Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Artikel “Beberapa Aspek Peradilan Agama Islam di Kesultanan Pontianak Tahun 1880-an”

Nama: Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316



Artikel dengan judul di atas adalah salah satu artikel yang dimuat dalam buku “Sultan, Pahlawan dan Hakim” karya Henri Chambert Loir yang membahas naskah-naskah lama dari Dunia Melayu. Artikel yang dibuat sebagai makalah dalam seminar tentang teks-teks dari Nusantara di Bern Swiss tahun 1993 ini membahas sebuah naskah dari Pontianak Kalimantan Barat yang berisi dakwaan yang ditujukan kepada otoritas peradilan agama Islam –mencakup di dalamnya mahkamah agama, sejumlah menteri Kesultanan, dan sultan sendiri- di daerah tersebut pada akhir abad ke-19. Dalam artikel ini Loir memaparkan naskah tersebut dari mulai kondisi fisik sampai isi dari naskah milik salah seorang kerabat Kesultanan Pontianak itu. Sepintas mungkin tidak ada yang menarik dari sebuah naskah yang pada`dasarnya adalah arsip pengadilan. Arsip biasanya identik dengan suatu teks yang formal dan kering sehingga kurang hidup dibandingkan naskah berupa karya sastra atau catatan kehidupan sehari-hari. Akan tetapi Loir mengungkapkan sejumlah fakta menarik dari naskah arsip ini yang bisa memberikan kita gambaran kehidupan masyarakat Pontianak pada masa itu.
Secara garis besar, artikel Loir ini menguraikan informasi apa saja yang terdapat dalam naskah dari Pontianak tersebut. Loir memaparkan kasus-kasus apa saja yang disebutkan di dalamnya dan kepada siapa kewenangan penyelesaian kasus-kasus itu diserahkan –apakah kepada sultan, mahkamah agama, atau menteri. Ia menyebrutkan adanya kasus-kasus tentang hak asuh anak, hibah, warisan, perceraian, dan sengketa tanah. Selain itu ada juga permohonan dari seseorang kepada sultan agar ia diberi tanah. Kasus-kasus tersebut dapat dibedakan berdasarkan siapa yang berwenang memberi putusan. Kasus hak asuh anak, hibah, warisan, dan perceraian misalnya, adalah kewenangan mahkamah agama. Sedangkan kasus sengketa tanah menjadi kewenangan sultan. Dalam hal ini ada suatu hal yang mengherankan bagi Loir bahwa dalam dokumen-dokumen itu tidak ditemukan satu pun kasus mengenai wasiat, sedekah, dan wakaf yang merupakan bagian dari kewenangan mahkamah agama. Cukup menarik bahwa Loir menyatakan dalam dokumen tersebut kasus-kasus perceraian termasuk kasus yang paling banyak disebut. Kiranya perlu dikaji mengapa kasus perceraian banyak terjadi, faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya perceraian di Pontianak pada masa itu.
Naskah semacam arsip pengadilan agama Kesultanan Pontianak ini berguna baik untuk memahami fakta kehidupan masyarakat pada zamannya maupun juga fakta mental (mentifact) masyarakat ketika itu. Loir mengungkapkan bahwa sebagian besar dakwaan ditujukan kepada sultan dan diawali dengan kata pembuka seperti: “Dipersembahkan menghadap ke bawah kaos Sri Paduka duli yang maha mulia tuanku Sultan yang bersemayam di atas takhta kerajaan di dalam negeri Pontianak. Ampun tuanku.” (hal. 95). Kalimat pembuka yang panjang itu menunjukkan kepada kita bagaimana kedudukan sultan dalam pandangan masyarakat Pontianak pada waktu dakwaan tersebut diajukan sekitar tahun 1880-an. Kedudukan sultan rupanya sangat tinggi di mata masyarakat sehingga harus disanjung dengan gelar “Sri Paduka duli yang maha mulia tuanku Sultan”. Penghormatan yang sangat tinggi kepada sultan atau raja memang merupakan hal yang lazim dalam masyarakat kerajaan tradisional –yang sering pula dijuluki sebagai masyarakat feodal1- tidak hanya di Pontianak atau Dunia Melayu secara umum tetapi juga kawasan-kawasan kebudayaan lainnya. Menarik untuk dicermati apakah kalimat sanjungan kepada sultan di atas adalah cerminan mentalitas masyarakat yang suka menjilat penguasa? Suatu hal yang mungkin wajar dalam era kerajaan tradisional namun sepertinya masih terbawa hingga era negara-bangsa modern sekarang ini. Diajukannya dakwaan kepada sultan –dan juga berbagai menteri- untuk mendapat penyelesaian kasus hukum menunjukkan pula kepada kita seberapa besar kekuasaan sultan. Selain menjadi kepala pemerintahan ternyata sultan pun memiliki kewenangan dalam bidang peradilan sekalipun ada pula lembaga peradilan tersendiri. Pemisahan kekuasaan secara tegas antara lembaga eksekutif dan yudikatif rupanya tidak dikenal oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara, setidaknya jika kekuasaan kehakiman sultan seperti di Pontianak berlaku pula di daerah-daerah lain. Ide trias politica memang relatif masih merupakan barang baru bagi masyarakat Nusantara. Intervensi penguasa terhadap lembaga kehakiman tampaknya sudah menjadi budaya yang lazim dan baru belakangan ini saja coba untuk dihilangkan secara konsisten.
Bila ditinjau secara keseluruhan, artikel Loir ini cenderung bersifat deskriptif daripada analisis yang mendalam. Padahal jika dianalisis secara mendalam, banyak hal yang bisa digali dari dokumen pengadilan Kesultanan Pontianak ini. Akan lebih mencerahkan jika kasus-kasus yang muncul di dalam dokumen itu dikaitkan dengan konteks sosial-politik ataupun sosial-budaya Kesultanan Pontianak akhir abad ke-19 misalnya. Di samping itu tampak juga adanya kekurangcermatan Loir dalam uraiannya yang dimuat dalam artikel ini. Ia menyebutkan bahwa 28 % pendakwa dalam kasus-kasus di dokumen Pontianak ini adalah orang Arab yang notabene jika kita merujuk pada Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie adalah golongan minoritas di Pontianak. Klaim ini perlu dikaji ulang karena dalam konteks Pontianak kebanyakan orang Arab telah berasimilasi ke dalam masyarakat Melayu. Tidak jelas apakah ia mengambil kesimpulan demikian karena melihat nama para pendakwa yang menggunakan nama-nama marga Arab Hadhramaut. Di Pontianak memang banyak terdapat keturunan Arab bahkan dari kalangan syarif atau sayyid2 tetapi umumnya mereka ini sudah melebur menjadi orang Melayu. Oleh karena mereka telah menjadi orang Melayu maka mereka pun dapat digolongkan sebagai “pribumi”. Dengan demikian boleh jadi angka 28 % orang Arab yang disebutkan Loir itu lebih tepat jika dimasukkan ke dalam golongan pribumi.
1 Istilah yang kurang tepat sesungguhnya karena feodal adalah konsep yang berasal dari Eropa sehingga belum tentu bisa diterapkan di wilayah kebudayaan lain.


2 Orang-orang Arab yang mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW lewat cucunya, Hasan dan Husein.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar