Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Artikel “On the Study of Southeast Asian History” dan “'Asian Values' and Southeast Asian History”

Nama : Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316

Bagaimanakah wajah penulisan sejarah Asia Tenggara di era pasca-kolonial? Dua orang sejarawan, D.G.E. Hall dan T.N. Harper mencoba menjawab pertanyaan itu lewat tulisannya masing-masing yang ditulis dalam rentang waktu yang terpisah lebih dari 30 tahun -Hall menulis dalam jurnal Pacific Affairs edisi September 1960 sedangkan Harper menulis dalam jurnal The Historical Journal edisi Juni 1997.
Hall menulis artikelnya yang berjudul “On the Study of Southeast Asian History” pada masa ketika negara-negara di Asia Tenggara -kecuali Thailand- belum lagi merasakan dua dasawarsa kemerdekaannya. Penulisan ulang sejarah negara-bangsa-negara-bangsa dengan perspektif bangsa-bangsa itu sendiri masih sedang berlangsung dan belum mencapai bentuknya yang mapan. Artikel Hall ini sendiri berisi tinjauan mengenai karya-karya historiografi dengan cakupan spasial Asia Tenggara yang sudah ditulis sampai saat itu. Ia menyebutkan dan mengulas sejumlah karya historiografi tentang negara-negara Asia Tenggara dari mulai Burma, Thailand, negara-negara Indo-Cina (Vietnam, Kamboja, Laos), Malaya, Indonesia, sampai Filipina. Hall memaparkan apa saja hal-hal yang telah dieksplorasi maupun belum dieksplorasi mengenai sejarah Asia Tenggara. Dalam artikel ini ia juga menawarkan satu periodisasi baru dalam sejarah Asia Tenggara dengan membagi perjalanan sejarah Asia Tenggara menjadi tiga masa yaitu sejak awal masuknya pengaruh India sampai abad ke-13, abad ke-13-18 yang merupakan masa berbagai perubahan besar bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara mulai dari masuk dan berkembangnya agama Buddha Theravada serta Islam sampai kedatangan orang-orang Eropa, dan terakhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 yang merupakan masa dominasi bangsa-bangsa Eropa atas Asia Tenggara. Hal penting lain yang dikemukakan Hall adalah mengenai perlunya menghindari kecenderungan untuk memparalelkan sejarah Asia Tenggara dengan sejarah Eropa sebagaimana sering dilakukan para penulis sejarah Asia Tenggara berkebangsaan Eropa dengan menggunakan istilah-istilah semacam 'ancient', 'medieval', dan 'modern' yang berasal dari sejarah Eropa untuk menggambarkan sejarah Asia Tenggara.
Sementara itu, dalam tulisannya “Asian Values' and Southeast Asian History” Harper memposisikan dirinya sebagai jembatan antara kaum intelektual Barat dengan Dunia Asia dalam konteks sebuah era yang disebut-sebut sebagai masa kebangkitan “nilai-nilai Asia”. Ada kekahawatiran sebagian kalangan intelektual di Barat terhadap kebangkitan tersebut yang merupakan sebuah tantangan terhadap hegemoni Barat selama ini. Para intelektual barat itu khawatir jika kebangkitan “nilai-nilai Asia” ini akan melahirkan chauvinisme yang bukan tidak mungkian akan melahirkan kolonialisme dan imperialisme baru oleh bangsa-bangsa Asia terhadap Dunia Barat. Tidak heran jika muncul penilaian-penilaian negatif terhadap peradaban-peradaban non-Barat seperti yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Ia memandang bahwa nilai-nilai Islam dan Konfusianisme -dua sistem nilai yang memiliki banyak penganut dan berpengaruh besar di kawasan Asia- sepenuhnya kontradiktif dengan nilai-nilai Barat. Pertentangan antara nilai-nilai barat dan Timur (Asia) itulah yang mendorong Huntington memprediksi akan terjadinya “benturan peradaban” (the clash of civilization) di masa depan. Penilaian yang terkesan simplistis terhadap “nilai-nilai Asia” ini bukan tanpa dasar. Bila di barat ada kecenderungan untuk memandang Asia dengan penuh kecurigaan maka di Asia pun berkembang hal serupa, Barat dipandang dengan kacamata kebencian sebagai sumber kerusakan moral dan penindas. Di tengah ketegangan semacam inilah Harper mencoba memberikan perspektif baru terhadap apa yang disebut “nilai-nilai Asia”.
Dalam tulisan ini Harper mengangkat perdebatan atas “nilai-nilai Asia” dalam konteks pendekatan pada penulisan sejarah di Asia Tenggara. Alih-alih menimbulkan chauvinisme atau nasionalisme sempit, artikulasi “nilai-nilai Asia” dalam penulisan sejarah di Asia Tenggara telah memberikan warna dan perspektif baru dalam penulisan sejarah di kawasan ini. Bila di masa lalu sejarah Asia Tenggara selalu ditulis dengan perspektif euro-sentrisme maka kini mulai muncul sentrisme baru yang memandang sejarah Asia Tenggara dari kacamata orang Asia Tenggara sendiri. Sentrisme baru ini tidak saja memperkaya khazanah penulisan sejarah Asia Tenggara dan memperluas cara pandang terhadap sejarah kawasan ini tetapi juga membawa pada penilaian kritis atas konstruksi negara-bangsa di Asia Tenggara yang berlaku selama ini. Penulisan sejarah Asia Tenggara dengan perspektif baru yang dilakukan para sejarawan Asia Tenggara sendiri pada akhirnya membuat mereka tidak lagi terjebak pada polemik kolonialisme melawan anti-kolonialisme namun menempatkan keduanya sebagai dua hal yang terkait erat satu sama lain dan harus sama-sama dinilai secara kritis. Lewat tulisan ini Harper menunjukkan bahwa “nilai-nilai Asia” bukanlah sebuah prinsip yang monolitik dan perdebatan mengenai apa yang dimaksud sebagai “nilai-nilai Asia” itu sendiri masih jauh dari selesai sehingga tidak ada alasan bagi Barat untuk khawatir pada “kebangkitan nilai-nilai Asia” itu.
Artikel Hall dan Harper berasal dari dua masa yang berbeda, yang satu berasal dari era dekolonialisasi ketika bangsa-bangsa Asia baru saja melepaskan dirinya dari kekuasaan kolonial sementara satunya lagi hadir di ambang abad ke-21 yang oleh sebagian orang disebut-sebut sebagai “abad Asia”. Sepanjang rentang waktu yang terpisah lebih dari 3 dekade sudah banyak perkembangan yang terjadi dalam penulisan sejarah Asia Tenggara. Ketika Hall menulis artikelnya belum banyak sejarawan Asia Tenggara sendiri yang menulis sejarah kawasan ini dari kacamata 'orang dalam'. Kalaupun ada, maka karya-karya historiografi para sejarawan Asia Tenggara pada masa itu lebih bercorak ideologis (baca: menghidupkan semangat nasionalisme dan patriotisme) ketimbang ilmiah. Tidak aneh bila dalam artikelnya Hall hanya mengulas karya-karya sejarawan Barat yang memang lebih mempunyai bobot ilmiah. Namun di era Harper para sejarawan Asia Tenggara sudah mulai mampu membuat karya-karya historiografi ilmiah yang mengkritisi bukan saja kolonialisme tetapi juga konstruksi negara-bangsa mereka sendiri. Dalam artikelnya, Hall menulis hal-hal yang belum tergali dalam penulisan sejarah Asia Tenggara antara lain mengenai periode awal sejarah Asia Tenggara (masa Indianisasi) tetapi seiring dengan penemuan fakta-fakta baru maupun interpretasi baru sedikit demi sedikit pertanyaan yang menyelimuti periode itu mulai terungkap. Pada masa Harper penulisan sejarah sudah mulai bergerak dari sejarah politik menjadi sejarah non-politik dan dengan pendekatan yang berbeda dari penulisan sejarah konvensional. Karya monumental Denys Lombard “Nusa Jawa” adalah contoh dari salah satu karya historiografi Asia Tenggara non-konvensional dengan gaya penulisannya yang melangkah mundur dari zaman pasca-kolonial hingga ke zaman Hindu-Buddha serta perhatiannya yang besar pada pelbagai aspek non-politik dari sejarah Pulau Jawa. Pencapaian penulisan sejarah Asia Tenggara di akhir abad ke-20 tentu bukanlah titik akhir dari historiografi kawasan ini, masih banyak hal yang bisa digali dan ditulis dari sejarah Asia Tenggara. Di sinilah perlunya para sejarawan yang meneliti kawasan ini -baik sejarawan asing maupun sejarawan Asia Tenggara sendiri- mempelajari apa saja yang sudah ditulis mengenai sejarah Asia Tenggara, mengenal apa yang sudah dicapai para sejarawan terdahulu dan apa yang belum, dan memahami di mana letak kekuatan dan kelemahan karya-karya yang sudah ada sehingga dari situ dapat diambil arah dan perspektif baru dalam penulisan sejarah Asia tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar