Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

ABAD KE-18 SEBAGAI KATEGORI DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA J.C.Van Leur


Nama               : Latif Kusairi                                    
NIM                : 12/340076/PSA/07391

 Buku karya Dr stapel ” Geschiedenisnvan Ned.Indie“ menempatkan bahwa sejarah abad 18 merupakan sejarah bagi penulisan sejarah Indonesia. Kronologis tersebut merupakan implikasi dari penulisan sejarah yang ada dalam bangsa ini masa VOC.
Rupanya apa yang dimaksud Leur dalam tulisan ini adalah adanya peran dari para raja, para saudagar  pribumi dan orang-orang yang ada dalam pusaran Nusantara yang sudah ikut mencatatkan dalam sejarah Nusantara. Misalnya bagaimana para raja bergabung dalam upaya perdagangan dengan VOC, para priyayi yang banyak bekerja di dalam kongsi dagang VOC ataupun bekerja di perkebunan Belanda. Leur disini juga mendobrak pola penulisan sejarah Indonesia sebagai sejarah Kumpeni (VOC) yang banyak merugikan Pribumi. Padahal menurut leur sejarah pada masa VOC adalah bukti bahwa sejarah Indonesia yang sudah ada namun sedang mengalami kebobrokan dalam pemerintahan dan armadanya sehingga kaum barat bisa masuk dalam tiga misinya tersebut (Gold, Glory, Gospel). Namun saya melihat pendapat dari Leur ini sangat punya unsur subyektif sekali karena dalam permasalahan dagang leur sangat mengeneralisir dari konteks Ke Indonesiaan dalam satu wadah, padahal waktu itu masih tersistem kerajaan, yang bersifat lokal. Leur juga tidak tanggap bahwa kondisi kerajaan waktu itu juga berbeda satu sama lain, bahwa pada masa itu tidak ada pola yang terdistorsi antara satu kerajaan dengan yang lainnya bahkan saling serang sehingga VOC dianggap orang ketiga yang kadang justru mempertajam akar permusuhan tersebut dengan dagang. Tulisan yang diketengahkan Leur pada awal ini seolah menjadikan barat lebih maju dan timur masih berkutat pada kebodohan sehingga peran barat untuk mengenalkan kapitalis itu perlu, dalam arti yang kasar menurut saya adalah penjajahan pada dunia timur dengan pola penguasaan kapitalistik dan monopoli.
Pendapat lain tentang kesemrawutan tulisan leur adalah upaya yang mengatakan bahwa kumpeni hanya sebagai kongsi dagang yang hanya mengelola perdagangan saja, sedangkan pola perbandingan kota yang ada di Indonesia yang hanya tampak tidak lebih unggul dari negara Asia, itu akibat adanya kecenderungan bahwa seolah Indonesia hanya punya peradapan yang bobrok, tanpa punya sejarahnya sendiri sehingga harus meminjam atau nimbrung sejarah kumpeni. Padahal kalau kita runut dari sejarah yang ada dalam perjalanan negeri ini, kita punya kerajaan-kerajaan besar yang banyak berbicara di level dunia, kita juga punya sejarahnya sendiri untuk menganalisis bahwa Indonesia waktu itu ada sejarah yang muncul ke permukaan. Munculnya kumpeni inilah yang menurut saya justru menyebabkan sejarah Indonesia mengalami zaman kegelapan sehingga dari situ muncul pemberontakan-pemberontakan terhadap kumpeni. Dari situlah sebenarnya sejarah Indonesia berbicara banyak akan masanya, bukan malah sejarah Indonesia suram terhadap masa akibat kumpeni.  Bukan sejarah tentang jawa harus meminjam sejarah dari Raffles ” History of Java” akan kemolekan sejarah itu sendiri. Inilah yang justru menyebabkan seolah sejarah punya masa, mahzab dan versi tersendiri.
Dalam tulisan ini sebenarnya juga banyak muncul ambiguitas antara fakta sejarah yang ada. Misalnya  bahwa kegiatan perekonomian laut yang ada di Indonesia pada abad 18 mati akibat adanya kumpeni ada benarnya juga tapi ingat bahwa kongsi dagang yang ada dalam  Indonesia dikuasai oleh kumpeni sehingga matinya laut Indonesia bukan karena adanya kebobrokan pribumi tapi lebih pada pengelolaan kumpeni yang kurang maksimal. Padahal disitu tulisan ini sendiri terjebak pada ketidak konsistenan, yaitu laut Indonesia yang mati tapi justru banyak barang gelap yang masuk ke Indonesia. Logikanya jelas bahwa barang tersebut melalui jalur laut, sehingga justru para pedagang banyak yang datang ke Indonesia.
Tulisan lain yang menurut saya sangat ambigu adalah, pernyataan bahwa VOC rutuh bukan karena korupsi.pegawainya, justru banyak mempermasalahkan adanya politik kelumpuhan di laut, kalah pasaran di eropa dengan barang-barang Inggris, ataupun kurangnya pasokan barang dari pribumi akibat banyak yang mbalelo. Justru dalam historiografi Indonesia, kelumpuhan ini banyak diakibatkan adanya jiwa korup dikalangan pegawai VOC sendiri. Inilah rasanya yang banyak menjadikan unsur paksaan terhadap pola penulisan. Pola penulisan yang harus kontradiktif antara Nerlandosentris dan Indonesiasentris.  Tulisan ini mencoba menyangkal dari pola penulisan yang bergaya Indonesia dengan mengetengahkan data dan tulisan versi Belanda. Kata terakhir dalam tulisan ini adalah ” pemencilan diri (Bangsa Indonesia) dengan agama sebagai tamengnya”. Saya rasa wajar bahwa masuknya budaya barat ke Indonesia sewajarnya tidak sertamerta ditelan begitu saja, filter dengan pendidikan agama yang kuat adalah jatidiri bangsa Indonesia karena barat dan timur mempunyai budaya yang berbeda. Leur disini kembali salah rekam akan penyamaan budaya, sehingga menganggap bahwa budaya timur itu ketinggalan zamannya.
Sedikit menambahkan bila tulisan ini dikomparasikan dengan tulisan dari Dr. Retno Winarni tentang bupati-bupati di karesidenan Besuki, ada istilah bahwa kematian akan sejarah Indonesia itu justru akibat campur tangan barat dan melakukan pembatasan peran dari pemerintah kerajaan dengan menggantikan bupati. Di lain pihak itu bagus karena pemerintahan yag ada bisa mengontrol pada tingkat yang paling bawah. Namun perlu di catat bahwa pembentukan buapti lebih pada adanya penelamatan dari sumber ekonomi Belanda agar bisa terkontrol dengan baik. Bupati di sini tidak banyak perannya karena harus berjalan sesuai prosedur yang di inginkan Pemerintah Belanda


Tidak ada komentar:

Posting Komentar