Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Artikel “The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography”

Nama: Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316


Artikel karya Anthony H. Johns yang dimuat dalam The Journal of Asian Studies edisi November 1964 ini mengulas peranan mitos dalam historiografi tradisional Jawa. Menurut Johns, meskipun sarat dengan kisah-kisah ajaib yang tidak masuk akal bukan berarti historiografi tradisional itu tidak berguna sama sekali untuk memahami sejarah Jawa. Mitos yang terdapat dalam historiografi tradisional Jawa setidaknya dapat memberi kita gambaran bagaimana alam pikiran masyarakat Jawa pada waktu karya itu disusun. Dalam historiografi tradisional di Nusantara –baik dalam alam kebudayaan Jawa maupun Melayu- unsur mitos paling banyak terdapat di bagian pendahuluan historiografi itu. Bagian pendahuluan historiografi tradisional umumnya berisi kisah awal perjalanan sebuah kerajaan, pendiri dinasti, ataupun asal-usul garis keturunan seorang penguasa. Dalam historiografi tradisional Jawa di bagian ini selalu dikisahkan bahwa nenek moyang pendiri dinasti, pendiri kerajaan, atau penguasa yang untuknya karya tersebut didedikasikan bukanlah orang biasa melainkan mempunyai hubungan dengan atau garis keturunan dari alam adi-kodrati. Selain itu, raja atau penguasa selalu dihubungkan dengan kerajaan sebelumnya baik lewat garis keturunan ataupun hubungan perkawinan. Hal-hal tersebut menunjukkan 2 aspek utama dalam legitimasi bagi seorang penguasa menurut alam pikiran masyarakat Jawa di masa lalu yaitu hubungan dengan alam adi-kodrati –para dewa, penguasa dunia gaib, dan sebagainya- dan hubungan dengan dinasti penguasa terdahulu. Dengan kata lain, bagi masyarakat Jawa pada zaman historiografi tradisional itu disusun seorang raja harus menunjukkan bahwa dirinya mendapat restu dari kekuatan-kekuatan gaib di luar dunia manusia serta memiliki garis keturunan dari para penguasa terdahulu yang jika dirunut silsilahnya akan sampai pada kesimpulan bahwa para penguasa itu adalah titisan dewa.
Dalam artikel ini Johns mengupas 2 karya historiografi yang bisa mewakili historiografi tradisional Jawa secara umum yaitu Serat Pararaton dan Babad Tanah Jawi. Meskipun berasal dari 2 periode yang berbeda akan tetapi keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama berpegang pada mitos dewa-raja dan menekankan pentingnya peran raja sebagai penjaga keseimbangan kosmos. Ini sekaligus menegaskan adanya kesinambungan dalam sejarah kebudayaan Jawa. Dalam Serat Pararaton (SP) Ken Arok sebagai pendiri Dinasti Rajasa –dinasti yang menurunkan raja-raja Singosari dan Majapahit- digambarkan sebagai putra dari Dewa Brahma yang menghamili seorang wanita desa. Sementara itu dalam Babad Tanah Jawi (BTJ) diceritakan silsilah raja-raja Mataram yang bersambung hingga ke Nabi Adam yang lalu menurunkan para nabi dan juga dewa-dewa Hindu. Walau demikian, Johns mengemukakan adanya perbedaan yang cukup menarik antara keduanya. Meskipun berasal dari zaman yang lebih muda, dalam BTJ ternyata unsur mitos memainkan peranan yang lebih dominan dibanidngkan dalam SP. Fakta ini membawa Johns pada suatu pertanyaan hipotesis, apakah mungkin jika sampai dengan zaman Majapahit di Jawa pernah ada sebuah otoritas sekuler (baca: otoritas yang tidak menggantungkan legitimasinya pada dunia gaib) dan baru pada zaman Mataram –yang terisolir di pedalaman dan tidak memiliki kekuatan riil- dunia gaib mendapat peran yang lebih menonjol sebagai sumber kekuasaan?
Kelebihan dari artikel ini adalah ketajaman analisis Johns yang membuatnya mampu menguraikan unsur-unsur pengaruh dari mana saja yang mewarnai SP dan BTJ. Dalam analisisnya tentang SP Johns menunjukkan adanya pengaruh Hindu (Ken Arok disebut sebagai putra Brahma, Batara Guru (Siwa) menyatakan Ken Arok adalah anaknya) dan Buddha (kisah kesediaan Ken Arok mengorbankan dirinya sendiri demi kebahagiaan makhluk lain –tema yang banyak diangkat dalam kisah-kisah Jataka milik kaum Buddhis). Adapun BTJ mengandung unsur-unsur asli Jawa, Hindu, Buddha, dan Islam. Lewat analisisnya Johns mengungkapkan banyaknya unsur asli Jawa dalam BTJ dan secara jeli ia mengaitkan hal ini dengan kebangkitan kembali elemen-elemen pra-Hindu yang sudah tampak sejak era Majapahit lalu secara paradoks bertemu dengan unsur pengaruh luar yang datang kemudian: Islam.
Bila ada kekurangan dalam ulasan Johns ini maka itu adalah pandangannya yang menganggap mitos dalam historiografi tradisional Jawa sebagai sekadar alat legitimasi bagi penguasa seraya mengabaikan kemungkinan adanya kebenaran faktual dalam mitos tersebut. Perlu kita ingat, dalam masyarakat tradisional fakta dan mitos tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mitos membentuk fakta sebagaimana fakta dijadikan sebagai mitos. Dalam konteks ini bukan tidak mungkin misalnya jika para raja Mataram adalah keturunan Majapahit karena paham kekuasaan Jawa zaman itu mensyaratkan seorang penguasa harus memiliki garis keturunan dari penguasa terdahulu. Begitu pula dengan kasus kisah Ken Arok, bisa jadi perjalanan Ken Arok hingga akhirnya menjadi raja bukan sekadar cerita dongeng yang dibuat-buat melainkan memang itulah jalan yang harus ditempuh seseorang pada zaman itu untuk menjadi raja. Memang, menurut kacamata Barat yang rasionalistis mitos dianggap sebagai alat legitimasi bagi pihak yang berkuasa semata. Dengan kata lain, mitos hanyalah alat yang digunakan penguasa untuk menipu rakyatnya agar mengakui keabsahan kekuasaannya. Pandangan ini sesungguhnya mengabaikan fakta bahwa dalam masyarakat tradisional mitos dianggap sebagai suatu kebenaran, bukan hanya oleh rakyat jelata tetapi juga penguasa dan kaum terpelajar. Dengan demikian maka dalam hal ini mitoslah yang membentuk fakta. Persepsi yang memandang mitos sebelah mata seringkali menyulitkan penulisan sejarah Jawa manakala tidak ada sumber di luar sumber-sumber Jawa –semisal sumber Cina atau Barat- yang menyebutkan satu peristiwa atau mengisahkan sebuah peristiwa secara kronologis. Historiografi tradisional Jawa seringkali dianggap lebih rendah nilainya dibandingkan sumber-sumber lain yang dipandang lebih ‘rasional’. Padahal tidak mustahil di dalam historiografi tradisional Jawa pun terdapat fakta-fakta sejarah yang penting diungkap untuk memahami sejarah Jawa. Tidak ada salahnya menjadikan babad atau serat sebagai sumber sejarah selama kisah-kisah tak masuk akal di dalamnya dikesampingkan terlebih dahulu dan tidak ada sumber lain yang lebih kuat yang membantah informasi yang terkandung dalam babad atau serat itu. Historiografi tradisional tidak bisa dikesampingkan begitu saja semata karena ‘irasionalitas’nya yang pada akhirnya hanya akan memiskinkan khazanah sumber sejarah Nusantara dan mengasingkan kita dari kekayaan warisan budaya kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar