Halaman

Kamis, 17 Januari 2013

Ilmu social otonom atau nativis : Benturan orientasi


Nama  : Rika Inggit Asmawati
NIM     : 12/339398/PSA/7286

Nativisme dan otonomi merupakan dua perspekstif atau orientasi yang bertentangan diantara berbagai variasi diskursus altenatif dalam ilmu social. Selain melawan ilmu social Eurosentris dan Orientalis, keduanya sama-sama mencemooh penggiringan intelektual dan keterbelengguan pikiran. Namun, dalam menyikapi pengetahuan yang datang dari Barat, keduanya saling bertentangan satu sama lain.
Nativisme
Konsekuansi logis pembalikan Orientalisme dan Oto-orientalisme adalah nativisme, yang merujuk pada kecenderungan pribumi / melokal diantara para ilmuwan Barat maupun lokal. Dalam kecendurungan ini, sudut pandang pribumi (native) menjadi criteria penialain terhadap deskripsi dan analisis. Akibatnya,penolakan total pada pengetahuan barat, atau sebuah penolakan yang didasarkan pada asal-usul gagasan nasional atau budaya. Kecenderungan ini begitu meluas sehingga mempengaruhi penilaian sepintas mengenai gagasan diskursus alternative oleh orang-orang yang tidak paham, namun akhirnya membentuk opini berdasarkan reaksi ekstrem beberapa nativis.
Antropologi yang dicirikan Evans (1997) sebagai yang diulayatkan meski bertentangan dengan kebanyakan definisi mengenai ulayati imu social, lebih dekat dengan ide tentang nativisme. Bahaya antropologi yang menyatukan diri terlalu dekat dengan kepentingan Negara semakin tampak ketika di masyarakat berkembang, banyak sekali riset antropologi didanai oleh pemerintah.  Menurut Syamsul, ketika prioritas-prioritas didekte oleh pertimbangan di laur akademis, agenda dan penulisan riset cenderung didominasi isu-isu berorientasi kebijakan atau bisnis yang dimotivasi pencarian keuntungan. Inilah masalah penting yang menantang ilmu social dari dalam batas sebuah bangsa, sementara masalah kebergantungan akademis dan imperialism sebagai diskursus yang membebaskan, mereka mungkin berkompromi terlalu dekat dengan Negara, dan didefinisikan di tingkat bangsa dengan menyelubungi keanekaragaman internal.
Ilmu social otonom
Gagasan tentang ilmu social yang otonom yang menentang nativisme dan Negara-negara bangsa sebagai basisi diskursus alternative merupakan sebuah konsepsi yang dikembangakan Syed Hussein Alatas. Konsekuensi logis dari kesadaran tentang masalah benak yang terbelenggu adalah pengembangan sebuah tradisi ilmu social yang otonom yang bakal berfungsi menghapuskan atau membatasi pengarung demonstrasi intelektual dari pikiran yang terbelenggu.
Ide tentang ilmu social yang otonom menyatakan bahwa masalahnya bukan hanya dominasi dan control ilmu social barat. Sebagaimana Europasentrisme dan keterbelengguan pikiran dalam ilmu social Dunia ketiga bukan dikarenakan upaya lembaga ilmu social barat, secara sadar dan serempak, untuk mendominasi. Ilmu social otonom tidaklah anti barat atau pro Negara,. Cirri utama ilmu social otonom adalah otonomi dalam konseptualisasi dan prioritas masalah dalam pengembangan agenda riset, dalam pembangunan teori orisinal, dan riset yang empiris. Otonomi mengarah pada sebuah kritik konstruktif terhadap pengetahuan barat serta pertimbangan serius terhadap sumber pengetahuan non-Barat.
Kritik Konstruktif terhadap pengetahuan Barat.
Syed Farid Alatas memberikan contoh karya-karya yang merupakan kritik konstruktif pengetahuan barat, antara lain dari karya D.P Mukerji, D.D kosambi, Andre Beteille.  Sepakat dengan pendapat Madan, Ia beranggapan bahwa Mukerji menginginkan teori-teori dan konsep Marxis didasrkan pada realitas atau kekhususan empiris sejarah India. Sedangkan D.D kosambi menurutnya membuat periodisasi sejarah india berbeda dari yang dilakukan kaum marxis atupun neomarxis.  Kemudian dalam karya Andre Beteille, ia mengungkapkan bahwa yang paling pentinga adalah adanya kritik atas gagasan pengetahuan barat dengan tujuan memperhalus konsep yang mungkin telah diterapkan secara tidak kritis dalam konteks non Eropa.
Sumber Pengetahuan non Barat
Syed Farid Alatas memberikan meberapa contoh pengguanaan sumber pengetahuan non barat yang masih alyak untuk dijadikan teori dalam kajian. Ia mengungkapkan bahwa persepektif  Ibn Khaldun  masih digunakan di Iran tanpa harus mengesampingkan marxisme.  Kemudian di korea, ada karya yang memanfaatkan tradisi klasik sebagai sumber teorisasi, yaitu konsep ying-yang dan juga konsep min-joong.  Di india, pengguaan konsep kasta juga ikut menadampingi peggunaan teori-teori modern. 
Dalam contoh-contoh tadi, otonomi muncul karena para penulis tidak mebatasi dirinya pada tradisi ilmu social Barat, tetapi juga menggunakan tradisi alternative untuk membangun teori dan konsep mereka. Pemikiran mereka cenderung berusaha untuk mandiri. Kritik terhadap Eurosentrisme dan Orientalisme menyiratkan dimungkinkanyya tradisi alternative atas ilmu social Euro-Amerika. Salah satu aspeknya adalah penumbuhan konsep dan teori ilmu social dari dalam negri atau lokal.
Syed Farid Alatas mengungkapkan ada dua hal yang harus dikemukakan mengenai ilmu social otonom, pertama, persoalan otonomi tidak terbatas pada masalah Eurosentrisme atau keterbelengguan pikiran. Kedua, ilmu social otonom sebagai koreksi terhadap ilmu social yang relevan dengan lingkungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar