Nama : Arif Subekti
NIM : 12/340114/PSA/07396
Telaah Singkat; Kritik dan
Diagnosis Masalah Ilmu Sosial di Asia
Bagian awal dari buku berjudul “Diskursus Alternatif
dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme” ini, sebagian besar
menyerupai indeks dari karya-karya orang Asia dan non-Eropa dan non-Amerika
yang dikutip untuk membangun kritik dan argumentasi mengenai masalah ilmu
sosial di Asia. Syed Farid Alatas, nampak ingin mendomestikasikan masalah ilmu
sosial, baik mengenai lembaga ilmu-ilmu sosial yang mula-mula ada di Asia, kemudian
perkembangan epistemologi keilmuan, hingga aneka pilihan topik kajian serta
tema penelitian. Bab satu ini, yang hendak memaparkan beberapa point berbentuk
kritik dan diagnosis, adalah hulu dari gagasan besar bukunya, yang bermuara
pada diskursus alternatif ilmu sosial Asia.
Beberapa kritik yang ia munculkan, antara lain adalah asumsi
tidak adanya aliran atau tradisi kawasan dalam sosiologi atau ilmu sosial lain
yang muncul di masyarakat non Eropa dan non-Amerika Utara. Dengan kata lain
bagi akademisi Timur, belum ada teori, konsep, dan metode yang muncul dari rumah
sendiri. Permainan perdebatan ilmu sosial dunia yang didominasi oleh Barat ini,
menurut Farid, pada umumnya dikarenakan tingginya derajat yang disematkan pada
teori, sehingga mengukuhkan teori-teori Barat kontemporer dan klasik sebagai
pusat perdebatan teoretis. Selain itu kurangnya kreativitas dan orisinalitas
terkait dengan meluasnya pendidikan Barat lewat kolonialisme atau modernisasi
Barat berimbas pada kebergantungan intelektual berupa kebergantungan pada sponsor,
serta pendiktean pada pemilihan minat kajian serta desain riset, serta bentuk
penerbitan.
Simpul diagnosis dari permasalahan ilmu sosial Asia,
menurut Farid, terangkum dalam delapan item yang ia rinci, yakni: a) bias
eurosentrisme dalam ide, model pilihan masalah, metodologi, teknik, bahkan
prioritas riset; b) pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan sastra lokal;
c) kurangnya kreativitas dan ketidakmampuan melahirkan teori dan metode yang
orisinil; d) penerimaan secara antusias dan tidak kritis terhadap model ilmu
sosial Barat sehingga menciptakan peniruan dan pengadopsian; e) afirmasi bahwa
dunia diluar Euro-Amerika adalah barbar, terbelakang, irrasional; f) ketiadaan
sudut pandang minoritas; g) persekutuan interest ilmu sosial dengan kepentingan
negara; h) imperialisme akademis dan dominasi intelektual.
Perkembangan Ilmu Sosial
di Indonesia
Secara tersurat, Syed Farid Alatas menunjuk nama J.C.
van Leur, sebagai orang yang pertama kali menyerukan diskursus alternatif dalam
pembacaan sejarah Indonesia; dimana van Leur dalam karyanya mengenai sejarah
perkembangan perekonomian di Nusantara masa dahulu, semestinya tidak
menempatkan VOC sebagai pihak pelaku utama, selain itu ia juga mengatakan untuk
tidak melihat bangsa penghuni Nusantara hanya dari geladak kapal dan jendela
loji saja. Di sisi lain, asumsi ini kemudian menempatkan van Leur sebagai
penggagas historiografi indonesiasentris pertama. Gagasan alternatif penempatan
pelaku sejarah oleh van Leur ini kemudian diteruskan oleh sejarawan Indonesia
pasca proklamasi yang merumuskan langgam kerangka historiografi
indonesiasentris.
Sebagai catatan kritis, mengenai diskursus alternatif
ilmu sosial sebagaimana yang ditawarkan oleh Farid, khususnya sejarah;
seyogyanya dicantumkan perkembangan mutakhir historiografi indonesiasentris
yang bahkan telah mengutip ungkapan Sartono dalam buku Farid sendiri “lebih
berhasil dalam konsepsi ketimbang pelaksanaan”. Dus, historiografi
indonesiasentris sebagai alternatif dari
langgam kolonialsentris, ternyata mengalami kritik dan otokritik yang deras.
Perkembangan wacana historiografi alternatif di Indonesia setelah langgam
indonesiasentris sebenarnya telah banyak digagas, diantaranya yang mengambil
lokus kajian sejarah lokal, sejarah sosial, atau subaltern.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam buku Dick Hartoko
(Editor) berjudul Golongan Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin Sebuah
Bunga Rampai; bahwa jangan lantas yang muncul adalah asketisme intelektual,
yakni semacam sikap melarikan diri dari ketidakberdayaan atas hegemoni Barat,
dengan menyembunyikan ketidaksanggupan untuk melahirkan inovasi intelektual
yang sepadan dengan Barat, dibalik ketiak tokoh-tokoh besar Timur masa klasik,
seperti Ibnu Khaldun, Mawardi, dan sebagainya. Berangkat dari pertimbangan ini,
hendaknya karangan-karangan sosial humaniora yang saat ini muncul dan
berkembang, tidak diseragamkan dalam misi diskursus alternatif semata. Hal ini
kiranya mewujudkan pandangan yang berimbang, misalnya mengenai diskusi-diskusi
yang sangat diwarnai perbincangan ideologis, bagi negara-negara yang
kemerdekaannya dicapai dengan perjuangan seperti Indonesia; dan kepentingan
negara tersebut selanjutnya mewarnai langgam pengetahuan seperti sejarah yang
indonesiasentris.
Sebagai gambaran, tulisan Joss Wibisono berjudul Saling-Silang
Indonesia Eropa yang berisi essai-essai perihal musik, bahsa, sejarah, dan
politik; besar kemungkinan bisa dinilai dari pembalikan oleh diskursus
alternatif yang ditawarkan Farid. Joss selama 25 tahun hidup di Belanda,
menawarkan wacana Indonesia dari sudut pandang orang Indonesia yang berada di Belanda.
Joss kemudian, dalam pandangan Farid, bisa dinilai dalam kemungkinan zero
sum, yakni terlampau terkooptasi akan gagasan Eropa-Amerika, atau diujung
lain, justru menjadi van Leur masa kini. Gambaran lain, dalam tulisan bersama
Harry Poeze, Cees van Dijk, dan Inge van der Meulen, yang berjudul Di Negeri
Penjajah Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Karya
historiografi ini, juga bisa dimaknai sebagai alternatif atas dokumen-dokumen
klasik dan mapan produk asing, yang berupa bahan awal kajian sejarah, seperti:
kisah perjalanan para pelaut musafir Eropa, laporan dan buku missionaris,
laporan pegawai pemerintah jajahan, dan tulisan para peneliti alam dan para
ahli ilmu bumi pada masa setelah renaissance.
Apakah lantas diskursus alternatif, yang tidak hanya melulu
kritik dan diagnosa, namun juga rumusan cara pandang Asia, yang ditawarkan
Farid tersebut diapresiasi sebagai solusi ketidakmerdekaan intelektual ilmu
sosial di negeri non Eropa-Amerika; kemungkinan mengerucut pada masalah waktu
dan kegairahan yang musti ditingkatkan. Inovasi teknologi informasi yang
memisahkan batas-batas teritori politik (borderless society) serta
perkembangan piranti epistemologis berikut post-post-nya; kiranya
menjadi faktor yang mampu mewujudkan wacana alternatif sebagaimana digagas
Farid. Atau alih-alih demikian, hal ini justru berpotensi memapankan hegemoni
ilmu sosial Barat atas Timur, serta semakin memasung ketidakmerdekaan
intelektual negeri-negeri non Eropa-Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar