Halaman

Senin, 14 Januari 2013

Review Bab Buku Masalah Utama Ilmu Sosial di Asia: Kritik, Diagnosis, dan Rumusan (Syed Farid Alatas)


Nama               : Arif Subekti
NIM                : 12/340114/PSA/07396

 Telaah Singkat; Kritik dan Diagnosis Masalah Ilmu Sosial di Asia
Bagian awal dari buku berjudul “Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme” ini, sebagian besar menyerupai indeks dari karya-karya orang Asia dan non-Eropa dan non-Amerika yang dikutip untuk membangun kritik dan argumentasi mengenai masalah ilmu sosial di Asia. Syed Farid Alatas, nampak ingin mendomestikasikan masalah ilmu sosial, baik mengenai lembaga ilmu-ilmu sosial yang mula-mula ada di Asia, kemudian perkembangan epistemologi keilmuan, hingga aneka pilihan topik kajian serta tema penelitian. Bab satu ini, yang hendak memaparkan beberapa point berbentuk kritik dan diagnosis, adalah hulu dari gagasan besar bukunya, yang bermuara pada diskursus alternatif ilmu sosial Asia.
Beberapa kritik yang ia munculkan, antara lain adalah asumsi tidak adanya aliran atau tradisi kawasan dalam sosiologi atau ilmu sosial lain yang muncul di masyarakat non Eropa dan non-Amerika Utara. Dengan kata lain bagi akademisi Timur, belum ada teori, konsep, dan metode yang muncul dari rumah sendiri. Permainan perdebatan ilmu sosial dunia yang didominasi oleh Barat ini, menurut Farid, pada umumnya dikarenakan tingginya derajat yang disematkan pada teori, sehingga mengukuhkan teori-teori Barat kontemporer dan klasik sebagai pusat perdebatan teoretis. Selain itu kurangnya kreativitas dan orisinalitas terkait dengan meluasnya pendidikan Barat lewat kolonialisme atau modernisasi Barat berimbas pada kebergantungan intelektual berupa kebergantungan pada sponsor, serta pendiktean pada pemilihan minat kajian serta desain riset, serta bentuk penerbitan.
Simpul diagnosis dari permasalahan ilmu sosial Asia, menurut Farid, terangkum dalam delapan item yang ia rinci, yakni: a) bias eurosentrisme dalam ide, model pilihan masalah, metodologi, teknik, bahkan prioritas riset; b) pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan sastra lokal; c) kurangnya kreativitas dan ketidakmampuan melahirkan teori dan metode yang orisinil; d) penerimaan secara antusias dan tidak kritis terhadap model ilmu sosial Barat sehingga menciptakan peniruan dan pengadopsian; e) afirmasi bahwa dunia diluar Euro-Amerika adalah barbar, terbelakang, irrasional; f) ketiadaan sudut pandang minoritas; g) persekutuan interest ilmu sosial dengan kepentingan negara; h) imperialisme akademis dan dominasi intelektual.

Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia
Secara tersurat, Syed Farid Alatas menunjuk nama J.C. van Leur, sebagai orang yang pertama kali menyerukan diskursus alternatif dalam pembacaan sejarah Indonesia; dimana van Leur dalam karyanya mengenai sejarah perkembangan perekonomian di Nusantara masa dahulu, semestinya tidak menempatkan VOC sebagai pihak pelaku utama, selain itu ia juga mengatakan untuk tidak melihat bangsa penghuni Nusantara hanya dari geladak kapal dan jendela loji saja. Di sisi lain, asumsi ini kemudian menempatkan van Leur sebagai penggagas historiografi indonesiasentris pertama. Gagasan alternatif penempatan pelaku sejarah oleh van Leur ini kemudian diteruskan oleh sejarawan Indonesia pasca proklamasi yang merumuskan langgam kerangka historiografi indonesiasentris.
Sebagai catatan kritis, mengenai diskursus alternatif ilmu sosial sebagaimana yang ditawarkan oleh Farid, khususnya sejarah; seyogyanya dicantumkan perkembangan mutakhir historiografi indonesiasentris yang bahkan telah mengutip ungkapan Sartono dalam buku Farid sendiri “lebih berhasil dalam konsepsi ketimbang pelaksanaan”. Dus, historiografi indonesiasentris sebagai alternatif  dari langgam kolonialsentris, ternyata mengalami kritik dan otokritik yang deras. Perkembangan wacana historiografi alternatif di Indonesia setelah langgam indonesiasentris sebenarnya telah banyak digagas, diantaranya yang mengambil lokus kajian sejarah lokal, sejarah sosial, atau subaltern.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam buku Dick Hartoko (Editor) berjudul Golongan Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin Sebuah Bunga Rampai; bahwa jangan lantas yang muncul adalah asketisme intelektual, yakni semacam sikap melarikan diri dari ketidakberdayaan atas hegemoni Barat, dengan menyembunyikan ketidaksanggupan untuk melahirkan inovasi intelektual yang sepadan dengan Barat, dibalik ketiak tokoh-tokoh besar Timur masa klasik, seperti Ibnu Khaldun, Mawardi, dan sebagainya. Berangkat dari pertimbangan ini, hendaknya karangan-karangan sosial humaniora yang saat ini muncul dan berkembang, tidak diseragamkan dalam misi diskursus alternatif semata. Hal ini kiranya mewujudkan pandangan yang berimbang, misalnya mengenai diskusi-diskusi yang sangat diwarnai perbincangan ideologis, bagi negara-negara yang kemerdekaannya dicapai dengan perjuangan seperti Indonesia; dan kepentingan negara tersebut selanjutnya mewarnai langgam pengetahuan seperti sejarah yang indonesiasentris.
Sebagai gambaran, tulisan Joss Wibisono berjudul Saling-Silang Indonesia Eropa yang berisi essai-essai perihal musik, bahsa, sejarah, dan politik; besar kemungkinan bisa dinilai dari pembalikan oleh diskursus alternatif yang ditawarkan Farid. Joss selama 25 tahun hidup di Belanda, menawarkan wacana Indonesia dari sudut pandang orang Indonesia yang berada di Belanda. Joss kemudian, dalam pandangan Farid, bisa dinilai dalam kemungkinan zero sum, yakni terlampau terkooptasi akan gagasan Eropa-Amerika, atau diujung lain, justru menjadi van Leur masa kini. Gambaran lain, dalam tulisan bersama Harry Poeze, Cees van Dijk, dan Inge van der Meulen, yang berjudul Di Negeri Penjajah Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Karya historiografi ini, juga bisa dimaknai sebagai alternatif atas dokumen-dokumen klasik dan mapan produk asing, yang berupa bahan awal kajian sejarah, seperti: kisah perjalanan para pelaut musafir Eropa, laporan dan buku missionaris, laporan pegawai pemerintah jajahan, dan tulisan para peneliti alam dan para ahli ilmu bumi pada masa setelah renaissance.
Apakah lantas diskursus alternatif, yang tidak hanya melulu kritik dan diagnosa, namun juga rumusan cara pandang Asia, yang ditawarkan Farid tersebut diapresiasi sebagai solusi ketidakmerdekaan intelektual ilmu sosial di negeri non Eropa-Amerika; kemungkinan mengerucut pada masalah waktu dan kegairahan yang musti ditingkatkan. Inovasi teknologi informasi yang memisahkan batas-batas teritori politik (borderless society) serta perkembangan piranti epistemologis berikut post-post-nya; kiranya menjadi faktor yang mampu mewujudkan wacana alternatif sebagaimana digagas Farid. Atau alih-alih demikian, hal ini justru berpotensi memapankan hegemoni ilmu sosial Barat atas Timur, serta semakin memasung ketidakmerdekaan intelektual negeri-negeri non Eropa-Amerika.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar