Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Review Buku..?


Nama               : Latif Kusairi                                    
NIM                : 12/340076/PSA/07391

Dalam teori ini kita bisa melihat bahwa bagaimana hegemoni barat atas ilmu yang ada dengan komparasi ilmu sosial yang cukup tinggi. Mereka seolah merupakan sebuah instrumental yang hanya mengedepankan pikiran yang akan menjadikan energi untuk bangsa timur yang mana terus  menyusui sehingga timur tidak bisa lepas darinya.

”Kembali ke masa lalu orang-orang yang tertindas, lantas mendistorsi, meremehkan, dan menghancurkannya..... efek yang secara sadar dikehendaki oleh kolonialisme adalah menyetir gagasan dalam kepala (masyarakat ) ulayat bahwa jika para penjajah diminta pergi, maka rakyat jajahan akan jatuh kembali ke barbarisme, degradasi, dan sifat kebinatangan” (Fanon, !968: 210-11)

Bagian penggalan kalimat peryataan dari Fanon yang cukup kontroversial, etnosentris, dan terlalu membela barat. Pada pernyataan ini, saya melihat bahwa ada semacam jawaban tulisan dari Linda Tuhiwai Smith (saya sebutkan Linda,tulisan yang dibahas minggu lalu) yaitu Buku Dekolonisasi Metodologi yang beranggapan bahwa barat sangat arogan untuk selalu menyusupkan idenya untuk timur, padahal Linda tahu bahwa ada sebuah kekayaan dari timur dengan metodologinya yang khas dan berkembang. Seolah baratlah yang bisa mengambil peran dari itu semua untuk meyakinkan bahwa barat  merupakan peradapan tertinggi dan harus di ikuti oleh timur. Ketika Linda mulai mendobrak akan barat, kata Fanon (peryantaan diatas) yang kemudian dipakai untuk menjawab hegemoni barat atas timur. 
Padahal dibalik itu semua ada semacam barat lagi-lagi dihujat. Misalnya dalam metaanalisis harus ada tela’ah teori dan konsep serta metode yang dalam bidang ilmu. Ini untuk menyusun unsur karya ilmiah yang berkembang dalam disiplin tersebut. Yang harus terfokus pada ilmu sosial. Padahal ilmu , metode barat tidak serta  merta menjadikannya bisa diterapkan di tempat lain. Bahwa teori semacam itu berada di pinggiran teori barat yang menurut Ritzer sangat kontras dengan teori barat. Oleh karenanya diterapkan teori internal-ekternal, kognitif-institusional. Pada teori ini mirip dengan pola teori barat tentang orientalisme, pstkolonialisme, dan diskusi tentang gagasan kemajuan barat sama seperti halnya itu.
Pada tahap orientalisme, Edwar Said menggambarkan bahwa kebijakan timur  (Asia) banyak berpengaruh dengan kondisi Barat. Seolah pada masa itu timur hanya semacam benda mati yang bisa dibolak-balik oleh kebijakan barat. Pada fase itu barat dikatakan lebih unggul dari timur sehingga kebijakan timur adalah selalu bertumpu pada barat. Dapat dicontohkan bagaimana sejarah Arab harus digunakan teori Marxis. Padahal konteks geografis sejarah Arab sangat berbeda dengan apa yang di omongkan oleh Marx. Inilah yang mengakibatkan adanya semacam euforia barat atas kebijakan itu. Padahal Arab sendiri punya  ahli pikir semacam Ibn Khaldun yang lebih baik dalam mempertanyakan dan menjawab  sejarah Arab. Maka yang terjadi sejarah Arab baik buruknya selalu dilihat dari kacamata barat.
Eurosentrisme, sangat ego sekali, bahkan ada semacam ’bahasa Kesombongan” yang diperlihatkan. Bahwa seolah kebijakan, konstruksi dunia harus di labelkan dengan budaya barat. Sehingga semua dalam melihat kemajuan selalu tolak ukurnya adalah barat. Dalam konteks lain bahwa ilmu yang tidak berpijak pada teori dan metodologi barat seolah tidak ilmiah lagi dan cenderung mengaburkan keilmuannya. Misalnya apa yang dipaparkan dengan melihat bahwa bangsa Aria sempalan dari Islam, itu dianggap pengacau ke ilmuan karena tanpa data yang jelas dan cenderung metaanalisis. Lain dengan Islam ditinjau dengan Marxis justru dianggap bagus. Inilah jiwa hegemoni barat atas teorisasi dalam keilmuan di dunia timur. Kita bisa melihat dimana letak pemikir dari dunia timur, Ibn Khaldun, Al Ghozali, Arkoun, atau pemikir modern sekarang seperti Hasan Hanafi bisa saja menerapkan ilmunya untuk melihat dinamika perubahan pada revolusi Industri di Inggris, tetapi lagi-lagi ke ilmuan timur seolah sudah mati dan hanya dengan baratlah semua fenomena ilmu bisa dilihat.
Kritisisme Post kolonial itu juga berkesinambungan bahwa dunia timur yang di identikkan dengan dunia ketiga harus dikontrol dengan pendekatan kolonialisasi modern, tidak hanya dengan ilmu pengetauhan. Ada semacam  normalisasi dan kontrol diplisiner atas semua yang dilakukan timur dengan pola kebijakan dari barat. Inilah pos kolonial yang bisa membelenggu, baik dalam pembangunan, pengetauhan maupun budaya.
Dalam bidang pengetauhan kita lagi-lagi harus menggunakan pemikir barat. Kita tidak pernah memggunakan pikiran, Muhammad Arkoun, Jose Rizal, Mahatma Gandhi dll, yang seolah mereka hanya numpang lewat saja dalam perkembangan sejarah timur. Padahal bila ditela.ah banyak karya dari mereka yang bisa di jadikan teori bagi keilmuan, tidak hanya meggunakan Marx, Durkheim, Nietzse dan para eropanis lainnya.  Dalam bidang retorika ilmu sosial, kita sering di ajak berputar-putar dalam bertanya (knowing) dengan memunculkan epistemologi yang baik sehingga para penulis sebenarnya mencari jalan jawaban yang metafor, ironi dan penuh ketidak jelasan yang bila dikuatkan dengan pikiran yang keras akan menjadikan kesalahan atau pembujukan atas kata itu.
Dalam pandangan Asia, bahwa kita perlu untuk menyatukan pandangan terhadap metaanalisis yang bersifat Asia sentris juga, dengan memadukan para pemikir Asia untuk bisa menjadikan teorinya bisa di terima dalam kalangan pikiran yang bersifat Asia, karena kedekatan geografis teori dan objek penelitian itu justru akan menguatkan keilmuan. Adanya bangunan metateori yang mampu untuk membangun kita pada alat untuk mengelola secara kognitif bagaimana banyaknya khasanah teori yang ada di Asia sehingga membangkitkan kita untuk punya karakter ke-timuran sendiri dalam menghadapi kritik tersebut. Ketiga adalah bangunan dalam meta analisis untuk menjadikan budaya timur dengan buku filsafat ilmu, sejarah gagasan, ataupun sosiologi pengetahuan dalam menjadikan pemikiran itu menjadi kerangka dalam teori ilmu sosialnya. Inilah yang kemudian menyebabkan adanya semacam term  bagi ke ilmuan yang dinamis dan bisa dipakai gagasan itu untuk mengkomparasikan data degan teori yang ada. Bila kita cermati, munculnya tokoh seperti Mahatma Gandhi, Sun Yat Sen, Jose Rizal, B.K.Sarkar, Wan An Shih, bahkan Soekarno harus dimasukkan dengan membuat buku filsafat ilmu atau sejarah gagasan dari tokoh-tokoh tersebut. Supaya dalam melihat data atas fakta dalam penelitian kita bisa menjadikan pola pemikiran tokoh itu ke dalam teori dan metodenya.
Kalau Alatas mencoba mengkritik dengan kata ”Captive Mind” yaitu Budaya meniru barat, maka sikap kita adalah melawan imperialisme intelektual dengan menggunakan pola pikir timur saja. Dan bantuan pendidikan dari barat janganlah dianggap munrni bantuan untuk studi, karena justru itu yang akan terus membelenggu kita untuk menjadikan dominasi barat terus membelenggu. Sudah saatnya kita untuk mencari ke-timuran-nya sendiri.
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar