Nama : Rika Inggit Asmawati
NIM : 12/339398/PSA/7286
Nativisme dan
otonomi merupakan dua perspekstif atau orientasi yang bertentangan diantara
berbagai variasi diskursus altenatif dalam ilmu social. Selain melawan ilmu
social Eurosentris dan Orientalis, keduanya sama-sama mencemooh penggiringan
intelektual dan keterbelengguan pikiran. Namun, dalam menyikapi pengetahuan
yang datang dari Barat, keduanya saling bertentangan satu sama lain.
Nativisme
Konsekuansi
logis pembalikan Orientalisme dan Oto-orientalisme adalah nativisme, yang
merujuk pada kecenderungan pribumi / melokal diantara para ilmuwan Barat maupun
lokal. Dalam kecendurungan ini, sudut pandang pribumi (native) menjadi criteria
penialain terhadap deskripsi dan analisis. Akibatnya,penolakan total pada
pengetahuan barat, atau sebuah penolakan yang didasarkan pada asal-usul gagasan
nasional atau budaya. Kecenderungan ini begitu meluas sehingga mempengaruhi penilaian
sepintas mengenai gagasan diskursus alternative oleh orang-orang yang tidak
paham, namun akhirnya membentuk opini berdasarkan reaksi ekstrem beberapa
nativis.
Antropologi yang dicirikan
Evans (1997) sebagai yang diulayatkan meski bertentangan dengan kebanyakan
definisi mengenai ulayati imu social, lebih dekat dengan ide tentang nativisme.
Bahaya antropologi yang menyatukan diri terlalu dekat dengan kepentingan Negara
semakin tampak ketika di masyarakat berkembang, banyak sekali riset antropologi
didanai oleh pemerintah. Menurut
Syamsul, ketika prioritas-prioritas didekte oleh pertimbangan di laur akademis,
agenda dan penulisan riset cenderung didominasi isu-isu berorientasi kebijakan
atau bisnis yang dimotivasi pencarian keuntungan. Inilah masalah penting yang
menantang ilmu social dari dalam batas sebuah bangsa, sementara masalah
kebergantungan akademis dan imperialism sebagai diskursus yang membebaskan,
mereka mungkin berkompromi terlalu dekat dengan Negara, dan didefinisikan di
tingkat bangsa dengan menyelubungi keanekaragaman internal.
Ilmu
social otonom
Gagasan
tentang ilmu social yang otonom yang menentang nativisme dan Negara-negara
bangsa sebagai basisi diskursus alternative merupakan sebuah konsepsi yang
dikembangakan Syed Hussein Alatas. Konsekuensi logis dari kesadaran tentang
masalah benak yang terbelenggu adalah pengembangan sebuah tradisi ilmu social
yang otonom yang bakal berfungsi menghapuskan atau membatasi pengarung
demonstrasi intelektual dari pikiran yang terbelenggu.
Ide tentang
ilmu social yang otonom menyatakan bahwa masalahnya bukan hanya dominasi dan
control ilmu social barat. Sebagaimana Europasentrisme dan keterbelengguan
pikiran dalam ilmu social Dunia ketiga bukan dikarenakan upaya lembaga ilmu
social barat, secara sadar dan serempak, untuk mendominasi. Ilmu social otonom
tidaklah anti barat atau pro Negara,. Cirri utama ilmu social otonom adalah
otonomi dalam konseptualisasi dan prioritas masalah dalam pengembangan agenda
riset, dalam pembangunan teori orisinal, dan riset yang empiris. Otonomi
mengarah pada sebuah kritik konstruktif terhadap pengetahuan barat serta
pertimbangan serius terhadap sumber pengetahuan non-Barat.
Kritik
Konstruktif terhadap pengetahuan Barat.
Syed Farid
Alatas memberikan contoh karya-karya yang merupakan kritik konstruktif
pengetahuan barat, antara lain dari karya D.P Mukerji, D.D kosambi, Andre
Beteille. Sepakat dengan pendapat Madan,
Ia beranggapan bahwa Mukerji menginginkan teori-teori dan konsep Marxis
didasrkan pada realitas atau kekhususan empiris sejarah India. Sedangkan D.D
kosambi menurutnya membuat periodisasi sejarah india berbeda dari yang
dilakukan kaum marxis atupun neomarxis.
Kemudian dalam karya Andre Beteille, ia mengungkapkan bahwa yang paling
pentinga adalah adanya kritik atas gagasan pengetahuan barat dengan tujuan
memperhalus konsep yang mungkin telah diterapkan secara tidak kritis dalam
konteks non Eropa.
Sumber
Pengetahuan non Barat
Syed Farid
Alatas memberikan meberapa contoh pengguanaan sumber pengetahuan non barat yang
masih alyak untuk dijadikan teori dalam kajian. Ia mengungkapkan bahwa
persepektif Ibn Khaldun masih digunakan di Iran tanpa harus
mengesampingkan marxisme. Kemudian di
korea, ada karya yang memanfaatkan tradisi klasik sebagai sumber teorisasi,
yaitu konsep ying-yang dan juga konsep min-joong. Di india, pengguaan konsep kasta juga ikut
menadampingi peggunaan teori-teori modern.
Dalam
contoh-contoh tadi, otonomi muncul karena para penulis tidak mebatasi dirinya
pada tradisi ilmu social Barat, tetapi juga menggunakan tradisi alternative
untuk membangun teori dan konsep mereka. Pemikiran mereka cenderung berusaha
untuk mandiri. Kritik terhadap Eurosentrisme dan Orientalisme menyiratkan
dimungkinkanyya tradisi alternative atas ilmu social Euro-Amerika. Salah satu
aspeknya adalah penumbuhan konsep dan teori ilmu social dari dalam negri atau
lokal.
Syed Farid
Alatas mengungkapkan ada dua hal yang harus dikemukakan mengenai ilmu social
otonom, pertama, persoalan otonomi tidak terbatas pada masalah Eurosentrisme
atau keterbelengguan pikiran. Kedua, ilmu social otonom sebagai koreksi
terhadap ilmu social yang relevan dengan lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar