiri oleh tulisan-tulisan dalam perspektif antropologis, sosiologis, ekonomis dan politis seperti tulisan J. Ruesel Andrus (Burmese Economic Life), Eric Jacoby (Agrarian Unrest in Southeast Asia), G. Mc. T. Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia), G. William Skinner (Chinese Society in Thailand: An Analytical History dan Leadership and Power in the Chinese Community of Thailand), Ruessell H. Fifields (The Diplomacy of Southeast Asia: 1945-1958) dan Lennox A. Mills (Malaya: A Political and Economic Appraisal).

Lalu pertanyaannya, di mana karya sejarawan? Dalam perjalanan historiografi Asia Tenggara, karya sejarah memang belum terlalu menonjol. Itulah mengapa, sejarawan perlu ikut mewarnai dalam penulisan kajian sejarah Asia Tenggara dengan apa diistilahkannya dengan “historical background”. Alasannya, kajian yang telah ditulis khususnya oleh sejarawan Amerika itu sangat kekinian, itulah mengapa perlu dihadirkan latar belakang sejarah yang cukup kuat atas beberapa kajian itu.

Namun, di luar itu semua, sebenarnya, perspektif yang terbangun dalam perkembangan historiografi Asia Tenggara oleh sejarawan Amerika tidak lain karena Asia Tenggara khususnya Filiphina merupakan wilayah koloninya, meskipun sebenarnya Belanda, Prancis dan Inggris juga berkepentingan untuk itu. Terlebih setelah perang dunia II, ada keinginan untuk mengetahui Asia Tenggara lebih detail, untuk itulah didirikan banyak minat kajian keilmuan tentang Asia Tenggara seperti halnya di Cornell yang kemudian banyak membuat proyek penelitian antara lain di Burma, Thailand, Indo-Cina, Filiphina dan Indonesia. Di antaranya yang ditulis oleh Palmer Bringgs (The Ancient Khmer Empire), J. Ralston Hayden (The Philippines: a study in National Development), David Bernstein (The Philippines Story), John Leddy Phelan (The Hispanization of the Philippines), James C. Ingram (Economic Change in Thailand since 1850), Walter F. Vella (The Impact of the West on Government in Thailand dan Siam under Rama III) juga oleh Harry J. Benda (The Crescent and the Rising Sun; Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945).

Historiografi Ultranasionalisme a la Indonesia
Dalam jurnal yang kedua, Sue Nichterlein lebih banyak menyoroti perkembangan penulisan sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Terlebih tentang intepretasi beberapa sejarawan ataupun pengamat sejarah tentang Kongres Sejarah Nasional Indonesia 1957 di Yogyakarta. Dia mengawali dari analisis Soedjatmoko yang mengkritik para sejarawan yang cenderung mengarah kepada chauvimisme atas sejarah Indonesia. Ada perubahan yang sangat ekstrim dalam sejarah Indonesia yakni dari Nerlandosentris dan Eropasentris menuju Indonesiasentris. Perkembangan dari penulisan sejarah Indonesia yang ekstrim itu tentu saja dipengaruhi banyak faktor. Munculnya anti-Nederlands menguat ditambah diluncurkannya Kepribadian Indonesia yang mengerucut pada pencarian identitas baru penulisan sejarah Indonesia yang “balas dendam”.

Sue sebenarnya mengawali tulisannya yang menunjukkan keberpihakayannnya kepada apa yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat Asia Tenggara bahwa mereka mempunyai hak untuk menulis sejarah yang “otonom”. Dia mengutip alanisa John R. W. Smail “On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast Asia” yang menyayangkan terjadinya “krisis dalam historiografi” di Asia Tenggara khususnya di Indonesia. Para sejarawan di Indonesia di era akhir kolonialisme cenderung membuat pakem baru sejarah yang Asia-centered dalam rangka melawn sejarah yang Eroupe-centered. Sue juga mengutip Moh Ali, kaitannya dengan hal ini.

“Kesadaran” akan Eroupe-centered yang juga tidak proporsional dalam penulisan sejarah Indonesia maupun Asia Tenggara yang lebih luas juga dilontarkan oleh Sue. Dia menguatkan pendapat G. J. Resink dan J. M. Pluvier yang menyatakan, seharusnya penulisan sejarah Asia Tenggara tidak diperbanyak oleh pandangan Nerlandosentris namun sebaliknya harus diperbanyak dengan sudut pandang Indonesiasentris. Hal senada juga dilontarkan Van Leur. Dia menyatakan bahwa jika ingin menulis sejarah sebuah wilayah (dalam hal ini Asia Tenggara khusunya Indonesia), maka sudut pandang wilayah tersebut haruslah dipakai. Bahkan, penguasaan linguistik objek penelitian harus dimiliki oleh peneliti. Jika tidak, sejarah akan seperti apa yang dikatakan Levi-Strauss yang juga dikutip oleh Sue, menjadi “imajinasi kita”.


Sejarah tidak terlepas dari perspektif dan motivasi penulisnya. Kajian Asia Tenggara yang menguat pada decade jelang 1960an terutama oleh para sejarawan Amerika tentu bukan tanpa alasan. Pasca perang dunia II, Amerika mencoba mengetahui banyak hal tentang Asia Tenggara dengan berbagai penelitian akademik. Motivasi itu juga yang melahirkan historiografi Indonesia-sentris yang cenderung sangat ultranasionalis pasca Seminar Sejarah Nasional 1957. Bagaimanapun sejarah tidak bisa dilepaskan dari subjektivitas, namun sejarah punya nurani dan berwajah manusiawi, maka sudah seharusnya sejarah ditulis dengan meminimalisir subjektivitas penulisnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar