Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Kata Pengantar Buku “Dari Emporium ke Imperium” dan “Sejarah Indonesia Modern”

Nama : Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316


Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa baru berdiri tahun 1945. Sebelum itu tidak ada entitas politik bernama Indonesia, yang ada adalah Hindia Belanda. Jika kita menengok sejarah terbentuknya Indonesia sebagai sebuah kesatuan wilayah maka hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah kolonial Belanda. Belanda-lah yang mempersatukan pelbagai wilayah di Nusantara ke dalam satu administrasi kolonial yang dinamakan Hindia Belanda yang lalu berubah nama menjadi Indonesia. Indonesia terdiri dari banyak daerah dengan latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda satu sama lain. Oleh karena besarnya perbedaan antar daerah di Nusantara sulit dibayangkan jika daerah-daerah itu dapat bersatu menjadi sebuah entitas politik bila bukan karena dipersatukan secara politik oleh Belanda. Dengan demikian sulit dihindari kesan bahwa sesungguhnya Indonesia hanyalah kelanjutan dari negara kolonial Hindia Belanda.
Akan tetapi benarkah terbentuknya Indonesia hanya sesederhana itu? Apakah sebelum bercokolnya hegemoni kolonial Belanda daerah-daerah di kepulauan ini benar-benar terpisah dan tidak berinteraksi satu sama lain? Dua orang sejarawan terkemuka, Sartono Kartodirdjo dan M.C. Ricklefs berpendapat lain. Menurut keduanya meskipun peran Belanda dalam ‘mempersatukan’ Nusantara tidak dapat dinafikan akan tetapi realitas sejarah bahwa berbagai daerah dan komunitas suku bangsa di Nusantara telah saling berinteraksi sejak sebelum berkuasanya kolonialisme Belanda juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Proses interaksi ini menghasilkan terjalinnya berbagai bentuk ikatan antar daerah dan antar etnis di Nusantara sebelum bercokolnya kolonialisme Belanda. Bagaimana proses interaksi tersebut berlangsung, itulah yang dibahas Sartono dalam bukunya “Dari Emporium ke Imperium” dan Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern”.
Baik Sartono maupun Ricklefs sama-sama menunjukkan perhatian terhadap proses terjalinnya hubungan antar entitas yang ada di Nusantara sebelum kolonialisme yang dalam sudut pandang tertentu bisa dilihat sebagai awal terbentuknya Indonesia. Hal yang membedakan keduanya adalah jika Sartono amat memerhatikan struktur sebagai latar belakang dari proses sejarah maka Ricklefs lebih memerhatikan proses itu sendiri. Di sini terlihat perbedaan pendekatan yang dipakai keduanya. Sartono menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam studi sejarah sedangkan Ricklefs menggunakan pendekatan yang lebih bersifat deskriptif-naratif meskipun bukan berarti tanpa analisis sama sekali. Dalam bukunya yang menguraikan sejarah Indonesia sejak tahun 1300 tampak betul bahwa Ricklefs menekankan kekuatan kronologi. Tanpa perlu bersusah payah meminjam kerangka teoretis dari ilmu sosial Ricklefs menggunakan sejarah itu sendiri untuk menjelaskan perubahan maupun kesinambungan dalam sejarah Indonesia. Berbeda dengan Ricklefs, Sartono berusaha menjelaskan perubahan dan kesinambungan itu dengan bantuan ilmu sosial. Selain soal pendekatan, hal lain yang membedakan keduanya adalah sementara Sartono sebagai seorang sejarawan Indonesia merasa ‘berkewajiban’ menuliskan sejarah negerinya dalam kerangka mendukung integrasi nasional maka Ricklefs sebagai sejarawan asing tidak terbebani dengan hal tersebut. Harus diakui bahwa tanpa beban misi ideologis tertentu seorang sejarawan dapat lebih bebas menulis sejarah secara apa adanya sesuai fakta yang ia temukan dan oleh karenanya lebih mendekati obyektivitas.
Baik karya Sartono maupun Ricklefs sesungguhnya adalah tonggak penting dalam historiografi Indonesia. Sartono memelopori penggunaan pendekatan ilmu sosial dalam studi sejarah Indonesia sedangkan Ricklefs mewakili generasi baru sejarawan Barat yang berusaha memahami sejarah Indonesia lewat kacamata orang Indonesia sendiri sebagaimana terlihat dari penggunaan sumber-sumber pribumi di samping sumber-sumber Eropa dalam karyanya. Pendekatan ilmu sosial yang dilakukan Sartono adalah sebuah terobosan pada masanya yang menghadirkan nuansa baru pada paradigma Indonesia-sentrisme bahwa Indonesia-sentrisme bukan sekadar pembalikan peran bagi orang Indonesia dari pemberontak menjadi pahlawan. Segera setelah Sartono memperkenalkan pendekatannya, pendekatan ini digunakan pula oleh banyak sejarawan Indonesia lainnya. Namun demikian satu konsekuensi yang perlu dicatat dari digunakannya pendekatan ilmu sosial dalam studi sejarah adalah timbulnya kesan –atau semakin kuatnya kesan- bahwa sejarah tidak mempunyai teori dan metodologinya sendiri sehingga harus meminjam teori dan metodologi dari disiplin ilmu lain. Disadari atau tidak pendekatan ilmu sosial ini seolah menutup pintu bagi ilmu sejarah untuk mengembangkan teori dan metodologinya sendiri. Celakanya para sejarawan Indonesia pasca-Sartono juga sepertinya tidak mampu mengembangkan pendekatan ilmu sosial ini lebih lanjut kecuali sekadar mengulangi apa yang dilakukan Sartono saja atau bahkan tidak bisa mengaplikasikan teori dan metodologi ilmu sosial itu dalam studi sejarah sehingga keduanya hanya menjadi pajangan belaka dalam sebuah historiografi.
Sementara itu karya Ricklefs “Sejarah Indonesia Modern” seolah menunjukkan kembalinya pendekatan deskriptif-naratif dalam sejarah. Kelebihan dari pendekatan ini adalah mampu mengungkap akar dan proses historis dari sebuah struktur yang mungkin bertahan hingga sekarang. Lewat pengungkapan itu kita bisa menyadari bahwa struktur itu bukanlah sesuatu yang tetap alias tidak berubah sepanjang masa melainkan sebaliknya terus menerus berubah. Pemahaman akan perubahan tersebut dapat memberikan kita arah untuk melakukan antisipasi jikalau perubahan itu terjadi atau bila perlu bagaimana mengubah struktur itu sendiri. Sekalipun demikian, pemahaman atas proses semata juga dapat membuat kita lupa bahwa proses itu pun tidak bisa lepas sepenuhnya dari struktur. Artinya sebuah proses, baik itu perubahan ataupun kesinambungan hanya akan terjadi bila struktur atau kondisi struktur yang ada memungkinkan atau memberi peluang bagi proses itu. Sebagai contoh, sebuah revolusi untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa hanya akan terjadi bila pemerintahan tersebut sudah lemah dan tidak lagi memiliki wibawa di hadapan rakyatnya. Sebaliknya jika pemerintahan itu masih kuat dan berwibawa maka peluang revolusi akan tertutup atau setidaknya kecil akan berhasil. Hal-hal semacam inilah yang bisa dijelaskan oleh pendekatan ilmu sosial. Pendekatan deskriptif-naratif mungkin bisa menjelaskan proses dalam rentang waktu yang panjang akan tetapi untuk menjelaskan proses yang terjadi dalam peristiwa dengan rentang waktu yang pendek mungkin pendekatan ini kurang begitu berguna.
Pada akhirnya baik pendekatan ilmu sosial maupun deskriptif-naratif mempunyai kegunaannya masing-masing dan dapat menjawab permasalahan sejarah bila digunakan dalam kasus yang tepat. Adalah tugas para sejarawan untuk memilah dan memilih kapan serta dalam kasus apa salah satu dari kedua pendekatan itu digunakan atau digunakan secara bersamaan sehingga dapat melengkapi satu sama lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar