Ghifari
Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)
====================================================================
Tulisan ini
mencoba mengkomparasikan dua jurnal D. G. E. Hall dan Sue Nichterlein dengan
judul On the Study of Southeast Asian
History (1960) dan Historicism and
Historiography in Indonesia (1974). Jurnal pertama secara umum menjelaskan
tentang perkembangan tema penulisan sejarah tentang Asia Tenggara hingga
menjelang 1960, sedangkan jurnal yang kedua lebih mengulas tentang perkembangan
historigrafi di Asia Tenggara khususnya di Indonesia pasca 1945. Irisan tema
antara kedua jurnal tersebut adalah pandangan para sejarawan tentang
kecenderungan tema yang dipilih dan sudut pandang penulisan sejarah Indonesia.
Daya Tarik
Kajian Asia Tenggara
Dalam jurnal yang ditulisnya, Hall menutup tulisannya dengan
ajakan kepada para sejarawan untuk mulai banyak mengkaji Asia Tenggara.
Pasalnya, pada dekade jelang 1960an, kajian Asia Tenggara dibanjiri oleh
tulisan-tulisan dalam perspektif antropologis, sosiologis, ekonomis dan politis
seperti tulisan J. Ruesel Andrus (Burmese
Economic Life), Eric Jacoby (Agrarian
Unrest in Southeast Asia), G. Mc. T. Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia), G. William Skinner (Chinese Society in Thailand: An Analytical
History dan Leadership and Power in
the Chinese Community of Thailand), Ruessell H. Fifields (The Diplomacy of Southeast Asia: 1945-1958)
dan Lennox A. Mills (Malaya: A Political
and Economic Appraisal).
Lalu
pertanyaannya, di mana karya sejarawan? Dalam perjalanan historiografi Asia
Tenggara, karya sejarah memang belum terlalu menonjol. Itulah mengapa,
sejarawan perlu ikut mewarnai dalam penulisan kajian sejarah Asia Tenggara
dengan apa diistilahkannya dengan “historical
background”. Alasannya, kajian yang telah ditulis khususnya oleh sejarawan
Amerika itu sangat kekinian, itulah mengapa perlu dihadirkan latar belakang
sejarah yang cukup kuat atas beberapa kajian itu.
Namun, di luar
itu semua, sebenarnya, perspektif yang terbangun dalam perkembangan
historiografi Asia Tenggara oleh sejarawan Amerika tidak lain karena Asia
Tenggara khususnya Filiphina merupakan wilayah koloninya, meskipun sebenarnya
Belanda, Prancis dan Inggris juga berkepentingan untuk itu. Terlebih setelah
perang dunia II, ada keinginan untuk mengetahui Asia Tenggara lebih detail,
untuk itulah didirikan banyak minat kajian keilmuan tentang Asia Tenggara
seperti halnya di Cornell yang kemudian banyak membuat proyek penelitian antara
lain di Burma, Thailand, Indo-Cina, Filiphina dan Indonesia. Di antaranya yang
ditulis oleh Palmer Bringgs (The Ancient
Khmer Empire), J. Ralston Hayden (The
Philippines: a study in National Development), David Bernstein (The Philippines Story), John Leddy
Phelan (The Hispanization of the
Philippines), James C. Ingram (Economic
Change in Thailand since 1850), Walter F. Vella (The Impact of the West on Government in Thailand dan Siam under Rama
III) juga oleh Harry J. Benda (The
Crescent and the Rising Sun; Indonesian Islam under the Japanese Occupation,
1942-1945).
Historiografi
Ultranasionalisme a la Indonesia
Dalam jurnal yang kedua, Sue Nichterlein lebih banyak menyoroti
perkembangan penulisan sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Terlebih tentang
intepretasi beberapa sejarawan ataupun pengamat sejarah tentang Kongres Sejarah
Nasional Indonesia 1957 di Yogyakarta. Dia mengawali dari analisis Soedjatmoko
yang mengkritik para sejarawan yang cenderung mengarah kepada chauvimisme atas
sejarah Indonesia. Ada perubahan yang sangat ekstrim dalam sejarah Indonesia
yakni dari Nerlandosentris dan Eropasentris menuju Indonesiasentris.
Perkembangan dari penulisan sejarah Indonesia yang ekstrim itu tentu saja
dipengaruhi banyak faktor. Munculnya anti-Nederlands menguat ditambah
diluncurkannya Kepribadian Indonesia
yang mengerucut pada pencarian identitas baru penulisan sejarah Indonesia yang
“balas dendam”.
Sue sebenarnya
mengawali tulisannya yang menunjukkan keberpihakayannnya kepada apa yang
seharusnya didapatkan oleh masyarakat Asia Tenggara bahwa mereka mempunyai hak
untuk menulis sejarah yang “otonom”. Dia mengutip alanisa John R. W. Smail “On the Possibility of an Autonomous History
of Modern Southeast Asia” yang menyayangkan terjadinya “krisis dalam
historiografi” di Asia Tenggara khususnya di Indonesia. Para sejarawan di
Indonesia di era akhir kolonialisme cenderung membuat pakem baru sejarah yang Asia-centered dalam rangka melawn
sejarah yang Eroupe-centered. Sue
juga mengutip Moh Ali, kaitannya dengan hal ini.
“Kesadaran” akan
Eroupe-centered yang juga tidak proporsional dalam penulisan sejarah Indonesia
maupun Asia Tenggara yang lebih luas juga dilontarkan oleh Sue. Dia menguatkan
pendapat G. J. Resink dan J. M. Pluvier yang menyatakan, seharusnya penulisan
sejarah Asia Tenggara tidak diperbanyak oleh pandangan Nerlandosentris namun
sebaliknya harus diperbanyak dengan sudut pandang Indonesiasentris. Hal senada
juga dilontarkan Van Leur. Dia menyatakan bahwa jika ingin menulis sejarah
sebuah wilayah (dalam hal ini Asia Tenggara khusunya Indonesia), maka sudut
pandang wilayah tersebut haruslah dipakai. Bahkan, penguasaan linguistik objek
penelitian harus dimiliki oleh peneliti. Jika tidak, sejarah akan seperti apa
yang dikatakan Levi-Strauss yang juga dikutip oleh Sue, menjadi “imajinasi
kita”.
Sejarah tidak
terlepas dari perspektif dan motivasi penulisnya. Kajian Asia Tenggara yang
menguat pada decade jelang 1960an terutama oleh para sejarawan Amerika tentu
bukan tanpa alasan. Pasca perang dunia II, Amerika mencoba mengetahui banyak
hal tentang Asia Tenggara dengan berbagai penelitian akademik. Motivasi itu
juga yang melahirkan historiografi Indonesia-sentris yang cenderung sangat
ultranasionalis pasca Seminar Sejarah Nasional 1957. Bagaimanapun sejarah tidak
bisa dilepaskan dari subjektivitas, namun sejarah punya nurani dan berwajah
manusiawi, maka sudah seharusnya sejarah ditulis dengan meminimalisir
subjektivitas penulisnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar