Nama :
Rika Inggit Asmawati
NIM ; 12/339398/PSA/7286
Menghargai sejarah seperti
Van Leur
Historiografi kolonial dikuasai oleh pandangan yang
etnosentris. Semua peristiwa berkisar sekitar kerajaan dengan raja sebagai
pusatnya serta apa yang terjadi diluar itu jarang disinggung. Tidak boleh
dilupakan pula bahwa dalam lingkungan sosio-kultural dari historiografi
tradisional itu pada cerita sejarah ada kekuatan religio-magis, maka tidak
ditinjau secara kritis. ( Sartono Kartodirdjo, 1992). Historiografi kolonial
ditulis oleh orang-orang Belanda dengan menggunakan arsip Belanda sehingga
tulisan yang dihasilkan ditulis menggunakan cara pandang eropasentris. Tetapi,
berbeda dengan Van Leur, dia mampu menyajikan sejarah dengan cita rasa pribumi-
dengan penghargaan kepada timur yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh
barat.
Dalam artikel Abad
ke-18 sebagai kategori dalam penulisan Sejarah Indonesia, menurut Richard
Z. Leirissa, Van Leur membuat tandingan atas karya Dr. Godee
Molsbergen yang merupakan jilid yang keempat dari “ Geschiedenis van Nederlandsch-Indie. Dalam karya tersebut, Godee
Molsbergen mengemukakan bahwa sejarah VOC dalam abad kedelapanbelas merupakan
refleksi dari sejarah negri Belanda yang ketika itu telah muncul sebagai
kekuatan yang menentukan Eropa. Van Leur
menyanggah pendapat ini dan mengatakan bahwa abad kedelapanbelas tidak berbeda dengan abad ketujuhbelas, baru
dalam abad kesembilanbelas, Eropa menunjukkan keunggulannya. Selain menyanggah
hal tersebut, yang paling menarik dalam tulisan ini adalah Van Leur menunjukkan
bahwa dengan menggunakan sumber VOC dapat disusunlah sebuah historiografi yang
tidak melulu memihak kolonial. Sebuah perspektif yang sangat berbeda dengan
historiografi kolonial jaman itu.
Kritik Van Leur misalnya mengenai perekonomian. Van leur
mampu membuktikan dalam tulisannya bahwa kenaikan ekspor barang-barang pada
saat itu diserap oleh Asia dan Indonesia tanpa kompeni ambil bagian. Van luer
mencoba menulis dengan perpektif lain di jaman itu, bahwa sebenarnya ada garis
yang semakin naik , kurve yang terus menanjak di seluruh abad ke-18, bahkan
naiknya lebih tepat akibat penambahan perdagangan Eropa yang lebih kuat selama
pertengahan kedua abad tersebut. Kemudian dalam tulisannya Van Luer juga berani
mensejajarkan orang-orang pribumi seperti Mangkubumi, Mas Sahid, Tjakraningrat
dengan tokoh barat seperti speelman. Hal ini yang tidak pernah dilakukan barat
sebelumnya.
Melihat tulisan Van Leur sebenarnya hal inilah yang perlu
dilakukan oleh sejarahwan-tidak pandang bulu sejarahwan Indonesia ataupun
sejarahwan asing. karena permasalahan klasik dalam sejarah adalah sudut pandang
penulisan. Dimana setiap bangsa akan menulis sejarahnya sesuai dengan sudut
pandang bangsanya itu sendiri. Sehingga yang dihasilkan adalah sejarah yang
berusaha memaksakan paham nasionalisme untuk merasuk dalam tulisannya,
imbasnya, sejarah tidak akan pernah berusaha untuk melihat dari dua sisi. Tidak
akan pernah ada keadilan dalam sejarah. Tetapi, belajar dari Van Luer, belajar
bahwa dia bisa menulis dengan kacamata bangsa lain, sepertinya hal ini perlu
dicontoh oleh sejarahwan masa kini.
Tidak mungkin tidak kita melihat historiografi kolonial
sebagai salah satu sumber penulisan kita. Karena suka tidak suka historiografi
kolonial adalah bagian dari historiografi Indonesia ( Bambang Purwanto, 2006)
ataupun tidak boleh juga kita terpaku pada keinginan untuk menandingi
historiografi kolonial dengan terlalu berlebihan dalam menyisipkan paham
nasionalisme, lebih dari itu, ada baiknya melihat sejarah dari dua sisi. Sisi
kolonial- dan juga sisi Indonesia, karena dengan begitu, sejarah akan ditulis bukan
hanya sebagai ajang balas dendam saja. Tidak ada yang salah dengan
masalalu-sejarah. masalalu-sejarah bisa benar ataupun salah adalah bagaimana
memaknainya.
Bambang
Purwanto. Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris ( Jogjakarta : Ombak, 2006)
Sartono
Kartodirdjo. Pemikiran dan
Perkembangan Historiografi Indonesia.( Jakarta : PT Gramedia, 1992)
J.C
Van Leur. Abad ke-18 sebagai kategori
dalam penulisan sejarah Indonesia ( Jakarta : Bhatara Jakarta, 1973 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar