Nama :
Rika Inggit Asmawati
NIM : 12/339398/PSA/7286
Tradisi penulisan
tradisional, legitimasi kekuasaan raja
Historiografi tradisonal biasanya berisi kisah para raja
atau seorang raja tertentu yang terkesan diagung-agungkan. Selain itu dalam
historiografi lokal juga memuat tentang asal-usul suatu kerajaan[1]
. Pengagungan raja ini dapat dilihat dari beberapa tulisan-tulisan para pujangga masa itu
seperti dalam babad tanah jawi ataupun juga dalam kitab pararaton. Dalam
Pararaton misalnya banyak membicarakan tentang pengangungan Ken Arok
sebagai keturunan Batara Guru,
Siwa. Untuk lebih meyakinkan lagi bahwa
Ken Arok adalah memang keturunan raja, tulisan dalam pararaton dibuat justru
terkesan berlebihan.Hal yang sama juga ditemukan dalam historiografi lokal
lainnya, Babad Tanah Jawi. Babad tanah Jawi yang menceritakan tentang asal
muasal kerajaan Mataram juga digunakan untuk melegitimasi kekusaan raja saat itu,
misalnya silsilah rajanya.
Dalam historigrafi tradisional, pujangga memasukkan
mitos ke dalam tulisannya. menurut C.C Berg yang dikutip Soejatmoko, mitos
adalah narasi sejarah yang telah memasyarakat. Mitos merupakan citra tentang
peristiwa dan kurun sejarah, yang dalam sebagian berasal dari fakta-fakta yang
dihasilkan oleh penyelidikan-penyelidikan ilmiah, dalam sebagian lagi
berdasarkan interpretasi sementara mengenai fakta-fakta itu, tetapi sebagian
lain merupakan hasil konstruksi dasar dari pemuasan kebutuhan individual dan
social bawah sadar yang amat dalam. Mitos merupakan alat penolong bagi manusia
dalam orientasinya di dunia, berkaitan dengan masa lampau, masa kini dan masa
depan dari kehidupannya dan berkaitan dengan kehidupan alam baka. [2]
dalam babad, mitos dan symbol memainkan peranan yang lebih penting daripada
pararaton. Gambaran jawa mengenai masa lampau telah cukup banyak menyerap mitos
India dalam masa kontak cultural India-Jawa. [3]Itulah
sebabnya dalam penulisan tradisional, legitimasi kekuasaan yang tertuang dalam
silsilah raja- raja jawa biasanya memuat tentang Dewa yang ada di India.
Perspektif “kacamata kuda” yang sering digunakan oleh
pujangga keraton untuk menghasilkan karya-karya tradisi itu menjadikan para
sejarahwan beranggapan bahwa karya para pujangga yang banyak bersandar pada
sesuatu yang terjadi pada masa lalu itu hanya bersifat politis dan bukan
historis. Hal ini diperkuat dengan pendapat J.J Ras dalam tulisannya tentang
Babad Tanah jawi yang berpendapat bahwa dokumen dinasti seperti babad tidak
pernah dapat digunakan sama seperti
menggunakan dokumen VOC. Tetapi pendapat ini ditentang oleh M.C. Ricklefs.
Menurutnya, semua sumber baik lokal maupun asing harus diperlakukan sama. Yang penting
dilakukan adalah perlu diterapkannya kritik sejarah yang normal dan kritis
terhadap sumber-sumber tersebut.[4]
Walaupun mempunyai unsur subjektivitas yang sangat
kental, Tradisi penulisan tradisioanl yang sering diartikan sebagai karya sastra
tidak lantas dapat diabaikan begitu saja. Seperti pendapat Taufik Abdullah yang
dikutip Bambang Purwanto, melalui karya sastra kita dapat memahami proses masa
lalu dan menagkap kembali struktur waktu dari realitas. Lebih lanjut, Taufik
Abdullah menambahkan bahwa karya sastra merupakan pengalaman kolektif pengarang
dan merefleksikan susasana waktu ketika karya itu diciptakan. [5]
Dengan kata lain, melalui babad, mitos dan jenis tradisi penulisan tradisional
yang lain, dapat diketahui pola pikir masyarakat, kondisi social, perekonomian
masyarakatnya, bahkan situasi politik pada saat itu.
[1] Soejatmoko,dkk, Historiografi Indonesia : Sebuah Pengantar (Jakarta : PT Gramedia Pustaka, 1995), Bab.V
[2] Soejatmoko,dkk, Historiografi Indonesia : Sebuah Pengantar (Jakarta : PT Gramedia Pustaka, 1995), Bab
XXII
[3] Soejatmoko,dkk, Historiografi Indonesia : Sebuah Pengantar (Jakarta : PT Gramedia Pustaka, 1995), Bab.VI
[4] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris.
(Jogjakarta: Ombak, 2006).
[5] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar