Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Menulis Sejarah dan Membaca Kuasa: Politik Pasca-1965


Nama               : Latif Kusairi                                    
NIM                : 12/340076/PSA/07391

Buku “Perpekstif Baru Penulisan Sejarah Indonesia” ini merupakan wajah baru dalam mencari Ke-Indonesiaan dengan kolektif masa lalu.  Sebuah karya yang banyak menulis sejarah Indonesia dari banyak perspektif dengan data-data baru dan mencoba mendobrak tradisi sejarah pada masa kini. Disini saya akan membahas tulisan ke-9 dari Degung Santikarma (Selanjutnya saya sebutkan dengan “Degung”)  yang berjudul “ Menulis Sejarah dan Membaca Kuasa: Politik Pasca-1965 “. Karya yang membahas cerita kecil dibalik agresifitas Orde Baru dalam memberantas PKI, yang menurut saya sangat berlebihan dan memakan korban yang cukup besar.

Dibalik Keindahan Pulau Bali.

Sebuah judul yang menurut saya sangat kontras dengan terbungkamnya sejarah kelam rakyat Bali. Sampai-sampai Degung tidak mau menuliskan cerita ini dengan gamblang dimana sebenarnya Banjar yang dimaksud, hanya disebutkan dengan Banjar Bunga. Entah alasan apa Degung tidak menyebutkan banjar itu dengan terang, dan kenapa menginisialkan banjar tersebut dengan Bunga. Mungkin nama ini untuk menjawab bahwa Bunga tidak identik dengan keindahan sama judul diatas dengan mempertanyakan dibalik keindahan pulau Bali. Saya akan memberi review tentang kondisi tulisan Degung ini.
Istilah banjar bunga bahwa daerah yang dahulu menyimpan sejarah kelam sebagai eks komunis rupanya masih juga banyak yang belum berani bersuara. Bahkan sejarah tersenbunyi di Bali ini terbantai 100.000 orang Bali yang terbantai( Robinson1995),Dwiyer dan Santikarma 2004). Meski alam pikiran dan keterbukaan telah di buka luas-luas pada masa ini, bahkan pada masa Presiden Abdurahman Wahid telah ada permintaan maaf. Memory yang mungkin bagi para eks komunis itu adalah kelam, ternyata hanya akan menjadi. Ini bukan persoalan salah atau benar dalam masyarakat eks komunis itu, namun ada semacam tekanan batin bahwa menjadi eks komunis sangat tidak dihormati orang dan dicap orang yang komunis hingga saat ini. Bagi para eks tersebut rupanya memory kelam belum bisa dihapus dengan sendirinya, meski kadang mereka ingin menuntut terhadap pemerintah yang berkuasa atas pembunuhan besar-besaran itu.
Sejarah pada masa orde baru semacam punya kuasanya. Orde baru dengan undang-undang tangan besinya seolah telah membungkam ingatan kekerasan melalui proyek percontohan Sejarah: resmi,untuk mendukung upaya penggalian atau pelurusan sejarah sebagai ujung tombak keadilan dan mencegah kekerasan Negara. Sikap ini penting untuk mengerti proses pendustaan yang terjadi atas nama mahasakti”sejarah” , serta mengingatkan kita bahwa sejarah selalu terlibat relasi kekuasaan siapa yang menentukan  sejarah   dan narasi kelampauan yang mana akan jadi pembenaran.
Melalui pendekatan etnografis inilah, peristiwa banjar bunga yang notabene adalah sebuah pengalaman kelam dari pelaku sejarah di daerah itu. Maka dalam paparan ini dapat disimpulkan bahwa ada beberapa pihak yang dapat masuk untuk menjadi agensi dan mata-mata atas sejarah itu sendiri. Peristiwa datangnya surat lurah ke ketua banjar bunga ini seolah jadi wacana sendiri untuk melihat bahwa meski motif lurah menyuruh banjar bunga menulis sejarahnya, tapi sebagai orang yang pernah dikhianati dan dikorbankan atas nama kekuasaan,merasa tertekan dan merasa bahwa memori kelam itu datang lagi. Dalam sejarah bali narasi sejarah selalu bersifat samara antara ada dan tiada ( Ngerambang Sawa)Dari wacana tentang dirinya akan di adili oleh masyarakat karena eks komunis, sampai kasat kusut adanya penyerobotan pura yang ada di desa itu. Sehingga yang terjadi semacam penghindaran untuk menuliskan sejarah itu dengan alasan akan menguakan keburukannya di hadapan kepala lurah. Maka dalam bincang ini ada asumsi bahwa janganlah masa lampau 1965 dituliskan karena akan membunuh dirinya sendiri dan akan menjadikan mereka dipantau oleh penguasa. Laad (bekas) peninggalan sejarah)1965 seolah menjadi cerita kelam oleh warga tersebut sehingga apa yang mereka lakukan sangat berhati-hati.  Rapat yang diadakan warga banjar bunga untuk menanggapi surat kepala Banjar agar menulis sejarahnnya soal ingin menjadikan mereka mengingat kembali akan peristiwa kelam itu. Sehingga muncul berbagai pertanyaan, kenapa mereka pingin tahu sejarah kita?apakah banjar lain juga disuruh enulis? Apakah kita harus mengakui bahwa kita orang eks komunis?. Rupanya pertanyaan tentang itu sulit dijawab oleh pak klien yang meminpin rapat. Seolah ini merupakan tekanan hebat, apakah mereka itu akan diterima secara manusiawi bila mengakui semua itu. Sehingga yang terjadi hal itu tidak pernah diungkapkan oleh warga banjar bunga dan melokalisir ingatan serta pelupaan. Meskipun demikian konsep ingatan orang Bali sangat tajam, mereka tahu apakah itu uning(ingatan yang berarti ingatan untuk Pengetauhan) , dan Eling (ingatan untuk social seperti peristiwa ini). 
Berapa contoh kasus.
Peristiwa banjar bunga yang banyak korban jiwa telah membawa serta luka yang mendalam bagi rakyat banjar bunga. Ini seolah tidak hanya banjar bunga saja. Di belahan barat pulau Bali, tepannya di Malaya, banyak warga harus rela untuk memilih agama salah satu dari 5 agama bila dia tidak ingin dicap PKI. Kemudian pada periode itu banyak warga yang yang harus memilih jalan Kristen karena adanya anjuran dari sang misionaris. Meski luka lama akibat pembunuhan karena non agama dianggap PKI. [1]
Begitu Juga pada masa pasca 1965 di wilayah Jawa Timur. Dibalik rimbunnya alas Caruban, Madiun dan dibalik keangkeran alas jati itu, ternyata banyak cerita ribuan orang mati sia-sia terbunuh oleh algojo dari Laskar Anshor. Mereka hanya bagian dari para pencoblos partai komunis dan menurut informan bahwa dalam KTP warga harus dicantunkan kepartaiannya. Ketika muncul sweping dari TNI yang diboncengi Anshor inilah dengan mudahnya mereka ditangkap dan diadili tanpa pengadilan hukum, yang ada hanya pengadilan gorok  dari para PKI. Sehingga separoh lebih warga madiun mati kena hukum gorok.[2] Peristiwa ini juga terjadi bahwa belahan wilayah lainnya, seperti pembakaran kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara oleh kesatuan tentara Brawijaya Jawa Timur, hanya karena para punggawa kesultanan dianggap terlibat PKI.[3] Ataupun juga cerita perebutan sawah-sawah milik pesantren Gontor Putri di Ngawi, yang memakan banyak korban.[4]
Dari banyak cerita ini seolah saya hanya bisa melihat bagaimana memory para korban dan pelaku sejarah hanya disimpan dalam lakon sejarahnya yang kelam. Seolah banyak para eks-PKI ataupun para Anshor dan Jagal manusia itu menyimpan rapat-rapat dalam benak sejarahnya di dunia ini. Kemudian apa yang diomongkan Degung dengan Banjar bunga muncul sebagai salah satu bentuk cerita dengan melakukan memory kolektif pelaku.  Seolah para korban itu akan sangat bodohnya bila mereka membuka aibnya, meski kita membaca hal itu bentuk untuk meminta hak-hak korban atas ketidak adilan.
Melewatibatas dikotomi dan kekuatan moral.

Barangkali sejarah yang benar merupakan cakrawala yang memberi kita, bahwa masyarakat sendirilah yang memberi inspirasi mengundang, agar masyarakat itu sendirilah yang menjadi sejarawan, daripada hanya menjadi objek ilmu. Jangan sampai ketika sejarawan membantu membuka hak-haknya bagi eks komunis dengan pendekatan ilmu melalui tulisan, yang terjadi justru kicauan olokan dari masyarakat terhadap korban, atupun cap merah yang kepada eks komunis itu meski mereka pada dasarnya hanya korban. Rupanya bagi kalangan yang anti komunis, untuk saling memaafkan juga masih sulit. Peristiwa pembunuhan kejam yang terbesar dalam kurun waktu abad 20 ini seolah telah banyak menimbulkan luka. Maka untuk menyikapi sejarah yang benar adalah menuntut keadilan dan adanya pengertian dari negara kepada rakyatnya. Apakah benar dengan menulis sejarah kelam saat ini kita akan bisa melawan sejarah atas ketidak adilah dan  atas pembantaian besar-besaran tanpa pengadilan itu. Apakah historiografi alternatif yang ada merupakan sebuah makluk yang sangat cerdik untuk menentukan sejarah kelam itu, sejarah yang melahirkan kuasa yang justru hendak ditolaknya.

Saya menyimpulkan bahwa dimana sebenarnya letak sejarawan terhadap orang-orang yang tertindas itu. Apakah sejarawan hanya mengajarkan untuk menuliskan sejarah kesuksesan, sejarah yang menang, sejarah yang patriotik saja. Memang menulis sejarah kecil seperti banjar bungan seolah akan menjadi sisi yang saling bertolak belakang. Sejarawan pasti akan mendapatkan semacam tulisan yang baik, namun para korban itu apakah akan diterima masyarakat ketika melihatnya dia sebagai seorang eks komunis yang masih di cap negatif bahkan pemberontak sekalipun. Ini sama halnya kita menulis sejarah seorang maling, pasti akan ada pergunjingan dari masyarakat terhadap maling itu. Seolah konotasi maling sudah sangat jelek dan seolah tidak ada kasta bagi maling itu dalam masyarakat. Inilah perenungan bagi sejarawan, apakah kita hanya membiografikan orang-orang yang berhasil, orang-orang yang menang dan orang-orang yang benar dimata masyarakat.  ataukah kita akan membiarkan cerita itu berkembang di masyarakat saja,sehingga menjadi kasat-kusut dan omongan negatif bagi mereka yang tahu sejarah kelam itu. Sebuah otokritik bagi kita semua yang Patut direnungkan...   


[1] Diceritakan oleh  Ibu Mariana, warga desa Mertasari Melaya Kab. Jembrana. Dia harus menanggalkan aliran kepercayaannya dan kemudian memeluk Kristen untuk tidak mati sia-sia di tangan para preman Tentara hanya karena tidak masuk dalam 5 agama yang diakui Negara. Pada masa itu Mertasari hamper separuh warganya terkena ciduk hanya gara-gara dianggap PKI.
[2] Diceritakan oleh Warno, Pensiunan TNI AU, dari kesatuan di Madiun. Sekarang tinggal di Kota Nganjuk. Tgl 24 Nopember 2012.
[3]http.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bulungan 
[4] Aminudin Kasdi, Kaum Merah Menjarah. Unesa Press. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar