Halaman

Senin, 14 Januari 2013

Review Bab Buku Bab III Penjajahan dalam Pengetahuan (Buku Dekolonisas Metodologi; Linda Tuhiwai Te Rina Smith)


Nama               : Arif Subekti                                                   
NIM                : 12/340114/PSA/07396

Sebagai sebuah telaah literer, tulisan ini memaparkan beberapa kata kunci yang dijajarkan oleh Smith dalam membangun argumennya mengenai metodologi penelitian ilmiah yang sudah sepatutnya di-dekolonisasi; khususnya pada Bab III, dengan fokus pembahasan pada pengetahuan yang menerangkan beberapa konsep dalam perkembangan diskursus atau wacana ilmu pengetahuan kolonial dan postkolonial. Sementara, konteks perkembangan historiografi Indonesia, akan penulis sandingkan kemudian; dalam kaitannya dengan argumen yang dituangkan Smith, khususnya dengan tawaran diagnosa perihal penjajahan dalam pengetahuan.

Dekolonisasi Metodologi
Sebenarnya, penulis masih ragu untuk menyepakati frasa dekolonisasi metodologi, sebagai penamaan atas karya susastra yang ditulis oleh Smith. Kebimbangan dan kebingungan terletak pada kata dekolonisasi yang ditempatkan dalam wadah wacana post-kolonial. Menurut penulis, bahwa dekolonisasi mengacu pada proses serta upaya merubah, mengganti, atau menyerahkan rezim kekuasaan dan khusunya rezim gagasan dari pihak penjajah kepada pihak terjajah; sebagaimana kata mendekolonisasi berarti mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada daerah jajahan (memerdekakan). Secara leksikal, kata ini kemudian bisa kita perbedakan dengan kata dekolonialisasi, yang sepertinya lebih cocok jika dinisbatkan kepada wacana post-kolonial; sebab post-kolonial tidak hanya “setelah penjajahan” atau pasca-kolonial, namun lebih tepat jika disepadankan dengan “melampaui penjajahan”, jadi subyek dekolonialisasi metodologi tidak hanya pihak yang terjajah, melainkan bisa siapa saja. Atau barangkali, subyek peneliti sebagaimana yang diutarakan oleh Smith, adalah bangsa yang terjajah an sich, atau dalam bahasa Smith insider saja; sehingga dekolonisasi metodologi memang sudah tepat transliterasinya.
Terlepas dari kebingungan tadi, argumen yang disampaikan oleh Smith berwujud ulasan tentang kegiatan ilmiah dari para peneliti non bangsa terjajah yang melakukan kajian bersama orang-orang dari bangsa terjajah perihal isu-isu bangsa terjajah. Di dalamnya, Smith menjajarkan analisa mengenai konsepsi ilmiah, serta jalan menuju derajat keilmiahan ilmu pengetahuan sebagai gejala kebudayaan manusia, yang berkelindan dengan kepentingan politis, dalam hal ini adalah interest negara-negara kolonial Barat. Komunitas peneliti bangsa terjajah sendiri, menurut Smith, terbagi dalam dua kategori, yakni: golongan insider, yang mengusung kepentingan dan representasi masyarakat yang diteliti, dan outsider, yang sering terpinggirkan dan dianggap sebagai wakil dari suatu kelompok minoritas atau kelompok kepentingan. Karekteristik dari hasil penelitian mereka, baik yang bersifat pasca-kolonial, atau anti-kolonial, oleh Smith diteliti, ditulis, atau dibicarakan lagi.
Untuk memulai pembacaan dekolonisasi metodologi, asumsi awal yang disuguhkan Smith, adalah bahwa di dalam tradisi pemikiran barat, terdapat garis batas antara Kami (Barat) yang superior dan komunitas the Other atau liyan di sisi inferior, sebagaimana yang telah dirisalahkan oleh Said. Anggapan ini diikuti dengan penilaian bahwa peneliti dari bangsa terjajah tidak memiliki kecakapan untuk melaksanakan suatu penelitian, dalam arti mereka adalah sekelompok orang dalam (insider) yang membutuhkan kepekaan, ketrampilan, kematangan, pengalaman, dan seperangkat pengetahuan dasar dan lanjut guna menggarap berbagai macam isu; dimana derajat kelayakan ilmiah ini hanya bisa dicapai lewat khasanah pedagogi Barat yang dipercaya telah mapan setelah berlangsungnya Pencerahan.

Penjajahan dalam Pengetahuan
Sebagai penggal jaman, gagasan pada masa Pencerahan, oleh dunia akademik (Barat) kemudian dijadikan sebagai pertanda peralihan tradisi pemikiran yang lebih mengedepankan rasionalitas dan dilabeli sebagai awal modernitas; atau dalam bahasa Smith, merupakan isyarat berakhirnya feodalisme dan otoritarianisme absolut yang dilegitimasi dengan kuasa adikodrati, dan meneriakkan bermulanya negara modern. Posisi superior Barat yang menjadi beradab dengan Pencerahan-nya ini, secara teleologis menyebabkan diakuinya garis imajiner Barat dan Timur yang ditarik lewat Papal Bull (1493) dan membuka peluang bagi pembagian dunia secara politik dan pertarungan negara-negara Barat yang saling berkompetisi membangun dunia yang telah dikenal. Perjumpaan Barat dan Timur ini kemudian diyakini terangkum dalam wujud arsip laporan pegawai pemerintah jajahan, artefak, dan catatan etnografi atau lebih tepatnya kisah perjalanan para pelaut musafir Eropa, serta catatan para missionaris.
Jajaran koleksi dari kelampauan ini, merupakan satu-satunya acuan bagi peneliti-peneliti perihal Dunia Timur, yang tercermin dalam standardisasi metodologi penelitian serta bahasa yang musti dikuasai dalam mencerna arsip oleh setiap peneliti. Lebih dalam lagi, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang berdiri diatas modernitas tersebut disandarkan akarnya kepada Barat; bahwa iklim pedagogi berasal dari Barat, dan keluhuran kemahirwacanaan senantiasa diukur dari titik pandang Barat. Asketisme intelektual Dunia Timur, sebenarnya memiliki evidensi perihal riwayat bahwa Dunia Timur memiliki modernitasnya sendiri dalam menyikapi dunia. Selain itu, tradisi intelektual Barat sendiri menyadari bahwa pengetahuan sebagai salah satu fundamen berdirinya kekuasaan kolonialisme, sejatinya mengambil sejumlah besar prestasi pengetahuan Dunia Timur. Sekali lagi, penyikapan dan pelarian (asketisme intelektual) pada kejayaan masa lalu/ golden age tersebut, lebih-lebih pada harapan dan penantian akan kejayaan di masa depan; dinisbatkan sebagai karakter Timur yang origin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar