Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Bab 5 Buku “Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia”: “Ilmu Sosial Otonom atau Nativis: Benturan Orientasi”

Nama : Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316


Berakhirnya kolonialisme Eropa secara politik bukanlah akhir dari kolonialisme secara keseluruhan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial, kolonialisme Eropa ternyata masih mempertahankan cengkramannya. Hampir semua teori dan metodologi ilmu sosial yang digunakan untuk meneliti dan memahami permasalahan di negara-negara bekas jajahan Eropa masih merupakan warisan dari diskursus ilmu sosial yang lahir di Eropa. Padahal teori dan metodologi itu lahir dari pengalaman Eropa dan kacamata orang Eropa yang notabene memiliki nilai-nilai yang berbeda dari masyarakat di negara-negara bekas jajahannya. Apabila kondisi ini terus dipelihara maka masyarakat-masyarakat bekas jajahan selamanya hanya menjadi obyek kajian dari orang-orang Eropa tanpa bisa menyuarakan dirinya sendiri.
Kondisi di atas melatarbelakangi Syed Farid Alatas –seorang sosiolog Malaysia yang mengajar di National University of Singapore- menulis buku “Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia” (judul asli: Alternative Discourses in Asian Social Science : Responses to Euro-centrism) sebagai sebuah upaya mengangkat diskursus ilmu sosial yang lahir dan berkembang berdasarkan pengalaman dan kacamata orang Asia sebagai alternatif atas diskursus ilmu sosial yang selama ini masih bercorak Euro-sentris. Di antara wacana yang diangkat dalam buku ini adalah tentang dua macam orientasi dalam membangun diskursus ilmu sosial alternatif di Asia yaitu ilmu sosial nativis dan otonom. Meskipun keduanya sama-sama menolak hegemoni ilmu sosial Euro-sentris akan tetapi masing-masing mempunyai sikap yang bertentangan satu sama lain dalam menyikapi pengetahuan yang datang dari Barat.
Nativisme atau ilmu sosial nativis menyikapi pengetahuan Barat dengan pandangan curiga dan sikap anti-pati. Para penyokong ilmu sosial nativis memandang ilmu sosial yang lahir di Barat tidak memiliki hubungan ataupun relevansi dengan masyarakat-masyarakat non-Barat. Ilmu sosial Barat dianggap hanya sebagai bagian dari warisan kolonialisme yang berusaha menghegemoni bangsa-bangsa non-Barat. Sebagai pengganti dari ilmu sosial Barat maka para nativis berusaha melahirkan dan mengembangkan ilmu sosial yang “murni” berasal dari nilai-nilai serta pemikiran masyarakat non-Barat dari mana mereka berasal. Menurut Alatas sikap semacam ini sejatinya hanyalah pembalikan atas paradigma Euro-sentrisme yang selama ini dominan untuk diganti dengan paradigma lain yang sejatinya memiliki sifat yang sama dengan Euro-sentrisme itu sendiri. Paradigma nativisme, sebagaimana Euro-sentrisme, memandang paradigma lain di luar dirinya sebagai musuh, ancaman, atau sesuatu yang dianggap rendah. Selain itu paradigma ini juga ternyata gagal memperhitungkan keanekaragaman sosial-budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat atau negeri akibat visi yang menganggap sistem budaya masyarakat atau negeri tersebut sebagai sesuatu yang homogen atau terlalu menekankan homogenitas dari masyarakat dan negeri itu. Nativisme juga tampak mengulangi apa yang terjadi pada orientalisme ketika mendekatkan dirinya dengan kekuasaan negara. Dalam kasus ini nativisme pada akhirnya hanya menjadi alat bagi beroperasinya kekuasaan negara sebagaimana orientalisme dahulu.
Sementara itu ilmu sosial otonom mengambil sikap yang lebih positif terhadap pengetahuan Barat, bahkan ia menentang nativisme. Sebagai diskursus alternatif terhadap ilmu sosial Barat, ilmu sosial otonom menggugat ketergantungan terhadap ilmu sosial. Paradigma ini menghendaki terbangunnya tradisi ilmu sosial yang mandiri dalam merumuskan masalah, menciptakan konsep, dan menerapkan metodologi tanpa dominasi intelektual dari tradisi lain. Sekalipun demikian, paradigma ilmu sosial otonom tidak menafikan pengaruh atau pengetahuan dari tradisi lain yang bersifat universal dan berguna untuk memperkaya serta mengembangkan tradisi ilmu sosial yang otonom itu sendiri. Sebuah gagasan tidak akan ditolak hanya berdasarkan asal-usul nasional atau kulturalnya. Pembangunan tradisi ilmu sosial otonom meniscayakan kritik konstruktif terhadap pengetahuan Barat dan pengambilan sumber-sumber pengetahuan di luar Barat. Upaya tersebut sudah coba dilakukan oleh sejumlah ilmuwan sosial di Asia seperti di India dan Iran.
Bagi para ilmuwan sosial dan humaniora di Indonesia, diskursus ilmu sosial alternatif ini adalah sebuah tawaran yang menarik. Namun demikian perlu dilihat secara realistis apakah tawaran ide ini dapat kita terapkan di Indonesia. Kiranya harus kita katakan bahwa ide ini tidak mudah direalisasikan di Indonesia. Hal yang menjadi masalah adalah Indonesia sebagai sebuah entitas sosial-budaya sesungguhnya belum sepenuhnya terbentuk padahal untuk membangun sebuah tradisi ilmu sosial perlu ada sebuah entitas sosial-budaya yang solid lengkap dengan pandangan dunia dan sistem nilainya yang dari situ bisa dibangun sebuah tradisi keilmuan. Indonesia dengan kenekaragaman budaya di dalamnya masih sedang bergulat untuk menemukan konstruksi keindonesiaan yang mapan. Tentu akan lain halnya jika kita ingin membangun tradisi ilmu sosial yang berbasis budaya etnis, katakanlah ilmu sosial ala Jawa, ala Sunda, ala Minang, dan sebagainya. Secara realistis maka tradisi ilmu sosial berbasis budaya etnis itulah yang lebih mungkin untuk dibangun ketimbang sebuah ‘tradisi ilmu sosial khas Indonesia’. Akan tetapi masalah yang kedua adalah untuk membangun sebuah tradisi ilmu sosial maka pertama-tama yang perlu dibangun adalah tradisi keilmuan. Pertanyaannya sudahkah hal ini berkembang di Indonesia? Jujur harus kita akui bahwa tradisi keilmuan di Indonesia belum berkembang karena banyak faktor. Salah satu masalah yang berkaitan erat –meskipun lebih tepat disebut sebagai bagian dari masalah itu sendiri ketimbang faktor penyebab- dengan mandegnya tradisi keilmuan adalah lemahnya penguasaan terhadap berbagai diskursus ilmu pengetahuan. Jangankan terhadap khazanah keilmuan yang berakar pada tradisi kita sendiri, terhadap khazanah keilmuan Barat pun hanya sedikit di antara ilmuwan serta mahasiswa kita yang betul-betul menguasainya. Sepanjang menyangkut penguasaan khazanah keilmuan tradisional –dan khazanah keilmuan non-Barat pada umumnya- kebanyakan kita sangat lemah bahkan mungkin merasa asing terhadapnya. Walhasil jika kita ingin membangun sebuah tradisi ilmu sosial alternatif yang berakar pada budaya kita sendiri bukanlah hal yang mudah. Jika kita serius ingin mewujudkannya maka langkah paling pertama adalah sunguh-sungguh membangun tradisi keilmuan. Bila itu tidak kita lakukan maka jangan harap kita bisa menghasilkan sebuah tradisi ilmu sosial alternatif, apatah lagi menandingi Barat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar