Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

HISTORICISM AND HISTORIOGRAPHY IN INDONESIA Karya Sue Nictherletn HISTORIOGRAPHICAL REVIEl~li 'ASIAN VALUES' AND SOUTHEAST ASIAN H ISTORIES Karya T. N. HARPER: Magdalene College, Cambridge


Nama               : Latif Kusairi                                    
NIM                : 12/340076/PSA/07391

Berbicara tentang alus sejarah dan historiografi Indonesia rasanya sangat banyak kita untuk melihat dan tak kunjung ada pemberhentian terakhir. Historiografi memang punya zamannya dan jiwa zaman selalu berubah persepsi akan historiografi. Inilah yang dimaksud dengan persoalan dan karakter diri dalam penulisan.
Perjalanan historigrafi Indonesia juga nampak berbeda dengan yang lainnya. Kita bisa melihat sebelum kemerdekaan, sejarah kita banyak dilingkupi dengan gerakan dan sejarah kita cenderung ”messias” yang banyak melingkupinya. Dalam permulaan sejara ini rupanya banyak yang terlalu pakem  terhadap strukturalisme, bagaimana sejarah harus terpatok pada ilmu dan data yang ada. Kita ambil contoh, ”perut Ken Dedes yang mengeluarkan cahaya sebagai wujud bahwa kelak dia akan melahirkan seorang putra raja”,” ataupun cerita orang Jawa terhadap thuyul ” selama ini tidak pernah ditulis dan mungkin hanya ditulis dalam bentuk roman saja. Masalah ini sangat irasional dan bagi sejarawan harus menulis apa adanya, hanya saja sejarawan belum berani untuk menulis yang demikian, mungkin takut dianggap punya  ngilmu  dalam merekontruksi sejarah. Akan tetapi inilah fakta yang terjadi, masyarakat kita banyak mempunyai catatan dan perilaku yang kadang bagi banyak sejarawan barat dan bahkan sejarawan kita sendiri itu tidak masuk akal. Inilah jiwa yang ada ketika sejarawan Soejatmoko menganalisa dan itu merupakan bagian dari sejarah kita, tidak bisa disamakan dengan sejarah barat. Maka pernyataan soejatmoko sangat kontras dengan apa yang dilakukan Sanusi Pane ” Sejarah tidak tahu kebohongan, sejarah memberi kita refleksi dari bentuk dan subtansi masyarakat dalam realitas nyata, dibebaskan dari angan-angan dan harapan. Tujuan sejarah adalah untuk memungkinkan seseorang dengan keyakinan seseorang telah memeriksa sumber dari keyakinan itu secara mendalam.  
Kemudian sejarah kita mengalami daya tanding dengan istilah ”Feodal” yang artinya bahwa sejarah kadang banyak digunakan orang-orang besar dalam tulisannya. Pada bagian selanjutnya justru sejarah akan berkebalikan dengan gayanya yang subaltern. Sejarah akan hilang jatidirinya yang mana sejarah akan bisa digunakan untuk menulis orang-orang kecil. Lalu bagaimana dengan pola dan Mazhab yang berkembang saat itu. Bila dikaitkan dengan dalil yang ada, sejarah yang feodalistic itu banyak terpengaruh oleh gaya strukturalismei  yang banyak terpatok pada data”no data no histories”. Disinilah sejarah agak kaget ketika zaman berbeda dalam tulisannya. Pola alternatif sejarah rupanya banyak terpengaruh gaya post kolonial, post modernisme, atau post struktuaralisme. Inilah gaya sejarah yang banyak dan mampu berbicara. Pertanyaaan paling mendasr kemudian muncul, dimana letak dar studi messias dengan bumbu ahistoris? Rupanya sejarawan Soejatmoko saja belum bisa melihat adanya  masuk bab apa, karena dalam kajian intelektual sejarah yang budaya masyarakatnya seperti itu sangat sulit terjadi.
Maka dari itu , pendapat Hutington bahwa ada yang menarik dari Asia: dalam pernyataan dan komparasikan seperti kasus diatas, Hutington mengatakan bahwa” ada nilai-nilai Asia yang tidak bisa ditawar dengan kapitalis eropa”. Pendapat tersebut serasa memantik para sejarawan barat, bahwa kita harus menggunakan lokalitas dan budaya dalam menulis sejarah. Bukan menulis sejarah dengan membedakan rasional or irasional, history or ahistori, fakta or mistis. Karena dalam banyak sejarah di Indonesia klasik cenderung banyak model yang diluar nalar tersebut.
 Berg(1521:20) dalam tulisannya juga mengomentari perlunya Historiografi anatypical yaitu bertentangan dengan pola budaya yang diteliti. Historiografi Syntypical yaitu studi tentang sejarah orang-orang, dimana historiografi sendiri dipandang sebagai salah satu unsur pola kebudayaannya. Perlu adanya perbedaan ataupun bisa memila terhadap sejarah dan budaya, setidaknya sejarawan harus tau budaya masyarakat sekitar yang ingin ditulis, meski masyarakat yang ingin ditulis sudah tidak ada, saya berpendapat warisan akan budaya masyarakat dahulu masih ada meski sudah ada pergeseran. Historiografi  juga merupakan kegiatan yang ingin menyederhanakan berbagai kisah masa lalu.Ia menghapus sejarah tandingan , narasi otonomi lokal dan mencoba untuk menghadirkan meta narasi baru bagi negara dan bangsa. Akan tetapi jangan mengaburkan nilai lokal yang ada dan membuang jauh hanya karena peradapan yang tidak rasional.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar