Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Tulisan “Sex, Race and the Contract” dalam Buku “Textual Empires. A Reading of Early British Histories of Southeast Asia”

Nama: Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316


Kolonialisme bukanlah -atau setidaknya tidak selalu berupa- sebuah pertunjukan terang-terangan dari hasrat menguasai dan mengeksploitasi. Kolonialisme bisa mengambil bentuk sebagai sebuah tindakan yang “benar” secara moral manakala kolonialisme itu dibangun dan dijustifikasi di atas dasar kerangka berfikir tertentu. Bukan tidak mungkin para eksponen kolonialisme sendiri akan meyakini bahwa tindakan kolonialisnya adalah “benar”, sudah seharusnya dilakukan, bahkan baik bagi orang-orang jajahannya. Kita bisa menemukan pandangan di atas dalam tulisan Mary Catherine Quilty dalam buku “Textual Empires. A Reading of Early British Histories of Southeast Asia” dengan tajuk “Sex, Race and the Contract”. Tulisan ini membahas tentang bagaimana para eksponen kolonialisme Inggris di Asia Tenggara (William Marsden, Michael Symes, Thomas Stamford Raffles, John Crawfurd, dan John Anderson) meletakkan tindakan-tindakan kolonialis Inggris di kawasan ini dalam paradigma liberalisme yang sedang menjadi paradigma dominan di Eropa abad ke-18-19 sebagaimana terlihat dalam karya-karya historiografi yang mereka buat.
Dalam paradigma liberalisme hubungan antar-manusia atau antar-kelompok manusia ditentukan oleh kesepakatan (contract). Kontrak lahir manakala ada situasi saling membutuhkan antara satu individu dengan individu lainnya atau antara satu kelompok manusia dengan manusia lainnya. Menurut paradigma ini manusia pada dasarnya adalah bebas, tidak ada yang berhak membatasi apa yang diinginkan oleh seorang manusia. Sementara itu, ketika ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri, manusia baik sebagai individu maupun kelompok harus mengadakan hubungan timbal balik dengan manusia lainnya lewat sebuah kesepakatan atau kontrak. Lewat kontrak ini kebebasan kebebasan, hak, bahkan kepemilikan manusia yang terikat kontrak tersebut dibatasi dengan konsesi berupa dipenuhinya sebagian kebutuhannya oleh pihak lain yang sama-sama terikat oleh kontrak itu. Di satu sisi kontrak membatasi kebebasan manusia tetapi di sisi lain kontrak juga memberikan jaminan tetap terpeliharanya kebebasan pihak-pihak yang terikat olehnya dalam batas-batas tertentu.
Konsep kontrak yang sejatinya diambil dari dunia perdagangan ini amat mewarnai tulisan para kolonialis Inggris di Asia Tenggara pada awal abad ke-19 dalam hal bagaimana mereka memahami hubungan antara penguasa kolonial dengan kaum jajahan. Akan tetapi konsep kontrak dan paradigma liberalisme secara umum tidak selalu diterapkan secara konsisten sesuai prinsip aslinya. Pada pelaksanaannya manakala paradigma liberalisme itu tidak sejalan dengan kepentingan dan kebutuhan riil penguasa kolonial maka paradigma tersebut bisa disesuaikan agar lebih sejalan dengan kepentingan dan kebutuhan mereka. Penyesuaian itu dilakukan dengan menggunakan justifikasi moral tertentu yang masih tercakup dalam paradigma liberalisme itu sendiri. Dalam “Sex, Race and the Contract” disebutkan bagaimana para kolonialis seperti Anderson dan Symes mengerangkai perjanjian antara penguasa kolonial Inggris dengan para raja di Asia Tenggara sebagai sebuah kontrak sosial. Anderson, Symes, Raffles, dan para kolonialis Inggris lainnya memahami perjanjian-perjanjian tesebut bukan sebagai sebuah subordinasi penguasa lokal terhadap penguasa kolonial melainkan sebuah kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak yang setara. Pihak penguasa lokal merelakan sebagian kebebasan, hak-hak, dan kepemilikannya kepada pihak kolonial dengan timbal-balik berupa 'perlindungan terhadap kebebasan, hak-hak, dan kepemilikannya' dalam hal yang lain. Apakah dalam kenyataannya perjanjian itu dibuat dalam posisi yang setara antara kedua belah pihak maka itu adalah soal lain. Kenyataannya, para kolonialis sendiri menghendaki agar perjanjian itu tidak dibuat dengan posisi yang benar-benar setara tetapi perjanjian itu harus dibuat agar sedapat mungkin menguntungkan pihak mereka. Sekalipun demikian para kolonialis mempunyai justifikasi moralnya sendiri akan hal yang sesungguhnya bertentangan dengan prinsip kontrak dalam paradigma liberalisme -yaitu bahwa pihak-pihak yang terikat dalam kontrak haruslah setara. Dalam hal ini digunakanlah pandangan John Locke mengenai tahapan patriarkal dalam perkembangan suatu masyarakat sebelum terwujudnya kontrak sosial. Menurut Locke, tahap awal perkembangan suatu masyarakat ditandai dengan kepemimpinan sosok “ayah” terhadap “anak-anaknya”, artinya pemimpin dalam masyarakat itu memiliki peran kepemimpinan yang sangat besar terhadap rakyatnya sebagaimana kepemimpinan seorang ayah terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahapan patriarkal ini sang “anak” (baca: rakyat) yang beranjak dewasa mulai menuntut hak-haknya dan kadangkala memperebutkan hak tersebut dengan saudara-saudaranya. Pada situasi yang demikian sang “ayah” (baca: penguasa) lalu mengadakan kontrak dengan anak-anaknya dan memperantarai kontrak di antara “anak-anaknya” yang merupakan awal dari terbentuknya kontrak sosial. Pandangan Locke ini turut memengaruhi para kolonialis Inggris semacam Raffles. Dalam memahami perjanjian yang timpang antara penguasa kolonial dengan kaum pribumi, kaum pribumi diposisikan sebagai anak yang baru beranjak dewasa dan belum mampu memikul tanggung jawabnya dengan baik oleh karena itu mereka harus mendapat bimbingan dan pengarahan dari sosok “ayah” yang dalam hal ini diperankan oleh penguasa kolonial. Dengan demikian perjanjian yang timpang antara penguasa kolonial dengan kaum pribumi dimaknai sebagai bentuk “bimbingan dan pengarahan” dari penguasa kolonial sebagai “ayah”.
Masih banyak contoh lain dari inkonsistensi pihak kolonial dalam pelaksanaan paradigma liberalisme di tanah jajahan yang disajikan tulisan ini. Akan tetapi itu semua dapat dirasionalisasi sedemikian rupa sehingga menjadi masuk akal dan dapat diterima sebagai perkecualian dalam penerapan paradigma liberalisme. Pada akhirnya dengan cara demikianlah kolonialisme dapat bertahan. Sepanjang abad ke-19 kolonialisme menjadi hal yang wajar dan diterima di Eropa sebagai suatu upaya “pemberadaban” bangsa-bangsa yang masih “biadab”. Kolonialisme tidak terkesan sebagai suatu bentuk keserakahan manusia atas manusia lainnya melainkan sesuatu yang memiliki muatan moral “mulia”. Di balik kolonialisme ini terdapat kerangka berfikir yang mendasarinya sekaligus memberikannya pembenaran. Jika terdapat kontradiksi di lapangan antara prinsip-prinsip gagasan “mulia” yang mendasari kolonialisme dengan pelaksanaannya maka kontradiksi itupun masih bisa dijelaskan sekaligus dijustifikasi dalam kerangka berfikir yang sama. Terlepas bagaimana penilaian kita terhadap kolonialisme, kecanggihan kolonialisme bermain dalam tataran pemikiran harus diakui sebagai sebuah kecerdikan yang mengagumkan. Lebih mengagumkan lagi jika kerangka berfikir kaum kolonialis itu dipertahankan dan dipelihara oleh anak-anak negeri jajahannya. Adakah hal yang demikian terjadi hingga sekarang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar