Halaman

Senin, 14 Januari 2013

Review Artikel Menulis Sejarah dan Membaca Kuasa: Politik pasca-1965 di Bali (Degung Santikarma)


Nama               : Arif Subekti                                                   
NIM                : 12/340114/PSA/07396

 Sejarah 1965 dan Penulisan Sejarah dari Sudut Pandang Korban
Sejarah politik umumnya diidentifikasikan dengan karya historiografi yang acapkali mengambil sudut pandang penguasa, negara, orang besar, peristiwa besar, dan kategori-kategori lain yang tidak langsung bersentuhan dengan orang kebanyakan. Alternatif dari sejarah politik, yang orientasinya adalah sejarah orang kebanyakan, rakyat kecil, atau golongan bawah; kemudian mewujud dalam sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah kebudayaan, dan sebagainya. Proses tadi bisa dijelaskan sebagai upaya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dari suatu periode tertentu, dari kerangka non-politik kekuasaan. Peristiwa 1965, tidak bisa disangkal, merupakan tonggak penting dalam sejarah nasional atau sejarah politik Indonesia. Saat itulah, pemaknaan penguasa atas keberhasilan penumpasan upaya pemberontakan dilabeli kesaktian Pancasila; yang belakangan justru dijungkirbalikkan sebagai pemlintiran Pancasila. Periode sejarah kemudian berganti menjadi baru, bernama Orde Baru; dan sejarah politik yang dilahirkan penguasa pada masa itu pun diberikan pelengkap, Sejarah Orde Baru.
Permasalahan muncul, setelah Orde Baru tersebut banyak membangun penafsiran mengenai sejarah versi mereka, menyusun sejarah kanon atau babon yang pada ujungnya menjadi legitimasi dimana kekuasaan mereka didirikan. Meskipun tidak bisa digeneralisir bahwa karya sejarah yang terbit saat Orde Baru berkuasa, semuanya adalah upaya legitimasi kekuasaan Orba; namun disadari bahwa versi tandingan masih belum ada, minimal suara dari anak negeri. Hal ini menggiring pada permasalahan selanjutnya, bahwa selain produk historiografi yang kurang berimbang, dalam arti sangat didominasi dari sudut pandang penguasa saja; bahwa historiografi yang lahir selanjutnya sebagai upaya penyeimbangan, adalah justru karya historiografi yang memihak cum menyalahkan, dengan aktor sejarah yang sama, namun sudut pandang sebaliknya.
Santikarma, dalam hal ini, mengambil kisah Banjar Bunga yang secara sederhana merupakan kesatuan wilayah dimana banyak korban berjatuhan oleh karena peristiwa 1965. Faktor ideologi, dalam hal ini berwujud afiliasi pada suatu kepartaian tertentu (Partindo), baik sebagai simpatisan maupun kader, ternyata tidak bisa dijadikan aspek determinan yang kemudian menjadikan Banjar Bunga sebagai lumbung orang-orang yang harus dibersihkan; melainkan faktor ekonomi dan sosial (pohon jati milik seorang janda dan seks) lah yang justru dijadikan akar perselisihan. Kebebasan berekspresi paska-reformasi, dengan demikian membuka celah penulisan sejarah dari penuturan para korban, sebagaimana yang dialami Banjar Bunga.

Kegamangan dari Banjar Bunga
Namun, tidak demikian halnya dengan yang ditawarkan Degung Santikarma, dalam pembacaan historiografi alternatif untuk kasus Banjar Bunga. Ia lebih menekankan pada contoh upaya penulisan sejarah yang ditulis oleh orang umum, oleh presidium Banjar Bunga. Trauma yang sangat lama, disusul dengan kehati-hatian pembahasaan, telah menghasilkan rupa sejarah yang lebih strategis menghadapi keinginan tertib administrasi pemerintah. Keinginan untuk menulis “apa yang sebenarnya terjadi”, dengan muatan kepentingan sebagian besar warga Banjar Bunga untuk menuntut keadilan atas diri mereka, orang tua, teman, saudara, dan tetangga mereka yang menjadi korban “pembersihan lingkungan”; menjadi semacam narasi yang bisa jadi akan berbalik mengancam kehidupan dan ketentraman mereka. Narasi rakyat, dalam pandangan Degung Santikarma, dengan demikian tidak sesederhana logika penalaran dan penafsiran yang vis-a-vis dengan kekuasaan. Lebih dari itu, narasi rakyat adalah historiografi strategis, politis, dan barangkali cari aman. Pada ujung tulisan, Santikarma menghadirkan sosok Aji Made, yang menjadi anti-klimaks argumentasinya; bahwa meskipun bukan penuntutan atas keadilan, sejarah Banjar Bunga semestinya sanggup menemukan kembali narasi atas jejak-jejak korban kebijakan Orde Baru, kaitannya dengan kepentingan ritual dan budaya. Sebagai perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia, secara zero sum, narasi rakyat mengambil wajah strategis demi tertib administrasi merupakan contoh kebelum-berhasilan sejarah baru karena sejarah masih saja berpihak, kalau bandul keberpihakan itu tidak mengayun ke penguasa, maka bandul itu berada di awang-awang para korban. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar