Nama : Tiyas Dwi Puspita
NIM : 12/340431/PSA/7415
Kajian yang ditulis oleh Henri Chambert–Loir bersama dengan
Marie-France Dupoizat ini sangat menarik. Teks Melayu yang menjadi bahasan
dijelaskan secara mendetail dan terperinci. Walau tidak keseluruhan sejarah dan
rincian tentang tempayan dapat terpecahkan karena memang tidak dijelaskan dalam
teks yang diteliti atau diketahui oleh penulis.[3]
Namun sebagai peta atau pedoman yang sistematis bagi penggemar tempayan baik
pedagang maupun pembeli tempayan untuk lebih mengenali jenis tempayan dan
harganya, pada masa teks tersebut digunakan, tentunya teks ini sangat besar
manfaatnya. Untuk menjelaskan tentang periode, teks melayu ini cukup terang karena tertera tahun di
dalamnya, 1839. Dalam teks juga mencantumkan nama pemilik yaitu Mahbud, yang
kemungkinan juga penyalinnya atau bahkan pengarangnya.[4]
Ke dua peneliti dalam memetakan
penjelasannya dalam tulisan artikel tentang teks melayu ini cukup baik. Dari
deskripsi artikel ini dijelaskan kajian asal usul dan guna dari tempayan
sebagai pokok bahasan, dan terdapat rincian naskah melayu dan pengertiannya (ada
beberapa yang ambigu dan memang tidak terdapat dalam teks melayu yang kedua
peneliti ketahui). Peneliti berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang bisa
dipahami orang banyak. Isi dari teks melayu ini sangat baik untuk masanya,
apabila melihat dari masa tersebut kiranya penulis memiliki pengetahuan yang
tinggi serta wawasan yang luas dan cerdas. Pembuat petunjuk tentang tempayan
ini mampu menjelaskan dan menggambarkan secara fisik mulai dari ukuran, bentuk,
sampai hiasan-hiasan yang tertera pada tempayan yang ada pada masa itu, selayaknya
seseorang yang mampu mendesain perabot. Dan juga terdapat penomoran pada teks sehingga
pengguna teks dapat membaca secara runtut. Ini menunjukkan bahwa pembuat teks
melayu tersebut cukup intelek pada masanya, sehingga mampu menggambarkan apa
yang terlihat dari sebuah tempayan secara tersurat. Si pembuat teks juga
mengungkapkan pernah mendampingi pejabat tinggi kesultanan Pontianak. Hal ini
menguatkan bahwa penulis teks melayu tersebut termasuk golongan intelektual
pada masa itu.
Artikel ini memuat bahwa dari
melihat kepemilikan tempayan, kita dapat mengetahui tatanan sosial yang
terdapat di masyarakat, sehingga status sosial seseorang dapat diidentifikasi.
Masyarakat pada masa itu memiliki kecenderungan mengumpulkan tempayan sebagai
symbol martabat.[5] Dengan demikian
masyarakat menjadikan kepemilikan tempayan sebagai gengsi atau gaya hidup.
Semakin berharganya tempayan yang dimiliki maka ia semakin dipandang.
Selain dari guna tempayan itu
sendiri, hiasan-hiasan yang terdapat pada tempayan memiliki makna yang turut
menentukan nilai dari tempayan. Symbol yang paling menarik dan memiliki makna
yang unik adalah naga. Naga dalam budaya masyarakat Tionghoa merupakan hewan
yang dapat menjadi perantara antara langit dan bumi. Berkaitan dengan tempayan berhiaskan
naga yang digunakan sebagai tempat untuk orang mati, naga di sini berfungsi sebagai
penghubung antara orang yang hidup dengan yang mati.[6]
Beberapa mitos dan keajaiban yang berkaitan dengan ratu Campa dan Majapahit
juga mempengaruhi nilai dari tempayan. Jadi dapat disimpulkan bahwa mitos masih
mewarnai kehidupan masyarakat pada masa itu dan selain itu, kebesaran kerajaan
Majapahit mendapat tempat hingga masyarakat pelosok Kalimantan.
Pada masa itu juga terdapat kisah
yang menarik tentang perdagangan tempayan, di Kalimantan, yaitu terdapat
penipuan dalam jual beli tempayan. Perkara ini cukup serius dan bahkan sampai
dipengadilan raja Charles Brooke,dan pelaku penipuan mendapat hukuman selama
dua tahun. Masalah ini terbongkar karena peran para ahli pribumi yang memiliki
pengetahuan mendalam tentang tempayan. Ini menunjukkan bahwa telah ada atau terdapat
kemajuan hukum dan system peradilan, baik pidana maupun niaga.
Dari teks Melayu dan terjemahannya
tersebut, nampak jelas penulis menggunakan huruf Arab dan gaya bahasa yang
sangat Islami. Namun dari sudut pandang lain terkait dengan tempayan - tempayan
yang populer pada masa itu, tersirat pula bahwa masyarakat meyakini mitos-mitos
dewa, sehingga dalam ritual kematian mereka masih menggunakan tempayan berhias
naga sebagai tempat mayat, seperti yang
telah disinggung sebelumnya kepercayaan tentang naga sendiri merupakan budaya
Tionghoa. Dari sini dapat diketahui bahwa walau pengaruh Islam sudah kuat namun
dalam kehidupan masyarakat kepercayaan terhadap budaya lain dan mitos tetap
ada, tidak hilang. Tampak bahwa masyarakat kita pada masa itu sangat tolerir
dalam menerima berbagai budaya dan kepercayaan, sehingga mereka dapat
menyandingkan dan menganut berbagai pengaruh baik mitos, agama, maupun
kepercayaan dalam kehidupannya.
.
[1] Artikel ini ditulis bersama Marie-France Dupoizat dan pertama
terbit dalam majalah Archipel (No.
66, 2003, h. 113-160) dengan judul “Le jarres de Bornéo d’après un
texte malaise de 1839”.
[2] Henri Chambert –Loir, Sultan,
Pahlawan dan Hakim, Jakarta: KPG , 2011, hlm. 111.
[3]Di dalam bab ini dijelaskan bahwa kedua peneliti tidak dapat dapat
memastikan bahwa teks yang sedang dikaji tersebut merupakan salinan seutuhnya dari
naskah aslinya, buku pegangan tenteng tempayan tersebut., Ibib., hlm. 116,
[4] Ibid.,hlm. 111.
[5] Ibid.. hlm. 114.
[6] Ibid.,hlm.112-113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar