Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

SEX, RACE AND THE CONTRACT (Jenis kelamin, ras dan kontrak)


Nama               : Latif Kusairi                                    
NIM                : 12/340076/PSA/07391
  
Berbicara tentang jenis kelamin ras dan kontrak dalam kasus yang dipaparkan dalam tulisan ini berusaha untuk membuat bagaimana peran seorang laki dalam dunia yang telah menghegemoni, serta keadaan perempuan yang harus bertahan hidup dengan harapan bisa untuk menciptakan kehidupan yang layak meski harus ada pengorbanan jiwa dan harga dirinya.
Inilah yang terjadi dalam periode colonial yang ada di Asia Tenggara. Orang bisa saja menjadikan kaum pribumi dengan semena-mena untuk dijadikan pekerjanya. Dalam pandangan lain bahwa mereka yang di pekerjakan di dalam perkebunan, pertanian dan tempat agraris yang ada di Hindia Belanda waktu itu bukanlah hal yang asing. Justru para pribumi merasa nyaman ketika mendapat pekerjaan dari orang-orang Belanda. Mereka lebih punya jaminan hidup dibanding sebagai petani biasa yang selalu berkutat pada pajak, upeti dan iuran yang lain yang kadang tidak jelas apa peruntukannya. Ketika orang bekerja di perkebunan mereka mendapatkan bayaran/upah yang dalam hal ini bisa pribumi merasa lebih nyaman dibandingkan orang biasa yang selalu ditindas oleh kolonial. Permasalahannya adalah tentang sudut pandang yang digunakan oleh   penulis dengan frame yang digunakan kaum pribumi. Kaum pribumi merasa ketika bekerja di perkebunan tersebut bukan suatu penindasan atau perbudakan, tetapi justru penulis menganggap itu adalah bagian dari perbudakan kolonial.  Pelajaran yang bisa saya tangkap mungkin seperti itu dalam tulisan ini.
Pada kasus selanjutnya, penulis berusaha menggabungkan teori yang dipakai dalam hukum ekonomi, misalnya teori dari Adam Smith tentang terkaan sejarah yang ada yaitu dengan ekonomi dan prediksi kekuatan dengan persamaan nilai dengan buruh. Teori inilah yang kemudian mencoba menganalisa bahwa kekuatan ekonomi harus mempunyai pekerja yang kuat.
Pada periodesasi lain juga bisa dilihat ketika tahun1811, yaitu munculnya perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Inggris. Apakah ini yang dimaksud dengan teori perbudakan dengan menjual daerah kekuasaannya karena hutang-hutang Belanda ke Inggris. Kasus lain juga muncul dari perjanjian Inggris dengan raja-raja yang ada tentang hak kekuasaan raja atas dasar untuk mengurangi hak-hak kerajaan dengan beberapa petak tanah. Apa yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagaimana politik bisa sangat mempengaruhi kehidupan warganya sehingga mengorbankan warganya untuk diperbudak penjajah.  Dalam tulisan ini kata ”equal” rasanya bukan lagi hubungan sederajat, tetapi bagaimana raja harus tunduk pada aturan pemerintahan Inggris. Inilah yang dimaksudkan Adam Smith sebagai kuasa tangan-tangan setan, dalam teori kuasa tangan-tangan yang tak terlihat inilah yang kadang justru bisa mengorbankan warganya, mereka bisa saja membimbing adanya penginjakan harga diri dengan kehalusan-kehalusan mobilisasi. Pada periode lain John Locke justru sangat mengajak agak cerdas memaknai budaya ”patriarkal” ini. Locke memang menghargai apa yang ada dalam benak Smith, tapi perbudakan itu rupanya justru sebagai pembimbing warga yang diperbudak untuk mencapai kemerdekaannya. Hal ini sesuai dengan analoginya ketika seorang bapak yang harus merawat anaknya, namun ketika dewasa anak ini akan bisa menentukan pilihan tanpa campur tangan si bapak tersebut. 
Rupanya yang ada dalam diskusi ini bukan mempertentangkan pada teori perbudakan, akan tetapi adanya benak dalam memory orang yang diperbudak justru hidupnya lebih mapan, lebih berkecukupan, lebih bisa disamakan dengan priyayi dan pastinya makan serba berkecukupan. Meskipun dalam hal lain ini merupakan bentuk penindasan yang secara tidak sadar telah terjadi. Dengan mengadirkan fakta baru seperti Raffles dalam History of Java disitu tidak ada ungkapan perbudakan ataupun justru malah menentang adanya perbudakan, dengan tidak lagi menggunakan istilah pola penanaman tanaman/taman paksa, tetapi dengan sewa tanah yang lebih manusiawi. Namun fakta di lapangan hal itu banyak terjadi perbudakan, dengan terciptanya raja-raja kecilsebagai lintahnya. Disisi lain penuls juga menghadirkan kemerdekaan yang harus dialami oleh perempuan-perempuan di Jawa waktu itu, tetapi justru dibelahan wilayah lain yakni di Burma yang terjadi justru perempuan yang dijadikan komoditi bagi pribumi untuk mendapatkan sumber ekonomi, tetapi bukan berarti perempuan tidak tersakiti, tetapi ternyata perempuan juga mempunyai daya jual yang tinggi dibanding laki-laki.  Penulis mencoba menghadirkan apakah konsepsi tentang perbudakan itu selalu di ibaratkan dengan kesengsaraan, tapi disini justru budak hidupnya sangat mapan. 
Menurut pandangan saya, penulis mencoba menghadirkan arti kebebasan yang ada dalam masyarakat. Bebas dari raja yang sewenang-wenang, bebas dari penjajah yang berkuasa, bebas untuk memilih kebebasannya. Namun  disini muncul pertanyaan besar bahwa bukan semata-mata kemapanan ekonomi terbebas dari perbudakan. Sebuah pidato yang sangat perlu dicerna dalam-dalam untuk dijadikan renungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar