Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Bab 6 Buku “Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia”: “”Aku” Yang Berjuang: Sebuah sejarah penulisan tentang diri sendiri pada masa Orde Baru”

Nama : Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316

Lebih dari 50 tahun setelah dilangsungkannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia I sudah banyak karya penulisan sejarah yang dihasilkan sejarawan Indonesia. Akan tetapi rupanya peningkatan dalam kuantitas tidak selalu berarti peningkatan dari segi kualitas, setidaknya begitulah menurut sebagian sejarawan yang mengamati historiografi Indonesia. Hal itulah yang tampaknya melatarbelakangi ditulisnya buku “Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia” yang dieditori 3 orang sejarawan ini -2 dari Indonesia dan 1 dari Belanda-ini. Sesuai dengan judulnya, buku berisi kumpulan tulisan ini mencoba menawarkan perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia, salah satunya lewat eksplorasi berbagai tema dan ruang lingkup kajian sejarah.
Salah satu tema yang diangkat dalam buku ini adalah tentang biografi. Dalam buku ini yang dibahas bukanlah soal bagaimana menulis biografi itu sendiri melainkan telaah atas karya-karya biografi yang sudah pernah ditulis di Indonesia dalam kurun waktu Orde Baru (1966-1998). Melalui gaya bahasa yang agak sarkastis dan menggelitik, Gerry van Klinken dalam bab 6 ini menguraikan hasil kajiannya mengenai buku-buku biografi dari era Orde Baru dan mengungkapkan sejumlah hal menarik dari biografi yang lahir pada masa itu.
Adalah hal yang tampak anomali bahwa di sebuah negeri yang budayanya cenderung mengajarkan sikap tidak suka menonjolkan diri buku-buku biografi yang hadir justru terkesan mengagungkan sosok yang diangkat dalam biografi itu. Van Klinken mengemukakan adanya ciri yang berbeda dari biografi yang dikenal di Barat dengan biografi di Indonesia. Jika biografi di Barat menjadikan kehidupan batin sebagai pokok dari sebuah biografi maka biografi ala Indonesia justru menempatkan kehidupan batin sebagai sesuatu yang sebisa mungkin harus dikesampingkan dalam biografi. Pengalaman-pengalaman pribadi dan emosi adalah hal yang jarang ditampilkan dalam biografi-biografi di Indonesia, khususnya pada era Orde Baru. Biografi pada masa ini terutama pada puncak kekuasaan Orde Baru dalam dekade 1970-an-1980-an menampilkan sosok-sosok “besar” –para pejabat dan politisi, lebih spesifik lagi, dari kalangan militer- yang digambarkan sebagai orang yang berwibawa, penuh dedikasi, loyalitas, dan berbagai sifat mulia lainnya. Semua penggambaran tersebut selalu dikaitkan dengan posisi sentral negara ,dan dalam batas tertentu rezim bahkan Soeharto sebagai presiden, sebagai obyek dedikasi dan loyalitas. Terkait kesan penonjolan diri yang amat kuat dalam biografi tokoh politik era Orde Baru van Linken mengaitkan hal ini dengan budaya Jawa yang memang dominan dalam budaya politik Orde Baru yaitu bahwa apa yang terkesan penonjolan diri itu sejatinya bukanlah penonjolan atas “diri” sang tokoh itu sendiri melainkan penonjolan atas sosok yang telah mampu melepaskan “kediriannya” dan menjadi sosok tidak lagi memiliki pamrih sehingga mampu berbuat banyak jasa kepada negara.
Tentu saja model biografi seperti di atas bukanlah satu-satunya corak biografi Indonesia pada era Orde Baru. Memasuki dasawarsa 1990-an biografi Indonesia mulai tampil dalam wajah yang lebih beragam. Para pejabat, politisi, dan purnawirawan tetap mendapat tempat yang luas dalam buku-buku biografi yang terbit pada dekade itu tetapi sosok-sosok lain seperti selebritis pun diangkat kisah kehidupannya. Berbeda dengan figur-figur politik, tokoh-tokoh dari dunia non-politik ditampilkan dalam sebuah ruang yang boleh dibilang ‘hampa politik’ dalam arti tidak dibebani dengan keharusan menampilkan sosok yang bersangkutan sebagai seorang yang berjasa kepada “bangsa dan negara”. Selain itu masih ada pula biografi dari tokoh-tokoh yang pernah menjadi bagian dari kaum elit namun kemudian tersingkir –atau disingkirkan- yang mengungkapkan kritikan-kritikannya baik terhadap kondisi sosial negara maupun terhadap penguasa. Biografi-biografi jenis ini cukup berguna untuk memandang suatu peristiwa politik ataupun figur politik tertentu dari sudut pandang yang berbeda.
Secara garis besar bab “Aku Yang Berjuang” ini bermanfaat jika ditinjau dari dua hal: pertama sebagai sebuah model atau lebih tepatnya pembuka jalan dari kajian sejarah mentalitas dan kedua untuk memahami biografi itu sendiri sebagai salah satu hal yang bisa menjadi obyek kajian sejarah. Sejarah mentalitas termasuk salah satu jenis sejarah yang belum banyak diangkat di Indonesia padahal bahan-bahan bagi penulisan sejarah mentalitas sesungguhnya amat berlimpah. Biografi jika dikaji secara kritis dapat memberikan kita gambaran tentang perkembangan karakter dari sesosok individu yang kemudian tentu saja memengaruhi –bahkan menentukan- sikap atau keputusan yang ia ambil yang pada gilirannya ikut berpengaruh bagi jalannya sejarah. Sementara itu otobiografi bisa memberikan kita pemahaman mengenai bagaimana seseorang, sebuah segmen masyarakat, atau suatu kelas sosial tertentu mengkonstruksi pandangan tertentu mengenai dirinya sendiri. Untuk menghasilkan sebuah karya tentang sejarah mentalitas pendekatan analisis wacana kritis dan psikologi dapat digunakan.
Adapun tentang biografi, dari bab ini tampak bahwa penulisan biografi sebagaimana pelbagai teks lainnnya tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupinya, termasuk konteks sosial dan historisnya. Biografi ala pejabat Orde Baru yang selalu menitikberatkan jasa sang tokoh lepada negara misalnya, terkait erat dengan narasi besar Orde Baru yang menempatkan negara –atau lebih tepatnya rezim dan pemimpin rezim itu sendiri- secara sakral. Jika ditelisik lebih jauh lagi maka ini ada hubungannya dengan menguatnya elemen fasis dari ideologi negara pada masa Orde Baru. Sementara itu “demokratisasi biografi” pada 1990-an juga tidak bisa dilepaskan dari melemahnya kekuasaan negara Orde Baru ketika itu. Akhirnya, penulisan sejarah biografi di Indonesia dapat menjadi suatu langkah yang bagus untuk memahami apa yang bertahan dan berubah dalam mentalitas masyarakat Indonesia dari zaman ke zaman.

1 komentar: