NIM : 12/339246/PSA/7258
Pendahuluan
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17
Agustus 1945, para Funding Fathers
negara, sejarawan dan peminat sejarah beranggapan bahwa Indonesia harus
memiliki sejarah tersendiri yang berbeda dengan sejarah sebelumnya ketika masih
dalam pemerintahan kolonial. Para
pendiri negara tampaknya ingin membedakan diri dengan pemerintah kolonial dari
segala bidang termasuk dalam penulisan sejarah bangsa, meski seluruh pendidikan
dan pemahaman tentang sejarah mereka diperoleh melalui institusi kolonial.
Dekolonisasi sejarah merupakan keniscayaan bagi sebuah negara baru seperti
Indonesia. Penulisan sejarah nasional Indonesia juga dianggap penting untuk
memupuk perasaan kecintaan masyarakat kepada negara barunya. Keinginan tersebut
menghadapi persoalan baru yaitu sejarah apa saja yang harus disajikan?
bagaimana menyajikannya?. Dan ternyata yang terjadi kemudian adalah
ideologisasi sejarah dan sejarah nasional terpusat hanya di pulau Jawa.
Dari semua kegiatan yang dilakukan oleh sejarawan
Indonesia terkait dengan penulisan sejarah nasional semuanya menjadi
permasalahan di kemudian hari. Nordolt, Bambang Purwanto, dn Ratna Saptari
mengkritik model penulisan sejarah nasional yang kental dengan warna ideologi
dan politik;
“Meski banyak orang melihat nasion sebagai kendaraan
untuk mewujudkan modernitas, keadilan serta persamaan, dan mereka ingin menjadi
bagian dari semua ini. Ironisnya ‘kemegahan’ kerajaan Hindu Majapahit lebih
berarti bagi pemimpin politik seperti Soekarno daripada narasi egaliter di mana rakyat biasa di Indonesia yang
umumnya beragama Islam dapat ikut berperan”.[1]
Atau kritik sejarawan lain terhadap model pengajaran
sejarah nasional pada masa orde baru seperti Asvi Warman Adam;
“Tujuan pengajaran sejarah tersebut jelas bermuatan
politik yang sesuai dengan pandangan rezim yang berkuasa. Bahwa “persatuan dan
kesatuan” mutlak perlu, Orde Baru mesti didukung sedangkan PKI harus
diganyang”.[2]
Menurut Asvi Warman Adam, perkembangan historiografi
Indonesia sampai dengan runtuhnya Orde Baru setidaknya mengalami tiga fase.
Fase pertama adalah dekolonisasi sejarah di mana rakyat Indonesia ingin
memiliki sejarah tersendiri yang berbeda dengan narasi sejarah yang ditulis
oleh pemerintah kolonial. Fase kedua adalah pemanfaatan ilmu-ilmu sosial dalam
penulisan sejarah. Gerakan dipelopori oleh Sartono Kartirdjo yang melihat bahwa
sejarah adalah sesuatu yang kompleks dan tidak bias diuraikan hanya dengan satu
perspektif saja. Kecendrungan historiografi Indonesia sebelumnya yang cenderung
menulis dengan perspektif atau sejarah politik dianggap tidak mampu menggambarkan
peristiwa sejarah sebagi sesuatu yang utuh. Dengan penulisan sejarah dalam
perspektif politik saja, maka rakyat kebanyakan seperti petani tidak akan
menjadi aktor dalam sejarah Indonesia. Oleh karena itu, Sartono menganggap
penting keberadaan ilmu sosial lainnya dalam penulisan sejarah Indonesia
seperti sejarah ekonomi, sejarah sosial, sejarah budaya dan lain sebagainya.[3]
Fase ketiga adalah reformasi sejarah berupa pelurusan terhadap kontraversi
narasi sejarah yang sebelumnya “banyak dilakukan” oleh pemerintah orde baru.[4]
Dalam tulisan ini, penulis ingin menjabarkan fase-fase
dalam historiografi Indonesia beserta dinamika-dinamika yang terjadi di
dalamnya. Penulis juga akan membahas pemikiran dan paradigma para sejarawan
ataupun ilmuwan sosial lainnya yang berhubungan dengan konten yang akan dibahas
nanti seperti misalnya pemikiran Linda Tuhiwai Smith tentang dekolonisasi sejarah,
dan pemikiran-pemikiran lainnya tentang dekontruksi.
Fase Dekolonisasi sejarah
Dekolonisasi sejarah nasional Indonesia sepertinya
menjadi keharusan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 1945. Imperialisme
membuat skat-skat pada masyarakat terjajah dan membuat mengaburnya nilai dan
kearifan lokal masyarakat terjajah. Akibat imperialisme tersebut, identitas
masyarakat terjajah terbagi berdasarkan surat-surat keterangan atau pengakuan
dari luar. Linda Tuhiwai Smith menyatakan bahwa imperialisme sebagai sebuah
pengetahuan diskursif telah membentuk paradigma pikir masyarakat yang kolonial.
Dampak dari pengetahuan diskursif ini adalah persepsi kolonial yang menonjol
dan menjadi paradigma masyarakat terjajah. Oleh karena itu penting bagi masyarakat
terjajah untuk mengkaji kembali imperialisme sebagai pembukaan wacana
dekolonisasi dan dekontruksi terhadap konsep masyarakat terjajah yang disusun
dan ditulis oleh kaum kolonial.[5]
Linda T. Smith menambahkan bahwa vonis dan klaim serta
konsep-konsep yang dirumuskan oleh Eropa (kolonial) tentang masyarakat dan
sejarah masyarakat terjajah dilakukan sambil lalu oleh para penjelajah Eropa. Rata-rata
para penjelajah tersebut dibayar dan difasilitasi oleh pemerintahnya di Eropa
untuk menemukan dunia baru yang bisa di eksploitasi untuk keuntungan
Negara-negara Eropa. Dan akibat imperialisme tersebut juga, konsep
“another” muncul yang membedakan antar
sebuah masyarakat dengan masyarakat lainnya, seperti teori-teori perkembangan
sebuah masyarakat dari primitive menuju modern. Dikotomi masyarakat primitive
identik dengan masyarakat terjajah sementara konsep masyarakat modern adalah
masyarakat Eropa sendiri. Cara Eropa sentries yang menegasikan perspektif
local, menurut Smith adalah salah satu keburukan dari imperialism Eropa.
Factor pertama yang menyebabkan dekolonisasi ini
adalah persoalan perspektif terhadap sejarah. Sebelum Indonesia merdeka,
perspektif sejarah lebih banyak didominasi oleh perspektif kolonial dan
kepentingan-kepentingan mereka. sehingga jika perspektif masih dipakai dalam
mainstream sejarah nasional maka akan banyak tindakan dari masyarakat Indonesia
sama sekali tidak bernilai. Seperti apa yang dilakukan oleh Soekarno dan
kawan-kawan pada tahun 1930 an, jika masih memakai perspektif kolonial maka tindakan mereka tidak lebih
sebagai upaya maker terhadap pemerintahan sementara jika dipandang dengan
perspektif Indonesia disebut dengan perjuangan. Persoalan perspektif ini
semakin penting jika membicarakan persoalan sejarah dengan semua
kompleksitasnya, karena akan berpotensi bias dalam memahami sejarah nasional
oleh anak bangsa itu sendiri.
Yang menjadi permasalahan kemudian adalah bagaimana
memasukkan perspektif Indonesia dalam sejarah nasional. Dan yang terjadi dalam
historiografi Indonesia adalah penggantian berbagai istilah yang bermakna
negatif ketika masa kolonial menjadi positif dalam sejarah nasional. Menurut
penulis hal tersebut bisa terjadi dalam penulisan sejarah nasional di belahan
dunia manapun. Namun untuk Indonesia, nampaknya cara tersebut sangat dominan
sehingga mengaburkan esensi sejarah lainnya seperti kebenaran sejarah itu
sendiri.
Sebagai contoh, Suhartono W. Pranoto mengungkapkan
fenomena perbanditan oleh Bumiputra ketika sistem tanam paksa dilaksanakan di
Jawa pada 1830-1833 oleh pemerintah
kolonial. Suhartono membagi kategori bandit sebagai kriminal dan venal. Bandit
kriminal adalah mereka yang hidup dari hasil merampok, sementara bandit venal
adalah bentuk perbanditan yang hasilnya dibagi-bagikan kepada masyarakat.
Bandit venal ini dianggap memiliki kesadaran kesadaran ekonomi dan politik.[6]
Dalam melakukan aksinya bandit criminal tidak segan untuk membunuh seperti
halnya bandit lainnya pada masa modern. Dan jika kita memakai perspektif
sejarah nasional seperti telah disebutkan di atas, maka semua bandit yang
melakukan aksinya pada keluarga Belanda atau antek-anteknya atau sekali-kali
melakukannya kepada rakyat Indonesia, tidak mungkin dibedakan dengan kotegori
bandit sosial seperti disebutkan Suhartono. Dan dengan perspektif sejarah
nasional mereka termasuk pada pahlawan yang melawan/menentang kolonial. Contoh
di atas menggambarkan kepada kita bahwa perspektif Indonesia terhadap penulisan
sejarah nasional ternyata menggeneralisir semua peristiwa dan aktor sejarah.
Dan tidak tertutup kemungkinan dalam peristiwa-peristiwa tersebut kadang-kadang
menempatkan rakyat Indonesia sendiri sebagai korban.
Factor kedua dekolonisasi sejarah Indonesia adalah
memupuk rasa dan semangat nasionalisme anak bangsa terhadap negara yang baru
terbentuk. Isu nasionalisme menjadi topik pembahasan dalam seminar nasional
pertama di Yogyakarta tahun 1957. Dalam seminar ini hampir semua peserta
sepakat bahwa sejarah nasional Indonesia harus memupuk semangat nasionalisme,
perdebatan yang muncul kemudian adalah dari mana sejarah nasional Indonesia
dimulai. Dalam mencari akar sejarah nasional, Muhammad Yamin berpendapat bahwa
nasionalisme berakar dari sejarah klasik bangsa Indonesia yang dimulai pada
masa kerajaan Majapahit. Yamin menyatakan bahwa sejak Majapahit Indonesia sudah
menjadi wilayah kesatuan dengan tindakan ekspedisi dari Patih Gajah Mada
sebagai implementasi Sumpah Palapa. Namun pendapat yamin tersebut ditentang
oleh beberapa sejarawan dan tokoh lainnya yang menganggap realitas Majapahit di
masa lalu sama sekali tidak membentuk nasionalisme Indonesia. Hamka menyatakan
bahwa Islam lebih berperan dalam pembentukan nasionalisme Indonesia
dibandingkan dengan Majapahit.[7]
Anthony Reid (sejarawan Australia) meski tidak berada dalam perdebatan tentang
nasionalisme pada tahun 1950 an, menyatakan kesamaan rasa dan perlakuan antar
sesame rakyat Indonesia lah yang menyebabkan muncul kesadaran nasional dan
nasionalisme Indonesia.[8]
Dalam seminar tersebut Yamin dan kelompok berhasil memenangkan perdebatan, dan
membuat nasionalisme ala Yamin menjadi konsep nasionalisme dalam sejarah
nasional Indonesia.
Belum selesai tentang perdebatan nasionalisme, sejarah
nasional dihadapkan pada permasalahan lain sebagai kosekuensi pemahaman
nasionalisme tersebut. Yang pertama adalah sejarah nasional Indonesia terpusat
kajiannya di pulau Jawa. Penempatan kerajaan majapahit sebagai titik awal dari
nasionalisme dan terpusatnya kekuasaan kolonial di pulau Jawa menjadi kajian
sejarah nasional lebih dominan terjadi di pulai tersebut. Sementara sejarah-sejarah
lainnya di daerah (terutama diluar pulau Jawa) dianggap sebagai sejarah lokal
atau sejarah daerah. Polemik antara sejarah nasional dan sejarah lokal
diuraikan oleh Sartono sebagai berikut;
“Sampailah kita di sini pada persoalan besar yang
menyangkut kedudukan Sejarah Regional dan Lokal dalam Sejarah Nasional. Apakah
Sejarah Nasional merupakan hanya kumpulan atau jumlah dari Sejarah-sejarah
Lokal? Prinsip-prinsip apakah yang dapat membentuk kohesi antara data-data
mengenai Sejarah Lokal? Apakah Sejarah Lokal mempunyai hak berdiri sendiri
ataukah hanya menjadi pembantu dari Sejarah Nasional? Apakah dapat dibenarkan
apabila Sejarah Nasional dipandang sebagai sejarah tanpa Sejarah Lokal?”[9]
Kedua, penulisan sejarah nasional didominasi oleh
kajian sejarah politik sehingga menyebabkan masyarakat kecil tidak mendapatkan
tempat dalam narasi sejarah. Sejarah seperti dikritisi oleh Sartono Kartodirdjo
yang menyatakan bahwa sejaraha adalah yang kompleks. Pemikiran sartono telah
penulis uraikan secara singkat di atas, dan nantinya pemikiran akan menjadi
pokok bahasan dalam menjelaskan tentang fase gelombang kedua dalam perkembangan
historiografi di Indonesia. Penulisan sejarah yang sangat politis berkosekuensi
juga pada upaya generalisasi terhadap konten sejarah. Dampak dari pendekatan
politik juga bisa dilihat dari materi sejarah berisi baik-buruk dan benar
salah. Dengan kata narasi sejarah hanya akan melihat pada dua sissi nilai
tersebut saja. Yang baik akan selalu ditonjolkan sementara yang buruk
ditinggalkan atau paling tidak dinarasikan secara negatif.
Sebagai contoh, penulisan sejarah pemberontakan di
Indonesia yang menempatkan posisi pemberontak pihak yang tertuduh dan
pemerintah sebagai pihak yang selalu benar. Dalam kasus pemberontakan DI/TII
Aceh tahun 1953, terjadi pembantaian dan kekerasan oleh pihak militer terhadap
masyarakat Cot pulot dan Desa Jeumpa di Aceh Besar yang dilakukan oleh Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib,
pasukan ini dibawah batalyon B pimpinan Kolonel Simbolon. Penembakan pertama
pada Sabtu, 26 Februari 1955 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua
pada Senin, 28 Februari 1955 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga pada
tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala menewaskan 99 jiwa dengan rincian di Cot
Jeumpa 25 jiwa, di Pulot Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang
wafat yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai
balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam.[10]
Cerita seperti ini sama sekali tidak tercatat dalam sejarah nasional Indonesia
karena mungkin dianggap akan mencoreng nama baik negara oleh sebab pelanggaran
alat negara terhadap rakyatnya. Namun di sisi lain nasib rakyat sebagai korban
sama sekali tidak diperhatikan dan diabaikan. Pola penulisan politik seperti
sarat dengan kepentingan pemerintah dan rezim yang berkuasa. Ironinya,
kepentingan tersebut dibalut dengan rasa nasionalisme dan alasan kepentingan
negara.
Fase Pemanfaatan Ilmu-ilmu
Sosial dalam Penulisan Sejarah
Abdul Syukur mencatat bahwa setelah
kegiatan seminar sejarah nasional kedua di Jakarta Agustus 1970, terjadi
perubahan besar dalam historiografis indonesiasentris, yaitu mengalihkan
perhatian historiografi Indonesia dari “sejarah politik” ke “Sejarah Sosial”,
dan Sartono Kartodirdjo adalah pemimpin generasi sejarawan ini. Mereka
menerapkan konsep-konsep ilmu sosial untuk melakukan rekontruksi sejarah dan
menggunakan metode pendekatan multidimensional terhadap peristiwa masa lalu.[11]
Perubahan ini menurut penulis disebabkan oleh cara pandang epistimologi sejarah
yang berbeda dengan masa sebelumnya.
Dalam kata pengantar pada buku Pengantar Sejarah
Indonesia Baru (1987)[12], Sartono
Kartodirdjo menekankan pembahasan pada sejarah sosial yang di dalamnya mencakup
proses perkembangan masyarakat Indonesia baik pada aspek politik, ekonomi dan
sosialnya. Sartono menggambarkan sejarah sebagai proses kompleks yang di
dalamnya memuat interaksi antara berbagai unsur dan saling memberi pengaruh
antara berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sartono mengatakan bahwa sejarah yang ditulisnya adalah sejarah
menyeluruh yang memandang perkembangan masyarakat Indonesia sebagai sebuah
kesatuan berdasarkan proses yang terjadi.
Pemikiran dari Sartono menunjukkan cara
pandang beliau terhadap sejarah tidak hanya sebagai peristiwa politik yang di
dalamnya hanya memuat unsur tokoh-tokoh masyarakat sebagai aktornya saja. Ada
banyak unsur dan peristiwa dalam sebuah kompleksitas sejarah, dan semua unsur
dan peristiwa tidak mungkin diurai hanya dengan satu pendekatan atau satu
disiplin ilmu saja. Karena itu sejarah harus juga dikaji dari perspektif
sosial, ekonomi, sastra, agama, budaya dan sebagainya. Dalam mengkaji
masing-masing pendekatan ini, metodologi dan teori masing-masing disiplin ilmu
tersebut sama sekali tidak bisa diabaikan, karena akan berpengaruh terhadap
konten dari narasi itu sendiri. Dan Sartono Kartodirdjo memulai penulisan model
seperti ini dengan penulisan sejarah sosial yang menggambarkan kondisi
masyarakat petani ketika melakukan gerakan di Banten tahun 1888.
Penulisan model seperti sering juga
disebut dengan istilah sejarah akademik, karena menekankan metodologi dan
pendekatan sebagai unsur penting dalam penulisan sejarah. Taufik Abdullah dan
Abdurrahman Surjomihardjo mencatat tentang ini;
“Sekali lagi karena tiadanya istilah yang
lebih tepat, suatu jenis yang dapat dinamakan “sejarah akademik”. Dalam istilah
jelek, jenis penulisan sejarah semacam ini dapat dinamakan tidak bersifat
ideologis atau tidak bersifat filosofis, dari segi positifnya, penulisan
sejarah semacam ini mencoba untuk memberi gambaran yang jelas mengenai masa
silam yang ditopang dengan tradisi akademik. Dapatlah dimengerti, bahwa
sebagian besar dari tulisan-tulisan semacam ini tidak semata-mata dibuat dalam
bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat structural. Suatu kecenderungan
holistic jelas tampak, sekalipun orang bisa mengira bahwa karya-karya tersebut
mempunyai tekanan-tekanan yang berbeda. Beberapa di antaranya sangat bersifat
sosiologis dalam pendekatannya, sementara yang lainnya lebih banyak mengambil
kerangka ilmu politik. Beberapa di antaranya bersifat antropologis dalam
pendekatannya. Studi Sartono Kartodirdjo mengenai pemberontakan petani Banten
(1966 dan 1973) adalah contoh yang jelas dari penelitian sejarah dengan
kecenderungan sosiologis”.[13]
Fase Reformasi Sejarah
Runtuhnya orde baru dan peristiwa reformasi Indonesia
tahun 1998 berpengaruh terhadap perubahan Indonesia di segala bidang. Para
sejarawan juga ikut bereaksi terhadap narasi sejarah nasional Indonesia yang
dianggap berbalut dengan rekayasa dan penyembunyian fakta-fakta. Salah reaksi
dari sejarawan adalah Asvi Warman Adam dengan pernyataan pelurusan kembali
sejarah Indonesia. Penulis tidak akan membahas pernyataan tersebut, namun
menempatkan pernyataan tersebut sebagai indikasi adanya dinamika dalam
historiografi Indonesia.
Pada masa Orde Baru, selain dengan perkenalan terhadap
perspektif ilmu-ilmu sosial dalam penulisan sejarah seperti telah penulis
uraikan di atas, ternyata juga terjadi rekayasa sejarah untuk kepentingan rezim
pemerintah.[14]
Usaha ini dilakukan oleh pemerintah dengan sistematis yang bertujuan untuk
melegitimasi kekuasaan rezim. Nugroho Notosusanto adalah pelopor dalam
penulisan narasi sejarah pemerintah. Akibatnya setelah rezim ini runtuh, berbagai
kelompok yang menjadi korban ramai-ramai menyuarakan perspektifnya. Tidak
ketinggalan perspektif masyarakat juga muncul dari daerah-daerah yang
sebelumnya menjadi dari aksi represif militer Orde Baru, seperti Aceh, Lampung,
Papua, Timor-timur (ketika masih dalam bagian Indonesia).
Pengaruh terhadap historiografi pada masa ini adalah
terjadi perubahan dalam pendekatan dan metodologi penulisan sejarah Indonesia.
Banyak sejarawan yang mulai meragukan narasi sejarah nasional dan menstimulus
mereka untuk berpikir dekontruksi. Dekontruksi terhadap narasi sejarah menjadi
alternative dalam menggali kebenaran sejarah yang sebelumnya dipaksakan dan
ditetapkan oleh penguasa.
Asvi Warman Adam mengemukakan tiga ciri penting
terhadap historiografi pada fase reformasi sejarah ini. Ciri-ciri tersebut
adalah;[15]
Penerbitan “sejarah terlarang”, pasca orde baru
beberapa sejarawan atau pihak lainnya yang kembali menulis sejarah dari
pandangan berseberangan dengan pandangan pemerintah. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, suara yang sebelumnya diabaikan, pada masa ini
direkontruksi menjadi narasi sejarah baru. Peristiwa G.30 s PKI yang sebelumnya
hanya berasal dari sumber pemerintah, pada tahun tersebut juga menceritakan
persepsi para korban. Narasi yang pada rezim Orde Baru tabu untuk ditulis dan
diterbitkan, pada masa reformasi menjadi tren pengetahuan.
Sejarah Akademis Kritis, pada masa ini penulisan
sejarah melalui penelitian di perguruan tinggi baik itu berupa tesis dan
disertasi juga mulai melirik fenomena penulisan sejarah di lingkungan perguruan
tinggi. Asvi Warman Adam menyebut contoh seperti disertasi Hermawan Sulistyo
mengenai pembantaian massal di Jombang dan Kediri tahun 1965/1966, dan
disertasi Iwan Gardono Sudjatmiko “The
Destruction of The Indonesian Communist Party (PKI) (a Comperative Analysis of
East Java and Bali”.
Penerbitan Biografi Tokoh terbuang, sama seperi ciri
sebelumnya, narasi besar sejarah yang hanya memuat satu pandangan oleh
pemerintah, berbanding terbalik ketika rezim tersebut terguling. Dan salah satu
penulisan sejarah yang diminati oleh masyarakat adalah tokoh-tokoh yang
sebelumnya dikucilkan dan disingkirkan oleh pemerintah.
Penutup.
Secara umum historiografi ini Indonesia masih sangat kental dengan nuansa
politik dan kekuasaan meski Sartono Kartodirdjo sudah memperkenalkan model
penulisan lain yang lebih mampu mengungkap realitas sejarah secara
konfrehensif. Hal tersebut bisa lihat pada metodologi dan pendekatan yang
diperkenalkan Sartono ternyata bisa berkembang setelah rezim Orde Baru tumbang
poda 1998.
Daftar Pustaka:
Anthony Reid dan David Marr (eds.)
Dari raja Ali Haji hingga Hamka; Indonesia dan masa lalunya, Grafiti, Jakarta,
1983.
Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah
Indonesia, Ombak, Yogyakarta, 2007.
H.C. Nordholt, Bambang Purwanto,
Ratna Saptari (eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia-KITLV, Jakarta, 2008.
Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi
Metodologi, Insist Press, 2005.
M. Nursan, Baskara T. Wardaya SJ.,
Asvi Warman Adam, Sejarah yang Memihak; Mengenang Sartono Kartodirdjo, Ombak,
Yogyakarta, 2008.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar
Sejarah Indonesia Baru, Gramedia, Jakarta, 1987.
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan
Perkembangan Historiogrfi Indonesia-Suatu Alternatif, Gramedia, Jakarta, 1981.
Suhartono W. Pranoto, Jawa;
Bandit-Bandit Pedesaan-Studi Historis 1850-1942, Graha Ilmu, 2010.
Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo (Red), Ilmu Sejarah dan
Historiografi; Arah dan Perspektif, Gramedia, Jakarta, 1985.
[1] H.C. Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari, Memikir Ulang
Historiografi Indonesia, dalam H.C. Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari
(eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia-KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 9
[2] Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Ombak, Yogyakarta,
2007, Hal. xxxviii
[3] Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiogrfi
Indonesia-Suatu Alternatif, Gramedia, Jakarta, 1981, Hal. xiv
[4] Bambang Purwanto termasuk sejarawan yang tidak setuju dengan
pendapat Asvi tentang pelurusan Sejarah, karena Bambang beranggapan bahwa
sejarah tidak perlu diluruskan tetapi biarkan sejarah itu lurus dengan
sendirinya. Tugas sejarawan menurut Bambang adalah menulis dengan metodelogi
yang tepat dan tetap menjunjung kebenaran fakta dari peristiwa sejarah
tersebut.
[5] Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi Metodologi, Insist Press, 2005,
Bab 1
[6] Suhartono W. Pranoto, Jawa; Bandit-Bandit Pedesaan-Studi Historis
1850-1942, Graha Ilmu, 2010, Hal. 6
[7] Deliar Noer, Yamin dan Hamka;
dua jalan menuju identitas Indonesia, dalam Anthony Reid dan David Marr
(eds.) Dari raja Ali Haji hingga Hamka; Indonesia dan masa lalunya, Grafiti,
Jakarta, 1983.
[8] Anthony Reid, Jejak Nasionalis Indonesia; mencari masa lampaunya,
dalam Anthony Reid dan David Marr (eds.) Dari raja Ali Haji hingga Hamka;
Indonesia dan masa lalunya, Grafiti, Jakarta, 1983.
[9] Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiogrfi
Indonesia-Suatu Alternatif, Gramedia, Jakarta, 1981, Hal. 35
[10] Peristiwa ini penulis kutip dari http://acehdalamsejarah.blogspot.com, peristiwa ini pernah dimuat dalam surat kabar bulanan Peristiwa
yang terbit di Kutaraja (Banda Aceh) pada maret 1955, dan dikutip oleh berbagai media di Jakarta dan internasional. Surat kabar Peristiwa
sendiri memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama.
[11] Abdul Syukur, Pembaharu Historiografi Indonesia, dalam M. Nursan,
Baskara T. Wardaya SJ., Asvi Warman Adam, Sejarah yang Memihak; Mengenang
Sartono Kartodirdjo, Ombak, Yogyakarta, 2008.
[12] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Gramedia,
Jakarta, 1987.
[13] Taufik Abdullah dan Abdurrahman
Surjomihardjo, Arah Gejala dan Perspektif Studi Sejarah Indonesia, dalam Taufik
Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo (Red), Ilmu Sejarah dan Historiografi;
Arah dan Perspektif, Gramedia, Jakarta, 1985, hal. 29
[14] Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Ombak, Yogyakarta,
2004, hal. 7
[15] Ibid, hal. 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar