Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Review Artikel “Beberapa Tjatatan Mengenai Penulisan Sedjarah Makassar-Bugis”

Nama: Adif Fahrizal
NIM : 12/339539/PSA/7316



Historiografi tradisional yang berkembang di Sulawesi Selatan ternyata memiliki karkteristik tersendiri yang membedakannya dari historiografi tradisional di daerah lain di Nusantara. Karakteristik tersebut adalah kuatnya ciri-ciri rasional dan lebih sedikit mitos yang terdapat dalam historiografi tradisional di Sulawesi Selatan dibandingkan historiografi tradisional di daerah lain –seperti Jawa misalnya. Demikian kurang lebih di antara pandangan yang dikemukakan A.A. Cense dalam tulisan yang berjudul asli “Enige aantkeningen over Makassaars-Boeginese geschiedscrhijving”. Cense adalah seorang sejarawan dan pakar filologi Belanda yang memiliki minat sangat besar terhadap kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar. Dalam tulisannya ini ia mengulas hal-hal yang terkait dengan penulisan sejarah masyarakat Bugis dan Makassar. Di bagian awal artikel, Cense meninjau sejumlah tulisan tentang sejarah Bugis-Makassar yang ditulis orang Eropa seperti “Het Nederlandsche Gouverment van Makasser op het eiland Celebes”, “Makassaarche Historien”, “Geschiedenis van het rijk Gowa”, dan lain-lain. Ulasan tentang karya-karya orang Eropa tersebut adalah pendahuluan dari uraian Cense selanjutnya tentang naskah-naskah tradisional yang dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah Bugis-Makassar.
Naskah-naskah tradisional Bugis-Makassar patut mendapat perhatian –setidaknya menurut Cense- karena naskah-naskah itu ternyata juga digunakan sebagai sumber penulisan sejarah Bugis-Makassar oleh para penulis Eropa yang terdahulu. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari sifat historiografi tradisional Bugis-Makassar yang sudah dikemukakan di atas. Dalam lanjutan artikelnya Cense mengulas jenis-jenis naskah tradisional yang berguna bagi penulisan sejarah Bugis-Makassar mulai dari buku-buku harian, teks perjanjian-perjanjian, catatan-catatan mengenai hukum adat, surat menyurat, ikhtisar-ikhtisar sejarah yang singkat, kronik-kronik, sampai sanjak. Ia menjelaskan sebagian besar dari jenis-jenis naskah tersebut secara cukup terperinci dan memberikan penilaiannya sejauh mana naskah-naskah itu berguna bagi penulisan sejarah. Di sini terlihat keahlian Cense sebagai seorang pakar spesialis naskah-naskah Bugis-Makassar yang ironisnya tidak banyak dikuasai oleh orang Bugis dan Makassar sendiri.
Di antara sekian jenis naskah tradisional Bugis-Makassar yang penting untuk djadikan sumber sejarah menurut Cense adalah teks perjanjian-perjanjian yang bersifat politik –biasanya pernyataan takluk dari satu kerajaan kepada kerajaan lain, catatan-catatan mengenai hukum adat, ikhtisar-ikhtisar sejarah singkat, dan kronik. Adapun terhadap jenis-jenis naskah lainnya Cense menempatkannya agak sedikit di bawah nilainya dari jenis-jenis naskah di atas meskipun ia tetap mengakui kegunaan jenis-jenis naskah itu bagi penulisan sejarah Bugis-Makassar. Penilaian Cense itu tampaknya dipengaruhi oleh sifat dari masing-masing jenis naskah. Teks-teks perjanjian, catatan-catatan mengenai hukum adat, ikhtisar-ikhtisar sejarah singkat, dan kronik sedikit banyak berhubungan dengan aspek politik dari kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Naskah-naskah yang berhubungan dengan politik rupanya dianggap lebih bernilai dibandingkan dengan yang tidak berhubungan dengan politik. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari paradigma yang dominan ketika tulisan Cense ini dibuat. Para sejarawan pada masa Cense memang menganut pandangan bahwa sejarah adalah sejarah politik, artinya sesuatu dari masa lalu baru dipandang bernilai sejarah apabila sesuatu itu berkaitan dengan politik. Apabila sesuatu itu tidak berhubungan dengan politik maka tidak layak dijadikan sebagai bagian dari sejarah meskipun bisa jadi aspek non-politik juga memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di masa lampau.
Dengan cara pandang yang demikian tidak heran jika Cense lebih memusatkan perhatiannya terhadap naskah-naskah yang menyangkut aspek kehidupan politik masyarakat Bugis dan Makassar. Sementara itu terhadap naskah-naskah yang sifatnya non-politis –seperti yang menyangkut kehidupan sehari-hari- ia menganggapnya kurang penting walau Cense pun mengakui bahwa naskah-naskah tersebut dapat memberikan gambaran terhadap kehidupan masyarakat di masa lalu. Dalam perkembangan mutakhir ilmu sejarah, teks-teks kecil yang dalam paradigma sejarah lama dianggap tidak penting justru dipandang sama pentingnya dengan teks-teks besar seperti arsip, dokumen, atau naskah-naskah yang bersifat politis. Begitu pula dengan karya sastra, meskipun isinya seringkali fiktif namun bisa berguna untuk memahami alam pikiran masyarakat di mana karya sastra tersebut dihasilkan sehingga dari situ seorang sejarawan dapat melacak bagaimana sejarah mentalitas masyarakat itu. Jika kita menggunakan paradigma sejarah baru ini maka naskah-naskah yang dianggap kurang penting atau rendah nilainya oleh sejarawan kolonial seperti Cense sesungguhnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Terkait dengan penilaian Cense terhadap jenis-jenis naskah Bugis-Makassar dalam konteks penulisan sejarah harus pula diingat posisinya sebagai sebagai seorang pegawai pemerintah kolonial1. Bias superioritas yang sering menghinggapi kaum kolonialis sangat mungkin juga ada pada diri Cense. Kaum kolonialis kerap memandang budaya masyarakat jajahannya dengan sebelah mata. Mereka memandang budaya masyarakat jajahan yang tidak sejalan dengan cara berpikir mereka adalah irasional dan karenanya lebih rendah nilainya daripada budaya Eropa. Cara pandang semacam inilah yang sadar atau tidak digunakan oleh para sejarawan kolonial dalam menilai naskah-naskah tradisional kaum pribumi. Naskah yang ‘irasional’ –dalam pandangan mereka- dianggap tidak bernilai bagi penulisan sejarah sebaliknya naskah yang sesuai dengan cara pandang mereka dianggap ‘rasional’ dan karenanya menjadi bernilai sebagai sumber sejarah. Padahal di dalam naskah-naskah yang ‘irasional’ sekalipun sangat mungkin terdapat bahan-bahan yang berharga untuk penulisan sejarah.
Terlepas dari bias-bias kolonial yang menyertainya, tulisan Cense ini membuka mata kita betapa kayanya khazanah naskah-naskah tradisional di Nusantara. Patut disayangkan bila penelitian terhadap naskah-naskah tersebut justru dilakukan orang asing, apalagi jika penelitian itu dilatarbelakangi motif-motif yang bersifat politis. Penelitian yang dilakukan para pakar seperti Cense dapat menjadi pijakan awal bagi para sejarawan Indonesia untuk menggali khazanah tersebut lebih dalam lagi. Lewat penelitian yang intensif terhadap naskah-naskah tradisional kita bisa berharap lahirnya suatu pemahaman yang lebih utuh dan mendalam terhadap sejarah masyarakat di Nusantara dengan kacamata sejarawan Indonesia sendiri –bukan kacamata kolonial beserta segala bias di dalamnya.
1 Ia pernah bekerja di “Kantoor voor Inlandsche Zaken” (Kantor Urusan Pribumi) dan menjadi pegawai bahasa di Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar