Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Bab II Buku “Dekolonisasi Metodologi”: “Meneliti Lewat Mata Imperialisme”

Nama : Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316


Di banyak belahan dunia, kolonialisme sudah menjadi masa lalu. Namun rupanya bagi sebagian orang kolonialisme bukan sekadar cerita yang sudah berlalu melainkan sesuatu yang masih meninggalkan jejaknya hingga sekarang, jejak yang berisi kepahitan, perasaan tertindas, dan eksploitasi. Kehendak untuk melepaskan diri dari warisan kolonialisme itulah yang melatarbelakangi Linda Tuhiwei Smith –seorang wanita Maori, penduduk asli Selandia Baru- menulis buku “Decolonizing Methodology” (dalam edisi bahasa Indonesianya berjudul “Dekolonisasi Metodologi”). Mengapa dekolonisasi metodologi menjadi penting? Sesungguhnya dekolonisasi metodologi adalah konsekuensi logis dari dekolonisasi politik yang berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia II. Adalah ironis jika bangsa-bangsa yang baru merdeka ternyata masih menggantungkan konstruksi pengetahuannya pada konstruksi bentukan kaum kolonialis. Sangat wajar bila bangsa-bangsa yang baru merdeka itu ingin membangun konstruksi pengetahuan yang didasarkan atas persepsi dan pengalamannya sendiri tentang realitas terutama dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam konteks ini kita perlu memahami bagaimana kolonisasi itu beroperasi dalam pembentukan pengetahuan dan mencari jalan untuk membentuk konstruksi pengetahuan baru yang sedapat mungkin menjaga jarak dari warisan kolonialisme. Perlu dicatat bahwa penulis buku ini sendiri bukan berasal dari negara Dunia Ketiga melainkan dari negara yang tergolong sebagai negara Dunia Pertama dan bagian dari Peradaban Barat hanya saja ia berasal dari komunitas penduduk asli yang dimarjinalkan oleh penguasa kulit putih sehingga dalam banyak hal tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa terjajah di koloni-koloni Eropa yang kini digolongkan sebagai negera-negara Dunia Ketiga. Kelebihan dari posisi Smith adalah karena ia hidup di sebuah negara Barat maka ia dapat memahami persis bagaimana konstruksi pengetahuan kolonial (baca: Barat) itu dikembangkan, dilembagakan, dan dipelihara dalam kehidupan keseharian, suatu hal yang mungkin tidak begitu disadari oleh mereka yang hidup di luar negara-negara Barat.
Dalam bab II dari buku “Decolonizing Methodology”, Smith memaparkan bagaimana kerangka pemikiran Barat digunakan dalam penelitian terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat yang kemudian menghasilkan konstruksi tertentu mengenai masyarakat tersebut. Konstruksi itu lalu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada anggota masyarakat itu sendiri terutama lewat proses pendidikan yang dijalankan lembaga pendidikan bentukan penguasa kolonial atau agen-agennya –seperti misionaris. Sebelum berhadapan dengan masyarakat-masyarakat di luarnya, orang Barat telah memiliki kerangka pemikiran yang sedikit banyaknya sudah mapan sebagai hasil pengalaman sejarahnya selama berabad-abad. Dalam perjalanan sejarahnya, Barat telah mengalami sekian banyak perdebatan pemikiran yang menyurutkan sebuah paradigma dan mengangkat paradigma lainnya akan tetapi bila dilihat lebih dalam kesemua paradigma itu pada dasarnya mencerminkan pandangan dunia Barat yang terbentuk dari pengalaman sejarahnya yang panjang.
Smith mengidentifikasi beberapa unsur pembentuk karakteristik pemikiran Barat yang pada gilirannya memengaruhi pengkonstruksian mereka atas bangsa-bangsa non-Barat. Unsur-unsur itu mencakup konsepsi tentang ras, gender, individu, masyarakat, ruang, dan waktu. Konsepsi Barat tentang hal-hal tersebut amat berpengaruh dalam membentuk persepsi mereka atas bangsa-bangsa non-Barat –yang notabene memiliki budaya yang seringkali berbeda jauh dengan orang Barat- yang lalu dibakukan dalam sebuah konstruksi pengetahuan. Ironisnya konstruksi itu ditransfer kembali kepada bangsa jajahan yang lalu mengadopsi konstruksi itu menjadi milik mereka sendiri sehingga tanpa sadar mereka akhirnya menggunakan kacamata orang lain untuk memahami dirinya sendiri. Salah satu contoh klasik konstruksi pengetahuan orang Barat atas orang pribumi adalah anggapan bahwa orang pribumi itu malas. Timbulnya persepsi semacam itu sebenarnya adalah akibat dari perbedaan budaya antara orang Barat dan masyarakat pribumi yang dalam hal ini ada perbedaan dalam pengalaman kehidupan orang Barat dengan orang pribumi yang membuat mereka memahami dan menghayati fenomena waktu dengan cara yang berbeda.
Secara garis besar, buku karya Linda Tuhiwei Smith ini memberi keinsafan kepada kita tentang bagaimana konstruksi pengetahuan Barat tentang bangsa-bangsa di luarnya terbentuk yang kerapkali tidak dapat dilepaskan dari motif-motif eksploitatif kolonial di masa lalu serta prasangka-prasangka negatif. Konstruksi pengetahuan yang tanpa sadar mendikte bangsa-bangsa non-Barat untuk berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai apa yang dipersepsikan Barat tentang mereka sementara bangsa-bangsa Barat itu sesungguhnya memiliki persepsinya sendiri yang sangat bisa jadi berbeda dari persepsi Barat. Akan tetapi di sisi lain kita pun perlu berhati-hati agar wacana dekolonisasi metodologi yang ditawarkan Smith ini tidak menjadi justifikasi bagi balas dendam atau sikap kebencian membabi buta terhadap segala sesuatu yang berbau Barat. Dendam dan kebencian hanya membawa kita pada sikap dan perilaku yang serupa dengan sikap serta perilaku orang-orang yang kita benci. Dengan kata lain dendam dan kebencian hanya akan melahirkan lingkaran permusuhan yang tiada habisnya.
Satu hal yang perlu diingat yaitu bahwa hingga kini Barat dengan segala kekurangan dan kelemahannya masih menjadi pemegang hegemoni dunia. Suka tidak suka, negara-negara bekas jajahan Barat sedikit banyak masih bergantung kepada negara-negara Barat. Harus diakui sampai saat ini peradaban Barat masih menjadi peradaban paling maju di muka bumi –terlepas bahwa maju itu tidak selalu identik dengan sesuatu yang lebih baik. Dalam perjalanan sejarah umat manusia kita bisa melihat bahwa bangsa-bangsa dengan tingkat peradaban yang sederhana cenderung mengikuti bangsa yang lebih maju tingkat peradabannya. Oleh karena itu jika hari ini banyak bangsa non-Barat mengikuti jejak langkah Barat itu adalah hal yang wajar belaka terlebih untuk kasus bangsa-bangsa yang ketika didatangi kaum kolonialis Eropa kebudayaannya masih ada dalam taraf yang sangat sederhana seperti orang Aborigin, orang Maori, dan penduduk asli kepulauan Pasifik lainnya. Bagi bangsa-bangsa terjajah yang tertinggal taraf kebudayaannya dari Barat wacana dekolonisasi metodologi hendaknya tidak dipandang sebagai alat balas dendam ataupun mengalahkan hegemoni Barat yang kenyataannya masih sulit ditandingi tetapi lebih sebagai sarana mendefinisikan diri kembali menurut kerangka berfikir bangsa itu sendiri agar bisa berdiri tegak dengan penuh harga diri di hadapan bangsa-bangsa lain khususnya di hadapan Barat. Itulah pilihan sikap yang paling realistis dalam konstelasi global dewasa ini yang di situ batas-batas antar bangsa dan negara semakin lebur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar