Halaman

Kamis, 17 Januari 2013

Review “ TEMPAYAN KALIMANTAN MENURUT SEBUAH TEKS MELAYU TAHUN 1839[1]”[2]


Nama  : Tiyas Dwi Puspita
NIM     : 12/340431/PSA/7415

            Kajian yang ditulis oleh  Henri Chambert–Loir bersama dengan Marie-France Dupoizat ini sangat menarik. Teks Melayu yang menjadi bahasan dijelaskan secara mendetail dan terperinci. Walau tidak keseluruhan sejarah dan rincian tentang tempayan dapat terpecahkan karena memang tidak dijelaskan dalam teks yang diteliti atau diketahui oleh penulis.[3] Namun sebagai peta atau pedoman yang sistematis bagi penggemar tempayan baik pedagang maupun pembeli tempayan untuk lebih mengenali jenis tempayan dan harganya, pada masa teks tersebut digunakan, tentunya teks ini sangat besar manfaatnya. Untuk menjelaskan tentang periode, teks melayu  ini cukup terang karena tertera tahun di dalamnya, 1839. Dalam teks juga mencantumkan nama pemilik yaitu Mahbud, yang kemungkinan juga penyalinnya atau bahkan pengarangnya.[4]
            Ke dua peneliti dalam memetakan penjelasannya dalam tulisan artikel tentang teks melayu ini cukup baik. Dari deskripsi artikel ini dijelaskan kajian asal usul dan guna dari tempayan sebagai pokok bahasan, dan terdapat rincian naskah melayu dan pengertiannya (ada beberapa yang ambigu dan memang tidak terdapat dalam teks melayu yang kedua peneliti ketahui). Peneliti berusaha untuk menjelaskan dengan bahasa yang bisa dipahami orang banyak. Isi dari teks melayu ini sangat baik untuk masanya, apabila melihat dari masa tersebut kiranya penulis memiliki pengetahuan yang tinggi serta wawasan yang luas dan cerdas. Pembuat petunjuk tentang tempayan ini mampu menjelaskan dan menggambarkan secara fisik mulai dari ukuran, bentuk, sampai hiasan-hiasan yang tertera pada tempayan yang ada pada masa itu, selayaknya seseorang yang mampu mendesain perabot. Dan juga terdapat penomoran pada teks sehingga pengguna teks dapat membaca secara runtut. Ini menunjukkan bahwa pembuat teks melayu tersebut cukup intelek pada masanya, sehingga mampu menggambarkan apa yang terlihat dari sebuah tempayan secara tersurat. Si pembuat teks juga mengungkapkan pernah mendampingi pejabat tinggi kesultanan Pontianak. Hal ini menguatkan bahwa penulis teks melayu tersebut termasuk golongan intelektual pada masa itu.
            Artikel ini memuat bahwa dari melihat kepemilikan tempayan, kita dapat mengetahui tatanan sosial yang terdapat di masyarakat, sehingga status sosial seseorang dapat diidentifikasi. Masyarakat pada masa itu memiliki kecenderungan mengumpulkan tempayan sebagai symbol martabat.[5] Dengan demikian masyarakat menjadikan kepemilikan tempayan sebagai gengsi atau gaya hidup. Semakin berharganya tempayan yang dimiliki maka ia semakin dipandang.
            Selain dari guna tempayan itu sendiri, hiasan-hiasan yang terdapat pada tempayan memiliki makna yang turut menentukan nilai dari tempayan. Symbol yang paling menarik dan memiliki makna yang unik adalah naga. Naga dalam budaya masyarakat Tionghoa merupakan hewan yang dapat menjadi perantara antara langit dan bumi. Berkaitan dengan tempayan berhiaskan naga yang digunakan sebagai tempat untuk orang mati, naga di sini berfungsi sebagai penghubung antara orang yang hidup dengan yang mati.[6] Beberapa mitos dan keajaiban yang berkaitan dengan ratu Campa dan Majapahit juga mempengaruhi nilai dari tempayan. Jadi dapat disimpulkan bahwa mitos masih mewarnai kehidupan masyarakat pada masa itu dan selain itu, kebesaran kerajaan Majapahit mendapat tempat hingga masyarakat pelosok Kalimantan.
            Pada masa itu juga terdapat kisah yang menarik tentang perdagangan tempayan, di Kalimantan, yaitu terdapat penipuan dalam jual beli tempayan. Perkara ini cukup serius dan bahkan sampai dipengadilan raja Charles Brooke,dan pelaku penipuan mendapat hukuman selama dua tahun. Masalah ini terbongkar karena peran para ahli pribumi yang memiliki pengetahuan mendalam tentang tempayan. Ini menunjukkan bahwa telah ada atau terdapat kemajuan hukum dan system peradilan, baik pidana maupun niaga.
            Dari teks Melayu dan terjemahannya tersebut, nampak jelas penulis menggunakan huruf Arab dan gaya bahasa yang sangat Islami. Namun dari sudut pandang lain terkait dengan tempayan - tempayan yang populer pada masa itu, tersirat pula bahwa masyarakat meyakini mitos-mitos dewa, sehingga dalam ritual kematian mereka masih menggunakan tempayan berhias naga  sebagai tempat mayat, seperti yang telah disinggung sebelumnya kepercayaan tentang naga sendiri merupakan budaya Tionghoa. Dari sini dapat diketahui bahwa walau pengaruh Islam sudah kuat namun dalam kehidupan masyarakat kepercayaan terhadap budaya lain dan mitos tetap ada, tidak hilang. Tampak bahwa masyarakat kita pada masa itu sangat tolerir dalam menerima berbagai budaya dan kepercayaan, sehingga mereka dapat menyandingkan dan menganut berbagai pengaruh baik mitos, agama, maupun kepercayaan dalam kehidupannya.

.
           


[1] Artikel ini ditulis bersama Marie-France Dupoizat dan pertama terbit dalam majalah Archipel (No. 66, 2003, h. 113-160) dengan judul “Le jarres de Bornéo d’après un texte malaise de 1839”.
[2] Henri Chambert –Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim, Jakarta: KPG,  2011, hlm. 111.
[3]Di dalam bab ini dijelaskan bahwa kedua peneliti tidak dapat dapat memastikan bahwa teks yang sedang dikaji  tersebut merupakan salinan seutuhnya dari naskah aslinya, buku pegangan tenteng tempayan tersebut., Ibib., hlm. 116,
[4] Ibid.,hlm. 111.
[5] Ibid.. hlm. 114.
[6] Ibid.,hlm.112-113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar