Nama : Arif Subekti
NIM : 12/340114/PSA/07396
Sebagai sebuah
telaah literer, tulisan ini memaparkan beberapa kata kunci yang dijajarkan oleh
Smith dalam membangun argumennya mengenai metodologi penelitian ilmiah yang
sudah sepatutnya di-dekolonisasi; khususnya pada Bab III, dengan fokus
pembahasan pada pengetahuan yang menerangkan beberapa konsep dalam perkembangan
diskursus atau wacana ilmu pengetahuan kolonial dan postkolonial. Sementara,
konteks perkembangan historiografi Indonesia, akan penulis sandingkan kemudian;
dalam kaitannya dengan argumen yang dituangkan Smith, khususnya dengan tawaran
diagnosa perihal penjajahan dalam pengetahuan.
Dekolonisasi Metodologi
Sebenarnya,
penulis masih ragu untuk menyepakati frasa dekolonisasi metodologi, sebagai penamaan
atas karya susastra yang ditulis oleh Smith. Kebimbangan dan kebingungan
terletak pada kata dekolonisasi yang ditempatkan dalam wadah wacana post-kolonial.
Menurut penulis, bahwa dekolonisasi mengacu pada proses serta upaya merubah,
mengganti, atau menyerahkan rezim kekuasaan dan khusunya rezim gagasan dari
pihak penjajah kepada pihak terjajah; sebagaimana kata mendekolonisasi berarti
mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada daerah jajahan (memerdekakan).
Secara leksikal, kata ini kemudian bisa kita perbedakan dengan kata
dekolonialisasi, yang sepertinya lebih cocok jika dinisbatkan kepada wacana
post-kolonial; sebab post-kolonial tidak hanya “setelah penjajahan” atau pasca-kolonial,
namun lebih tepat jika disepadankan dengan “melampaui penjajahan”, jadi subyek
dekolonialisasi metodologi tidak hanya pihak yang terjajah, melainkan bisa
siapa saja. Atau barangkali, subyek peneliti sebagaimana yang diutarakan oleh
Smith, adalah bangsa yang terjajah an sich, atau dalam bahasa Smith insider
saja; sehingga dekolonisasi metodologi memang sudah tepat transliterasinya.
Terlepas dari
kebingungan tadi, argumen yang disampaikan oleh Smith berwujud ulasan tentang
kegiatan ilmiah dari para peneliti non bangsa terjajah yang melakukan kajian
bersama orang-orang dari bangsa terjajah perihal isu-isu bangsa terjajah. Di
dalamnya, Smith menjajarkan analisa mengenai konsepsi ilmiah, serta jalan
menuju derajat keilmiahan ilmu pengetahuan sebagai gejala kebudayaan manusia,
yang berkelindan dengan kepentingan politis, dalam hal ini adalah interest
negara-negara kolonial Barat. Komunitas peneliti bangsa terjajah sendiri,
menurut Smith, terbagi dalam dua kategori, yakni: golongan insider, yang
mengusung kepentingan dan representasi masyarakat yang diteliti, dan outsider,
yang sering terpinggirkan dan dianggap sebagai wakil dari suatu kelompok minoritas
atau kelompok kepentingan. Karekteristik dari hasil penelitian mereka, baik
yang bersifat pasca-kolonial, atau anti-kolonial, oleh Smith diteliti, ditulis,
atau dibicarakan lagi.
Untuk memulai
pembacaan dekolonisasi metodologi, asumsi awal yang disuguhkan Smith, adalah
bahwa di dalam tradisi pemikiran barat, terdapat garis batas antara Kami
(Barat) yang superior dan komunitas the Other atau liyan
di sisi inferior, sebagaimana yang telah dirisalahkan oleh Said. Anggapan ini diikuti
dengan penilaian bahwa peneliti dari bangsa terjajah tidak memiliki kecakapan
untuk melaksanakan suatu penelitian, dalam arti mereka adalah sekelompok orang
dalam (insider) yang membutuhkan kepekaan, ketrampilan, kematangan,
pengalaman, dan seperangkat pengetahuan dasar dan lanjut guna menggarap
berbagai macam isu; dimana derajat kelayakan ilmiah ini hanya bisa dicapai
lewat khasanah pedagogi Barat yang dipercaya telah mapan setelah berlangsungnya
Pencerahan.
Penjajahan dalam Pengetahuan
Sebagai
penggal jaman, gagasan pada masa Pencerahan, oleh dunia akademik (Barat)
kemudian dijadikan sebagai pertanda peralihan tradisi pemikiran yang lebih
mengedepankan rasionalitas dan dilabeli sebagai awal modernitas; atau dalam
bahasa Smith, merupakan isyarat berakhirnya feodalisme dan otoritarianisme
absolut yang dilegitimasi dengan kuasa adikodrati, dan meneriakkan bermulanya
negara modern. Posisi superior Barat yang menjadi beradab dengan Pencerahan-nya
ini, secara teleologis menyebabkan diakuinya garis imajiner Barat dan Timur
yang ditarik lewat Papal Bull (1493) dan membuka peluang bagi pembagian dunia
secara politik dan pertarungan negara-negara Barat yang saling berkompetisi
membangun dunia yang telah dikenal. Perjumpaan Barat dan Timur ini kemudian
diyakini terangkum dalam wujud arsip laporan pegawai pemerintah jajahan,
artefak, dan catatan etnografi atau lebih tepatnya kisah perjalanan para pelaut
musafir Eropa, serta catatan para missionaris.
Jajaran
koleksi dari kelampauan ini, merupakan satu-satunya acuan bagi
peneliti-peneliti perihal Dunia Timur, yang tercermin dalam standardisasi
metodologi penelitian serta bahasa yang musti dikuasai dalam mencerna arsip
oleh setiap peneliti. Lebih dalam lagi, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
yang berdiri diatas modernitas tersebut disandarkan akarnya kepada Barat; bahwa
iklim pedagogi berasal dari Barat, dan keluhuran kemahirwacanaan senantiasa diukur
dari titik pandang Barat. Asketisme intelektual Dunia Timur, sebenarnya memiliki
evidensi perihal riwayat bahwa Dunia Timur memiliki modernitasnya sendiri dalam
menyikapi dunia. Selain itu, tradisi intelektual Barat sendiri menyadari bahwa pengetahuan
sebagai salah satu fundamen berdirinya kekuasaan kolonialisme, sejatinya
mengambil sejumlah besar prestasi pengetahuan Dunia Timur. Sekali lagi,
penyikapan dan pelarian (asketisme intelektual) pada kejayaan masa lalu/ golden
age tersebut, lebih-lebih pada harapan dan penantian akan kejayaan di masa
depan; dinisbatkan sebagai karakter Timur yang origin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar