Nama : Hanif Risa Mustafa
Nim : 12/338345/PSA/07221
Abstrak
Persoalan agraria menciptakan aksi sepihak di kalangan masyarakat
bawah. Antara pemilik tanah dengan petani tidak bertanah. Setiap kelompok memiliki
perlindungan dari kelompok yang lebih besar. Dari pergolakan yang bersifat
kecil menjadi bersifat ekspansif. Pokok permaslahan karena tuntutan tanah atas
UUPA. Kemudian pergolakan berujung pada pembantaian tahun 1965-1966. Peristiwa
kelam ini menjadi sebuah memory kolektif masyrakat, ketakutan dan trauma masih
menyelimuti. Sangat disayangkan sekali sejarah kelam bangsa ini dihapus begitu saja dan bahkan tidak
tersisip di buku sejarah nasional Indonesia. Bagaimana generasi selanjutnya
bisa mengetahui sejarah perjalanan Indonesia
dan akankah peristiwa kelam ini akan menyesatkan generasi selanjutnya
akibat dari bermunculanya sejarah populer peristiwa 1965-1966 dan memory
kolektif masyarakat pasca 1965-1966, tanpa adanya pembanding dari sejarah
resmi.
A.
Pendahuluan
Menulis sejarah bukan saja hanya persoalan siapa yang benar dan siapa
salah, namun yang menjadi sorotan penting adalah melihat permasalahan dalam
peristiwa secara multikompleks. Seperti yang dikatakan oleh Alun Munslow
bawasanya sejarah dilihat sebagai peristiwa yang mampu menjelaskan persoalan
yang multikompleks. Yang mana persoalan multikompleks tersebut tidak dapat
didekati dengan pendekatan konvensional – sebuah pendekatan sejarah lama – dan
hanya dapat dikaji dengan sebuah pendekatan yang multidimensioanal. Sehingga
dalam melihat sejarah dapat menjadi luas melalui analitis kritis yang ditunjang
konsep analisis sosial.[1]
Selama ini yang terlihat dalam penulisan sejarah Indonesia mengalami
tumpang tindih. Ini disebabkan adanya kepentingan-kepentingan kelompok saja –
dalam perspektif – banyak menempatkan permasalahan peristiwa masa lampau yang
tidak begitu kompleks dan menghapus permasalahan penting dengan beberapa
tujuan. Hal tersebut menyebabkan adanya plus minus dalam historiografi Indonesia.
Seperti halnya penulisan permasalahan agraria, dalam pendidikan
Indonesia hanya menempatkan system tanam paksa masa kolonial sebagai fokus
utama[2].
sedangkan isu-isu permasalahan agraria masa revolusi dan masa peralihan orde
lama – orde baru hanya disinggung sedikit dengan sebuah peristiwa landreform.
Jika ditelisik lebih mendalam permasalahan agararia pasca-kolonial sangatlah
komples dan imbasnya berpengaruh sangat luas.
Menurut Kuntowijoyo[3], guna
sejarah secara ekstrinsik ialah terkait dengan proses penanaman nilai, proses
pendidikan. Sejarah tidak hanya sebagai sesuatu untuk melegalitaskan kekuasaan
namun juga sebagai sumber informasi serta merepresentasikan masa lalu untuk masa
depan. Apa guna sejarah apabila hanya membutakan generasi bangsa selanjutnya.
Seperti yang ditegaskan pada UUD’45 pasal 31 ayat 3;
“Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”[4]
Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan sebuah representasi
bentuk tanggung jawab pemerintah dalam kemajuan bangsa. Namun pengaburan fakta
sejarah untuk menutupi kegagalan dalam rezim apakah itu merupakan suatu bentuk
pencerdasan.
Menyinggung kembali sedikit
permasalahan yang ada dalam agraria pasca-kolonial banyak menyingkap tabir yang
tabu. Banyak kekerasan yang terjadi dalam permasalahan ini, pergolakan perebutan
tanah hanya untuk sebuah kekuasaan. Jika dapat disimpulkan patron yang kuat
dalam peramasalahan ini adalah masyarakat(sebagai pemilik tanah
moyang)-pemerintah(sebagai pemilik kekuasaan hak sepenuhnya negara)-dan kelompok
yang berkepentingan.
Permasalahan agraria
pasca-kolonial pada historiografi Indonesia sangat menarik sekali untuk
didiskusikan. Perlu dipertanyakan kembali mengenai penempatan kredibilitas
permasalahan agrarian pasca-kolonial dalam sejarah Indonesia. Selama ini rezim
Soeharto lebih menutupi kekerasan pada masa pemerintahannya dengan jalur
pengangkatan tulisan sejarah guna legitimasi kekuasaan. Sejarah konvensional pada masa pemerintahan Orde Baru menempatkan
militer sebagai sebagai pemegang utama dalam kendali stabilas negara.[5]
Pengaburan fakta masa Orde Baru merupakan sebuah keberhasilan untuk
produk generasi selanjutnya, namun pada masyarakat yang pernah mengalami
ataupun hidup semasa kekerasan berlangsung masih menyimpan ingatan tersebut.[6]
Kalaupun itu hanya sebuah memory personal merupakan hal tidak dapat disinggung karena
kredibilitasnya diragukan, tetapi apabila sudah menyinggung memory kolektif itu
merupakan hal yang bersifat ekspansif.
Sejarah memiliki
implikasi terhadap negara sebagai sebuah legitimasi kekuasaan dan identitas
nasional. Negara menciptakan genealogi dengan mencatat peristiwa-peristiwa yang
tepat dan menghilangkan peristiwa-peritiwa yang bertentangan dengan
negara-bangsa.
Penciptaan genealogi
ini, untuk legitimasi kekuasaan dengan menampilkan serta menggambarkan tokoh
dan peristiwa secara selektif ke dalam
sebuah narasi. Untuk mendapatkan legitimasi yang nyata, maka
identitas-identitas lama atau konflik-konflik lama ditempatkan jauh dengan
narasi kemenangan nasionalisme. Sejarah lokal yang bertentangan dengan narasi
dominan tidak diberlakukan.
Pada masa Orde Baru dibawah pimpinan
Soeharto (1966-1998), Indonesia mengalami masa otoriter yang bertujuan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi secara cepat dan serempak dengan stabilitas
politik. Pertumbuhan bangsa Indonesia awal masa Orde Baru diiringi dengan historiografi
yang sentralis dan eskatologis.
Tahun 1975, setelah pelaksanaan Konfrensi
Sejarah Nasional diterbitkan buku sejarah nasional Indonesia. Pokok dalam
sejarah nasional ini ialah penetapan periode sejarah Indonesia. Isinya
mencakup: Prasejarah (sebelum tahun Masehi); Periode Kerajaan-kerajaan lama
Hindu (0 – 1600 M); Kerajaan-kerajaan Islam (1600 – 1800 M); pemerintahan
kolonial abad ke-19; Nasionalisme dan akhir pemerintahan kolonial (1900 –
1942); Pendudukan Jepang (1942 – 1945); Revolusi (1900 – 1942); Pendudukan
Jepang (1942 – 1945), revolusi (1945 – 1950), demokrasi liberal (1950 – 1959),
dan demokrasi terpimpin sampai peristiwa G30S/PKI (1965). Kemudian tahun 1984
terbit revisi sejarah nasional oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Dari hasil revisi dengan buku sejarah nasioanal Indonesia tidak
jauh berbeda. Yang menjadi sorotan adalah permasalahan pasca-kolonial.
Apabila pada buku nasional Indonesia
sebelum revisi, permasalahan demokrasi terpimpin sampai peristiwa G30S/PKI
(1965) menekankan pada pembunuhan enam jendral oleh partai komunis yang membawa
Soeharto menjadi pahlawan dan penerbitan Supersemar sebagai teks dasar
pembentukan Orde Baru yang melegitimasi kekuasaan Soeharto, serta juga
pengesahan dwifungsi angkatan bersenjata. Berbeda lagi dengan edisi revisi yang
mendapat sisipan penekanan peranan militer dalam keamanan nasional.
Nugroho Notosusanto dalam sejarah nasional
Indonesia telah berhasil menciptakan uraian sejarah yang cukup hegemonis dengan
militer sebagai pemegang peranan utama. Salah satu ciri Nugroho Notosusanto
dalam penulisan sejarah nasional Indonesia ialah sejarah tanpa kekerasan yang
didominasi oleh militer.
Secara tidak langsung Nugroho Notosusanto
telah berhasil menghapus pembantaian 1965 – 1966 dari buku pelajaran resmi.
Buku pelajaran resmi hanya menyebutkan pembunuhan enam jendral dan empat
perwira bawahannya pada malam hari tanggal 30 september-1 oktober 1965.
Kemudian kisah provokatif itu berakhir, dan akibatnya ribuan orang yang dibunuh
tanpa proses hukum oleh pemerintah Orde Baru secar efisien dihapus dari
sejarah.
Setelah berakhirnya Orde Baru revisi
mengenai sejarah nasional Indonesia dilakukan kembali. Apabila dalam kurikulum
Orde Baru menjelaskan kelahiran, hasil-hasil, dan nilai-nilai Orde Baru, maka
dalam revisi 2001 Orde Baru hampir sama sekali dihapus. Pada sejarah nasional
Indonesia yang baru, sejarah Orde Baru dipadatkan menjadi tiga, pertama, daftar mentri Orde Lama yang digantikan oleh
kabinet baru 1966. Kedua, gambar supersemar ditambah catatan bahwa ada banyak
interpretasi mengenai keaslian dokumen ini. Ketiga, menyebutkan keberhasilan
pembangunan Orde Baru, namun kemudian dipertegas bahwa pemerintahan Orde Baru
akhirnya kandas oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kemudian diikuti oleh
krisis ekonomi 1997. Nampaknya periode antara 1966 dan 1997 seolah-olah
merupakan periode kosong, periode tanpa kejadian.
Kemudian banyak sejarawan yang memusatkan
perhatian pada penulisan sejarah berdasarkan peristiwa Orde Baru untuk
menjadikan sejarah populer. Ini karena peristiwa tersebut –seperti pembantaian
1965– dilihat sebagai hal yang terpenting bagi transformasi masyarakat yang
menandai era baru dan memisahkan diri dari masa lalu. Peristiwa Orde Baru merupakan peristiwa besar
dan dramatis atau peristiwa kecil dan terbatas pada satu lokal. Dalam hal
peristiwa besar, dramatis dan seringkali traumatis, semua ini sering dilihat
sebagai “revelatory”. Artinya,
melalui hal yang ekstrim sesuatu yang normal dapat tersingkap. Kehidupan
perorangan, saat-saat seperti itu dapat dianggap ‘traumatis’ karena menimbulkan
masalah baru dan trauma merupakan patah arang dengan pengalaman hidup
sehari-hari, dan mungkin terpatri secara berbeda dalam pikiran orang yang
mengalaminya.
Historiografi nasional selalu dilihat oleh
pemerintah sebagai kunci penting untuk membangun kesadaran sejarah, akan tetapi
terdapat persoalan mengenai sejauh mana kesadaran ini sepenuhnya terpatri dalam
pikiran masyarakat Indonesia. Meskipun pemerintah membangun sejarah yang lebih
besar tetapi tidak berarti pemandangan sejarah dapat membentuk ingatan secara
seragam. Penghapusan sejarah baru tidak seharusnya dilakukan, guna menghindari
penjelasan sejarah populer yang menyesatkan seputar Orde Baru.
Sejarah merupakan catatan terus menerus secara sistematis
tentang kejadian-kejadian dalam masyarakat, kajian perkembangan negara,
rangkaian kejadian yang berkaitan dengan negara orang, benda, dan sebagainya.[8] Menurut
Burke, tantangan bagi sejarawan sosial adalah bagaimana mengaitkan kehidupan
sehari-hari dengan kejadian yang lebih besar. Pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari dapat terdiri serangkaian kejadian yang mungkin tidak terpisahkan
dari kegiatan rutin sehari-hari, meski kejadian itu mungkin bermakna dalam
kehidupan individu.
Apabila dikaitkan
dengan permasalahan agraria, masa peralihan orde lama ke orde baru menyisakan
sebuah tirai gelap bagi masyarakat kecil. Yang mana permasalahan agrarian
sangat berpengaruh pada masyarakat kecil pasca pembantaian 1965-1966. Sebuah
memory kolektif membentuk ingatan masyarakat pada sebuah ketraumaan.
Sejarah tidak hanya
ditempatkan pada orang besar saja. Masyarakat kecil juga mendapat tempat dalam
sejarah apabila bersangkutan dengan peristiwa yang bersifat ekspansif.
Penghapusan sejarah
gelap Orde Baru dalam sejarah nasional Indonesia bukan jalan terbaik dalam
menyikap tabir kelam masa lalu yang ada hanya kerancuan dalam sejarah nasional.
Karena tidak adanya keseimbangan antara sejarah populer-sejarah resmi-dan
memory kolektif masyarakat.
C.
Agraria
Berbicara persoalan agraria akan berbicara
permasalahan tanah. Persoalan agraria adalah persoalan hidup dan
penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah
adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah
berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela
menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup
selanjutnya”.[9]
Permasalahan agraria yang tak kunjung usai
akan memunculkan banyak permasalahan yang multidimensional. Banyak sejarah
sosial yang dapat dikaji dalam hal ini. Jika kembali masa lampau persoalan agraria
Indonesia diawali dengan pemberlakuan landrefrom.
landreform merupakan usaha untuk menata
kembali kepemilikan tanah dan usaha pendistribusian tanah kepada para petani
yang tidak memiliki tanah. Wacana landrefrom setidaknya dilaksanakan di Jawa
karena penduduknya yang mulai padat.
Di Jawa terdapat jutaan hektar tanah
milik perkebunan. Dalam prespektif masyarakat Indonesia, tanah-tanah
tersebut merupakan milik rakyat Indonesia. Namun, karena praktek tanam paksa
dimasa Gubernur Jendral van den Bosch dan diterapkannya Agrarische Wet 1875, maka secara hukum tanah-tanah tersebut
dijadikan tanah perkebunan para pemilik modal Eropa yang diundang oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Masyarakat Indonesia menganggap perkebunan-perkebunan tersebut sebagai sumber
penghisapan dan penindasan. Oleh sebab itu setelah proklamasi wacana landrefrom
segera dilaksanakan guna mengembalikan tanah-tanah perkebunan kepada pemilik
aslinya, khususnya kepada petani.
Namun
tanah-tanah perkebunan yang awalnya diperkirakan menjadi obyek landreform ternyata
tidak dapat diganggu-gugat. Perjanjian KMB tahun 1948 mengharuskan semua
perkebunan milik kaum modal Eropa yang dikuasai Indonesia, harus dikembalikan
kepada pemilik modal, sebagai imbalan bagi pengakuan kedaulatan atas Republik
Indonesia.[10]
Selanjutnya
tahun 1957-1958, setelah pengakuaan kedaulatan Negara Republik Indonesia,
dilakukan nasionalisasi perkebunan asing. Nasionalisasi tersebut dilakukan guna
pelaksanaan landreform, tetapi tanah perkebunan tersebut tidak terlaksana
kembali menjadi obyek landreform. Tanah-tanah tersebut diserahkan kepada
militer, yang kemudian dijadikan perusahaan milik negara dan sebagian lagi
dijual kepada orang pribumi pemilik modal.[11]
Pada
tahun 1960 dikeluarkannya UUPA. UUPA merupakan perombakan total dari system
agraria warisan pemerintah kolonial. Wacana land-reform di Jawa untuk
menjadikan tanah-tanah perkebunan sebagai obyek pendistribusian kepada pemilik
asli –orang pribumi– tidak dimungkinkan lagi, karena luas tanah di
Jawa sudah tidak memadahi untuk obyek landreform. Tanah perkebunan sudah
menjadi tanah milik perkebunan negara dan perkebunan swasta, kemudian obyek
landreform dialihkan ke tanah-tanah pertanian.
Pengalihan
obyek landreform ke tanah-tanah pertanian didasarkan atas asumsi ketidakadilan
pada kepemilikan tanah-tanah pertanian. Pengalihan ini diterapkan kepada
tanah-tanah pertanian milik perorangan yang luasnya melebihi dari luas tanah
yang diizinkan oleh UUPA. Dimisalkan, seorang petani mempunyai tanah 3,5
hektar, maka tanah yang menjadi obyek landreform hanyalah 1,5 hektar saja.
Karena berdasarkan UUPA, tanah maksimal yang dimiliki oleh petani hanya 2
hektar.
Adanya
UUPA, para pemilik tanah pertanian yang luasnya melebihi luas ketetapan UUPA
berusaha untuk menghindari kebijakan tersebut. Para pemilik tanah pertanian
memanfaatkan celah hukum yang ada, dengan jalan mengalihkan hak kepemilikan
tanahnya kepada anggota keluarga. Pada akhirnya tidak terdapat lagi tanah pertanian
di Jawa untuk dijadikan obyek land-reform, sehingga pelaksanaan landrefrom tidak
terwujud.
D.
Permasalahan yang muncul dalam Agraria
Menyebut-nyebut permasalahan agraria pasti
yang terlintas hanyalah masalah tanah belaka dan tidak ada imbas atau effect besar pada masyarakaat sosial
Indonesia. Jika ditelisik mendalam permasalahan agraria merupakan hal kompleks.
Seperti yang dinyatakan oleh Mochammad Tauchid bahwa Siapa
Menguasai Tanah, Ia Menguasai Makanan.[12]
Masa lalu dapat merepresentasikan masa
depan. Dapat diketahui sekarang permasalahan yang masih mencuat adalah
pergolakan eksekusi tanah tol jalur semarang solo dan solo Surabaya.[13]
Saat ini merupakan hot topic, tetapi
bagaimanapun yang bisa menilai adalah masyarakat. Penggiringan opini dilakukan
guna mengurangi isu yang lebih meluas. Media massa hanya sedikit menyinggung
permasalahan ini. Jika dibandingkan permasalahan ini dengan masa lalu, pasti
peristiwa sekarang ini seperti hal-nya masa lalu namun perbedaannya adalah
ruang waktu serta bentuk peristiwanya.
Seperti yang disinggung pada bab
sebelumnya, bahwa untuk menyiasati UUPA maka para pemilik tanah pertanian
membagikan tanahnya kepada anggota keluarga. Dan selanjutnya tidak terdapat
lagi tanah yang tersisa untuk petani yang tidak memiliki tanah. Hal ini menjadi
sebuah konflik horizontal yang sifatnya sangat politis.
Konflik horizontal ini –aksi sepihak–
terjadi antara para pemilik tanah
–kebanyakan ialah anggota PNI dan pemimpin kelompok agama yang
berafiliasi dengan NU– melawan petani yang tidak bertanah –yang didukung oleh PKI, dengan berafiliasi BTI.[14]
Konflik
ini meluas dibeberapa daerah di Jawa dan Bali. Seperti Jawa Tengah antara PNI melawan
PKI, di Bali antara PNI melawan
PKI, dan Jawa Timur antara NU melawan PKI. Konflik atas tanah berhenti setelah
PKI dibubarkan serta di anggap sebagai partai terlarang di Indonesia[15].
Berhentinya konflik atas tanah juga menandai dihentikannya pelaksanaan UUPA,
sehingga praktek landreform atas tanah pertanian tidak jadi dilaksanakan.
Akan
tetapi konflik sosial masyarakat ini dapat dikatakan sebagai dasar dari konflik
politik selanjutnya, yang mengakibatkan pembantaian massal terhadap anggota PKI
dan juga simpatisan PKI – Lekra, BTI, Gerwani, PGRI non vaksentral.
Di Jawa Timur kabupaten Kediri[16]
menjadi sebuah memory yang tidak dapat dilupakan masyarakat yang mengalami atau
hidup semasa itu, ketakutan dan trauma masih menyelimuti.[17] Sebuah
memory tidak hanya dikenang saja tetapi menjadi sebuah cerita untuk generasi
selanjutnya.
Konflik yang terjadi di Kediri ditengarai
antara orang ansor yang berafiliasi dengan NU dengan PKI. Disini orang-orang
ansor memainkan peranan penting dalam pembantaian ini.[18] aksi
ini mendapat dukungan penuh sekaligus perlindungan dari tentara.
Apabila dikaitkan, awal pergolakan di
Kediri bisa berpotensi dari adanya sengketa tanah. Para pemilik tanah resah dan
enggan memberlakukan UUPA pada tanahnya yang luas karena merasa dirugikan.
Sedangkan orang-orang yang tidak bertanah juga resah tidak kunjung mendapatkan
tanah yang dijanjikan dari program UUPA. Oleh Sebab itu karena merasa tidak
mendapatkan hak atas tanah dan tidak mendapatkan keadilan maka terjadilah aksi
sepihak, yang berujung pembantaian besar-besaran dalam sejarah Indonesia.[19]
Kemudian orang-orang pemilik tanah ini,
yang sebagian besar adalah orang-orang NU kembali mempertahankan tanahnya
dengan segala upayanya. Peristiwa G30S/PKI adalah puncak dari semuanya.
Penggiringan isu dari nasional ke daerah bergulir. Dengan bersenjatakan isu
G30S/PKI maka pembantaian simpatisan dipenjuru Indonesia dilakukan
besar-besaran. Militer sebelum turun membersihkan orang-orang yang dianggap
komunis didahului oleh para vigilante. mungkin bisa saja vigilante merupakan orang-orang yang sakit hati
karena adanya aksi sepihak yang dilakukan oleh para tani tak bertanah.
E. Pemikiran ulang penulisan sejarah
nasional Indonesia
Sebuah
ide menarik apabila terus menggali sebenarnya apa yang terjadi masa pergolakan
tanah tahun 1965 yang berujung pembantaian. Sebuah konsep sejarah sosial yang
didasari oleh permasalahan agrarian yang kemudian dikaitkan oleh isu politik
masa lalu.
Sejarah
bukan milik orang besar, tetapi juga milik semu orang yang memiliki pengaruh
besar terhadap peristiwa. Pergolakan tanah yang pada akhirnya menyeret isu politik
merupakan hal yang menarik.
Apabila
disinggung pada bab sebelumnya historiografi Indonesia menghapus ingatan
sejarah ini dalam buku nasional. Setelah orde baru penulisan sejarah atas konflik
agrarian pasca kolonial tidak juga tercatat dalam sejarah nasional Indonesia.
Yang ada hanyalah sejarah populer dan berkembnag bagaikan jamur dimusim hujan.
Ditunjang dengan memory kolektif masa konflik berlangsung menjadikan cerita
semakin rumit.
Pertandingan
pemikiran saling bermunculan. Dan itu menjadi sebuah boomerang bagi generasi
selanjutnya. Yang tidak mengetahui entah apa yang terjadi pada tahun 1965-1966.
Imbasanya generasi selanjutnya bisa dicekoki dengan cerita-cerita menyesatkan.
Selama ini agraria ditempatkan pada
sejarah apa. Apakah sebagai sejarah nasional, lokal atau orang bawah saja.
Persoalan agraria menjadikan pergolakan yang bersifat ekspansif. Jika ditelisik
kembali telinga kita seperti dikilik, karena selama ini apa yang disinggung
dalam dunia pendidikan Indonesia masalah agraria hanyalah persoalan system tanam
paksa. Bagaimana dengan persoalan agraria tahun 1965-1966. Penghapusan suatu
fakta sejarah untuk kepentingan kelompok semata hanya akan membutakan generasi
selanjutnya.
Pemikiran
kembali permasalahan agraria perlu dipertimbangkan. Ini guna keberlangsungan
generasi selanjutnya. Namun semua perbuatan pasti ada konsekuensinya. Pemikiran
kembali permasalahan agrarian dan menyisipkan ke sejarah nasional Indonesia
akan menggiring kelompok tertentu, karena permasalahan ini diperkirakan masih berusia
muda. Sehingga kemungkinan oknum-oknum yang bersangkutan masih hidup. Dan
konsekuensi berikutnya, penulisan ini akan menjadi sebuah kontradiksi terhadap
kelompok tertentu.
F. Penutup
Memory
kolektif masyarakat yang tersimpan menjadi sebuah cerita kepada anak cucu-nya.
Satu yang sering saya dengar dari orang-orang tua “jadilah orang benar, jangan ikutan organisasi aneh-aneh, yang penting
ibadah dan kerja yang lurus”. Itulah pesan orang-orang yang mengalami chaos pasca 1965.
Permasalahan
agraria berujung pada pembantian merupakan hal yang sangat menarik sekali untuk
dikaji kembali dan dipertimbangkan apakah permasalahan tersebut sepantutnya
masuk kedalam sejarah nasional Indonesia. Persoalan salah atau benar tidak bisa
diperdebatkan disini, sebab pergolakan yang terjadi adalah pergolakan
kepentingan dari suatu kelompok yang mana jika dilihat dari perspektif
masing-masing kelompok sama-sama benar. namun yang menjadi persoalan yang perlu
dijawab siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian missal.
Pemikiran
ulang permasalahan agraria berujung pebantaian ini perlu dikaji kembali, sebab
bagaimanapun ini sebuah sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah nasional
Indonesia bukan hanya buku untuk membangun legitimasi kekuasaan semata saja.
Penulisan kembai sejarah nasioanal Indonesia dilakukan untuk generasi kita
juga, agar kelak peristiwa kelam yang terjadi tidak terulang kembali dimasa
depan.
Daftar rujukan :
Alun Monslow, 2003. “The New Histotry”. Pearson Longman.
Koentowijoyo, 2008. “Penjelasan Sejarah”. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
H.S. Nordholt,
Bambang P. dan Ratna S (Ed). 1998. “Perspektif
Baru Penulisan Sejarah Indonesia”. Jakarta: yayasan Obor Indonesia ; KITLV-
Jakarta; Denpasar: Pustaka Larasan.
Freek C. dan J.
Thomas Lindblad (Ed), 2002. ”Roots of
Violence in Indonesia”. Leiden: KITLV
Mochammad
Tauchid, 2007. ”Masalah Agraria sebagai
Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia”. Yogyakarta: Pewarta
S.M.P. Tjondronegoro
dan Gunawan Wiradi (Ed).” Dua Abad
Penguasaan Tanah”. Jakarta: Obor.
Aminuddin Kasdi,2009 .
“Kaum merah menjarah”. Surabaya: YKCB
dan Centre Indonesian Communities Studies
Jeffery M. Paige,
2011. “Revolusi Agraria”. Imperium
[1] Lihat
Alun Monslow, “The New Histotry”.
Pearson Longman.
[2] Silabus
Sma 2012/2013. Dalam konteks agrarian pembelajaran
hanya menekankan pada permasalahan-permasalahan seputar kolonialisme, untuk
permasalahan peralihan orba-orla hanya menyinggung sedikit. Pokok permasalahan
agraria hingga terjadinya pergolakan tidak disinggung.
[3] Lihat
“Penjelasan Sejarah”, Koentowijoyo.
[4] UUD’45.
[5] H.S. Nordholt,
Bambang P. dan Ratna S (Ed). 1998. Perspektif
Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: yayasan Obor Indonesia ; KITLV-
Jakarta; Denpasar: Pustaka Larasan.
[6] Lihat
pada Freek C. dan J. Thomas Lindblad (Ed). Roots
of Violence in Indonesia; R.E. Elson, In
fear of the people Suharto and the justification of state-sponsored violence
under the new order.
[7] H.S.
Nordholt, Bambang P. dan Ratna S (Ed), op.cit.
[8] Ibid, Conside Oxford Dictionary
edisi 1964, lihat penjelasan Heather Sutherland.
[9] Mochammad Tauchid,
2007. Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Pewarta
[10] S.M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Ed). Dua
Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: Obor.
[11] Ibid.
[12] Op.
Cit.
[13] Detiknews,
29 November 2012. Bentrokan antara aparat dan warga sekitar atas eksekusi tanah
pembangunan jalan tol.
[14] Aminuddin
Kasdi. Kaum merah menjarah. YKCB
[16] Hal ini terjadi
ditempat kelahiran saya disekitar kecamatan Purwoasri dan Papar menjadi sebuah
memory kolektif bagi masyarakat sekitar. Ketakutan dan trauma masih melekat.
[17] Lihat
40 years of silence an indonesian tragedy, documenter mengangkat korban
pembantaian ’65. ketakutan dan trauma masih menyelimuti sebagian besar korban.
[18] Lihat
permohonan maaf Gus Dur semasa jabatannya atas pembantaian yang dilakukan oleh
pemuda Ansor dan Banser NU dan Kompas.co, Senin, 01 Oktober 2012
[19] Jeffery M. Paige. Revolusi Agraria. Imperium
Tidak ada komentar:
Posting Komentar