Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Abad ke 18 Sebagai Kategori Dalam Penulisan Sejarah Indonesia Oleh: J.C. Van Leur


Review Historiografi.
Nama   : Irwan
Nim      : 12/339246/PSA/7258



Abad 18 adalah kata kunci dalam tulisan Prof. Godee Molsbergen yang termuat dalam buku Geschiedenis van Nederlandsch-Indie”. Kategori periode ini diambil oleh Molsbergen berdasarkan perkembangan social politik di negeri Belanda dan Eropa. Perubahan kekuasaan dan status negeri belanda dari semula sebagai propinsi bagian dari spanyol, menjadi Negara merdeka di bawah dinasti orange, dikuasai oleh Prancis dan kembali menjadi Negara merdeka pada abad ke 18 menjadi salah satu argumentasi Molsbergen dalam menetapkan kategori ini. Selain itu, konflik dan perubahan di Eropa telah membuat Eropa sadar akan masa gelap dalam peradaban mereka dan berusaha keluar dari lingkaran setan tersebut. Isu perbedaan kelas, kapitalisme ekonomi, demokrasi dan pemerintahan, teknologi senjata adalah bagian dari fenomena abad ke 18. Fenomena semakin sempurna ketika dimulai revolusi industri di Inggris yang menghasilkan alat produksi massal dan mesin uap. Kejayaan Eropa dimulai pada abad ini, dan menurutMolsbergen negeri Belanda adalah bagian fenomena yang terjadi di Eropa. Lebih lanjut Molsbergen menyatakan bahwa abad ke 18 juga menjadi kategori dalam penulisan sejarah daerah Hindia belanda (Indonesia).

Teori Molsbergen dibantah oleh Van Leur (sebagai penulis artikel). Dengan menggunakan sumber-sumber VOC, Van Leur mempertanyakan peran yang dijalankan oleh VOC dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Nusantara. Menurut Van Leur, masyarakat di Nusantara tidak terlalu tergantung kepada VOC, apalagi pada abad ke 18 tersebut VOC sedang mengalami masa-masa kemunduran akibat perilaku korup para pejabat dan pegawainya sebagai akibat dari manajemen yang tidak akuntabel dan diskriminatif. Puncaknya adalah VOC bangkrut dan diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah kerajaan Belanda. Meskipun pada abad ini VOC memblokade lalu lintas perdagangan laut di wilayah kolonialnya, hal ini hanya mengakibatkan kemerosotan ekonomi dan kemiskinan masyarakat di Nusantara namun tidak membuat mereka tergantung kepada VOC.

Van Leur juga mempertanyakan tentang cara-cara kolonial (Belanda dan Eropa) memandang bangsa-bangsa di Nusantara seperti Aceh, Siak, Palembang yang mereka anggap sebagai pemerintah dzalim, korup, bajak laut dan negeri yang mengakui perbudakan. Menurut Van Leur, Belanda dan VOC juga melakukan kerja-kerja serupa seperti penanaman paksa tanpa upah bagi masyarakat Nusantara, atau mencotohkan Kota Vlissingen di Negeri Belanda yang berkembang dari hasil penyelundupan dan pembajakan. Amerikad dan Spanyol juga melakukan penyelundupan dan perdagangan budak untuk membangun gedung-gedung megah di kota Zeeland. Pandangan colonial centris ini telah menyebabkan bangsa memandang pribumi (bangsa Asia) sebagai bangsa lemah dan tergantung dengan mereka walaupun faktanya tidak demikian.

Ketidak tergantungan Nusantara dan Asia terhadap VOC dan Eropa juga dijelaskan panjang lebar oleh Van Leur dimulai dari Negara-negara besar Asia saat itu seperti Cina, Jepang, Iran dan India. Bahkan sumber VOC mencatat bahwa pada abad ke 18  banyak kapal-kapal Cina berlabuh dan berdagang di Batavia. Produksi bangsa Asia (Cina, Jepang, Iran, India) ditukar dengan uang dan logam mulia sehingga barang-barang produksi barat kurang mendapat pasar di Asia. Negara Asia sendiri seperti India dan Cina terkenal dengan produksi pakaian dan tekstil yang merupakan kebutuhan utama masyarakat di Nusantara. Dengan demikian, bangsa Cina dan India (Negara Asia) telah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat di Nusantara sekaligus menghilangkan ketergantungan masyarakat nusantara terhadap VOC.

Monopoli VOC di Batavia mendapat tantangan hebat ketika Inggris membuka kantor dagangnya di penang (Semenanjung Melayu) dan Singapura yang menjadi pusat berkumpulnya hampir seluruh perusahaan dagang bangsa dunia, apalagi kedua pusat perdagangan ini berada di jalur strategis selat malaka yang terkenal sebagai salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Dengan adanya saingan pusat perdagangan ini, monopoli dagang VOC tidak lagi efektif dan praktis mereka hanya mengandalkan pada barang hasil produksi kerja paksa masyarakat daerah jajahan. Pada abad ke 18 ini tidak semua daerah di Indonesia berada dalam penjajahan Belanda, daerah di Sumatra seperti Bengkulu berada dalam koloni Inggris, dan Aceh masih menjadi Negara berdaulat dan merdeka.

Van Leur menyatakan bahwa perkembangan yang terjadi di Nusantara bisa disebut sebagai perkembangan di negeri Asia pada umumnya. Perdagangan Asia semakin meningkat pada abad 18 akibat penambahan perdagangan Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan. Dari sudut pandang ekonomi, tidak ada perbedaan status dan posisi antara bangsa Asia dan Eropa saat itu, yang ada hanyalah pemilik modal yang kecil dan yang besar. Jadi bisa dikatakan bahwa perdagangan VOC tidak mempengaruhi perdagangan masyarakat nusantara. Begitu juga dengan periode sejarahnya, periode sejarah hindia belanda tidak berdekatan dengan sejarah perdagangan Belanda.




























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar