Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Review Buku Dekolonisasi Metodologi


Nama               : Latif Kusairi                                    
NIM                : 12/340076/PSA/07391

Bila selama ini kita tahu bahwa proses kolonisasi (seharusnya dekolonialisasi,  dan selanjutnya saya sebutkan dengan Dekolonialisasi) yang ada dalam sejarah selalu bentuk penjajahan secara langsung dengan penguasaan bangsa penjajah ke bangsa terjajah. Yaitu dengan pola penguasaan atas elemen-elemen yang ada pada bangsa terjajah, maka bangsa sekarang adalah muncul sebuah penjajahan yang tanpa datang langsung ke daerah jajahan itu, inilah yang disebutkan dalam buku ini sebagai dekolonisasi Metodologi Karya Linda T. Smith  (selanjutnya saya sebut Linda).

Modernitas dalam penjajahan.
Munculnya istilah bangsa penjajah dan bangsa terjajah seolah telah banyak merangkai sebuah pertautan dan sebuah penghambaan antara ”tuan dan pembantu” yang seolah hal itu sebagai bentuk pengekangan yang terjadi. Dalam hal lain apa yang diktakan oleh Edwar Said sebuah penghakiman bahwa proses ini sebagai wacana barat tentang yang lain. Yaitu sebuah pertukaran timbal balik yang simultan antara kontruksi sekolahan dan kontruksi imajinatif terhadap ide tentang timur. Dalam hemat saya bahwa proses ini adalah sebuah upaya dari pemerintah kolonial untuk terus menjajah daerah terjajah dengan karakter pola pikir bangsa terjajah yang harus sesuai dengan bangsa penjajah.  

Barangkali inilah yang dinamakan dekolonialisasi yang cukup rentan. Cara pandang imperialis tersebut untuk melakukan infiltrasi bagi negara bekas jajahan. Kenapa hal ini terjadi, dalam pandangan Comte dalam masalah paradigma, inilah yang dimaksudkan sebuah kelemahan yang terjadi dalam etnosentris peradapan. Selama ini eropa menganggap peradapannya paling maju dan bangsa terjajah kurang maju dan harus berjalan menuju kemajuan seperti Eropa. Padahal dalam cara pandang  antara barat dan timur, eropa dan wilayah bekas jajahannya punya karakteristik tersendiri. Kita lihat dalam karakteristik pola penulisan sejarah di Indonesia, yaitu punya tradisi menulis dengan bentuk babad, hikayat, tambo, dll.  Sedangkan dalam konsep barat tradisi tulisan Indonesia itu dianggap kuno, kolot penuh subyektifitas dan hanya untuk kepentingan pemimpin. Menurut barat yang ada dalam tradisi tulisan dengan  pola yang terasiparis datanya seperti verslag dll.  Padahal dibalik itu justru penulisan ini banyak terjadi unsur subyektifitas dan kelebihan di masing-masing pola penulisan itu. Namun yang terjadi banyak sarjana barat menyusupi pada  sejarawan pemula Indonesia agar bisa seperti pola penulisan yang di inginkan barat, cara lain dengan memberi beasiswa bagi sejarawan timur untuk belajar di barat.
Inilah yang dimaksud oleh Edwar Said sebagai bentuk penjajahan secara tidak langsung dalam kemoderan itu .Imperialis terhadap pandangan yang ada dalam berbagai bidang kehidupan telah membuat barat sebagai seorang pemimpin yang bisa menggunakan kekuasaannya untuk mengatur negara-negara barat dalam pandangan dan berbagai aspek manapun.

Dalam pemaparan buku Linda  diketengahkan bagaimana barat memupuk bangsa terjajah dalam kerangka berpikir dalam pengetahuannya. Kegairahan akan Imperialisme pendidikan bagi negara barat yang notabene merupakan hasil dari sebuah konsesi bersama, dilakukan oleh barat telah membawa politisasi pengetahuan di dalamnya. Pengetahuan padahal punya sebuah solusi bahwa sebenarnya suatu negara terjajah punya nation dalam pendidikan yang mereka ajarkan sendiri. Namun karena barat merupakan punya pemegang kartu as  dalam politisasi ini, mereka akan selalu melakukan apa yang di sebutkan oleh Edwar Said sebagai  Superoaritas posisional dalam berfikir untuk mengedepankan penddikan barat seolah lebih maju dan bangsa terjajah harus mengikutinya dalam mencapai kemodernan.
Dalam pandangan saya ada beberapa yang menarik dalam tulisan Linda ini, pertama bahwa kemodernan di indentikkan sebagai sebuah akhir dari kuasa  absolut terhadap Illahiah. Rupanya pandangan ini justru kurang lebih adalah bentuk ketidak konsistenan barat untuk membuat abad kegelapan eropa yang rentan dengan aura agamis tersebut sebagai hal yang jelek. Padahal bila di tela’ah justru euforia modernitas sekarang banyak orang menganggap agama sebagai pegangan untuk melangkah ke arah modernitas ini. Pandangan kedua adalah bentuk penjajahan terhadap pendidikan. Seolah di belahan negara menganggap bahwa ilmu pengetahuan telah menyulap pendidikan sebagai bentuk potensial untuk mendapatkan jatidirinya. Kita lihat bahwa saat ini untuk mencapai sebuah kepintaran harus di indentikkan dengan ”pintar dalam pendidikan” yang mana harus diselipkan. 
Para penggagas rupanya sadar bahwa pola tarik garis imajiner untuk mempresentasikan bahwa pengetauhan barat lebih unggul, hal senada juga di amini oleh James Clifford yang etnosentris merupakan satu bentuk koleksi budaya yang mencermati cara bermacam-macam pengalaman dan fakta diseleksi. Dalam artian bawa budaya baratlah yang merupakan garis pembanding atas budaya yang lain. Hal lain yang dapat merepresentasikan atas penjajahan ini adalah harus memasukkan unsur pengetahuan barat sebagai sebuah entitas yang unggul, bila kita menggunakan budaya pendidikan sendiri justru dianggap kuno dan bila kita memakai pendidikan  barat adalah modern. Ambil kasus seperti ini:

Ada seorang pelajar yang selalu belajar di negaranya dengan secara tidak sadar telah tersisipi budaya barat, suatu ketika pelajar itu harus menempuh pendidikan tingginya di negara barat karena dianggap modern, dan bila akhirnya seorang pelajar itu harus jadi pengajar di negara jajahan atau kembali ke negara asalnya akan sangat dihormati karena konsepsi pikiran negara jajahan telah terkonstruk dengan kata modern dibanding lulusan dari negara sendiri. Inilah globalism pengetahuan barat yang melegitimate.

Konstruksi inilah yang menurut saya harus banyak dirubah bahwa seharusnya aura pikiran akan keagungan barat di dekontruksi, karena pikiran yang telah melekat ini seolah akan justru menghilangkan nation  dan jati diri bangsa terjajah akan pengetauhannya. Bila kita membayangkan globlalisasi telah membawa perubahan yang cukup besar. Negara terjajah seolah harus lari untuk terus mengejar pengetauhan barat yang dianggap lebih modern, dan barat di bisa berlari kemana-mana tergantung apa yang di inginkannya.
Dalam pandangan Foucault, bahwa proyek penjajahan yang ada dengan membungkus modernitas ini adalah bagian dari pendisiplinan bangsa terjajah dengan agar sejalan dengan bangsa penjajah. Sebenarnya karakteristik ini bisa rukun manakala modernitas dengan menggunakan kata ”kolonialisasi modern” bisa berjalan dengan cultur  negara setempat. Kita lihat Jepang,  meski dia tidak menolak modernitas barat tetapi modernitas itu bisa berjalan dengan budayanya. Banyak produk jepang yang berbau barat, tetapi dia tidak kehilangan budayanya untuk disisipkan.   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar