Nama : Arif Subekti
NIM : 12/340114/PSA/07396
Sejarah 1965 dan Penulisan
Sejarah dari Sudut Pandang Korban
Sejarah politik umumnya diidentifikasikan dengan karya
historiografi yang acapkali mengambil sudut pandang penguasa, negara, orang
besar, peristiwa besar, dan kategori-kategori lain yang tidak langsung
bersentuhan dengan orang kebanyakan. Alternatif dari sejarah politik, yang
orientasinya adalah sejarah orang kebanyakan, rakyat kecil, atau golongan
bawah; kemudian mewujud dalam sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah
kebudayaan, dan sebagainya. Proses tadi bisa dijelaskan sebagai upaya mengetahui
apa yang sebenarnya terjadi dari suatu periode tertentu, dari kerangka
non-politik kekuasaan. Peristiwa 1965, tidak bisa disangkal, merupakan tonggak
penting dalam sejarah nasional atau sejarah politik Indonesia. Saat itulah,
pemaknaan penguasa atas keberhasilan penumpasan upaya pemberontakan dilabeli
kesaktian Pancasila; yang belakangan justru dijungkirbalikkan sebagai
pemlintiran Pancasila. Periode sejarah kemudian berganti menjadi baru,
bernama Orde Baru; dan sejarah politik yang dilahirkan penguasa pada masa itu
pun diberikan pelengkap, Sejarah Orde Baru.
Permasalahan muncul, setelah Orde Baru tersebut banyak
membangun penafsiran mengenai sejarah versi mereka, menyusun sejarah kanon atau
babon yang pada ujungnya menjadi legitimasi dimana kekuasaan mereka didirikan.
Meskipun tidak bisa digeneralisir bahwa karya sejarah yang terbit saat Orde
Baru berkuasa, semuanya adalah upaya legitimasi kekuasaan Orba; namun disadari bahwa
versi tandingan masih belum ada, minimal suara dari anak negeri. Hal ini
menggiring pada permasalahan selanjutnya, bahwa selain produk historiografi
yang kurang berimbang, dalam arti sangat didominasi dari sudut pandang penguasa
saja; bahwa historiografi yang lahir selanjutnya sebagai upaya penyeimbangan,
adalah justru karya historiografi yang memihak cum menyalahkan, dengan
aktor sejarah yang sama, namun sudut pandang sebaliknya.
Santikarma, dalam hal ini, mengambil kisah Banjar
Bunga yang secara sederhana merupakan kesatuan wilayah dimana banyak korban
berjatuhan oleh karena peristiwa 1965. Faktor ideologi, dalam hal ini berwujud
afiliasi pada suatu kepartaian tertentu (Partindo), baik sebagai
simpatisan maupun kader, ternyata tidak bisa dijadikan aspek determinan yang
kemudian menjadikan Banjar Bunga sebagai lumbung orang-orang yang harus
dibersihkan; melainkan faktor ekonomi dan sosial (pohon jati milik seorang
janda dan seks) lah yang justru dijadikan akar perselisihan. Kebebasan
berekspresi paska-reformasi, dengan demikian membuka celah penulisan sejarah
dari penuturan para korban, sebagaimana yang dialami Banjar Bunga.
Kegamangan
dari Banjar Bunga
Namun, tidak demikian halnya dengan yang ditawarkan
Degung Santikarma, dalam pembacaan historiografi alternatif untuk kasus Banjar
Bunga. Ia lebih menekankan pada contoh upaya penulisan sejarah yang ditulis
oleh orang umum, oleh presidium Banjar Bunga. Trauma yang sangat lama, disusul
dengan kehati-hatian pembahasaan, telah menghasilkan rupa sejarah yang lebih
strategis menghadapi keinginan tertib administrasi pemerintah. Keinginan untuk
menulis “apa yang sebenarnya terjadi”, dengan muatan kepentingan sebagian besar
warga Banjar Bunga untuk menuntut keadilan atas diri mereka, orang tua, teman,
saudara, dan tetangga mereka yang menjadi korban “pembersihan lingkungan”;
menjadi semacam narasi yang bisa jadi akan berbalik mengancam kehidupan dan
ketentraman mereka. Narasi rakyat, dalam pandangan Degung Santikarma, dengan
demikian tidak sesederhana logika penalaran dan penafsiran yang vis-a-vis
dengan kekuasaan. Lebih dari itu, narasi rakyat adalah historiografi strategis,
politis, dan barangkali cari aman. Pada ujung tulisan, Santikarma menghadirkan
sosok Aji Made, yang menjadi anti-klimaks argumentasinya; bahwa meskipun bukan
penuntutan atas keadilan, sejarah Banjar Bunga semestinya sanggup menemukan
kembali narasi atas jejak-jejak korban kebijakan Orde Baru, kaitannya dengan
kepentingan ritual dan budaya. Sebagai perspektif baru dalam penulisan sejarah
Indonesia, secara zero sum, narasi rakyat mengambil wajah strategis demi
tertib administrasi merupakan contoh kebelum-berhasilan sejarah baru karena sejarah
masih saja berpihak, kalau bandul keberpihakan itu tidak mengayun ke penguasa,
maka bandul itu berada di awang-awang para korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar