Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Syair sulthan Fanshuri

Nama                           : Irwan
NIM                            : 12/339246/PSA/7258

Naskah ini termasuk dalam katagori naskah melayu, disalin kembali oleh HN Van der Tuuk (VdT); seorang pengumpul naskah kuno melayu yang pernah menterjemahkan injil dalam bahasa Batak. Dalam artikelnya, Henri Chambert-Loir menyatakan  bahwa VdT meminjam syair dari Soetan Ibadat yang berhubungan kerabat dengan Sutan Agama, raja kerajaan Hulu saat itu. Naskah syair ini tidak berjudul dan oleh E. Wieringa diberi judul syair Sultan Fansuri. Dan Loir mengambil judul naskah syair tersebut sebagai judul artikel ini. Syair sebanyak 15 halaman dan ditambah dengan prosa sebanyak 30 halaman ini bercerita tentang sejarah kerajaan Fansur yang terdiri dari 2 kerajaan yaitu; kerajaan Hulu dan Hilir. Selain juga diceritakan tentang hubungan kerajaan Fansur dengan kerajaan Aceh dan juga hubungan mereka dengan serikat dagang Inggris di Sumatra.

Menurut Loir, Syair Sultan Fansuri bernilai seni dan sejarah secara bersamaan. Sebagai sebuah seni, Syair ditulis dengan bahasa yang berirama sesuai dengan kaidah puisi atau syair, meskipun pada halaman 16 sampai dengan 30 (halaman terakhir) bahasa yang digunakan tidak lagi lentur dan tidak bisa dikatagorikan sebagai puisi atau syair. Namun demikian, menurut Loir halaman tersebut bisa dikatakan sebagai prosa karena berisi tentang cerita-cerita. Sebagaimana syair sejarah lainnya, syair sultan Hamzah Fansuri tidak tertalu mempedulikan keindahan sastra dalam penulisannya. Bahkan Loir mengkritik beberapa bagian dari syair ini yang dianggap kacau, baik itu jumlah larik, penempatan kata, rima yang kacau ataupun  pengulangan kata yang terasa salah.

Syair Sultan fansuri bukan satu-satunya naskah kerajaan Fansur, Loir mencatat setidak ada sepuluh teks sejarah yang berhubungan dengan kerajaan tersebut, seperti Hikayat Raja Tuktung, Tambo Barus Hilir, Hikayat Cerita Barus, Asal keturunan Raja Barus dan lainnya. Dan menurut Loir, Syair Sultan ini terjadi pada tahun 1812 dan tidak meninggalkan jejak sejarah, namun bisa dilihat sebagai sebuah kondisi politik kerajaan Fansur pada abad 19 yang penuh dengan kekacauan baik itu ditimbulkan oleh luar seperti kerajaan Aceh maupun peristiwa dalam seperti meninggalnya sultan yang berkuasa dan calon penggantinya masih kecil (anak-anak).

Sebagaimana umumnya naskah-naskah kuno di Nusantara, banyak bagian dari syair Sultan berisi legenda dan kode-kode berbentuk symbol yang harus diinterpretasi secara kritis. Seperti gelar yang ditabalkan bagi Sultan Ibrahim yaitu Tuanku Batu Badan. Dari cerita yang terungkap dalam syair, kebanyakan orang setempat menterjemahkan gelar tersebut dengan cerita kuburan sultan yang hanya berisi badan tanpa kepala, karena sultan tersebut dipancung oleh perwira Aceh akibat membangkang kepada kerajaan Aceh. Namun jika meneliti ilmu bahasa dan budaya baik Aceh maupun melayu, gelar tidak ada hubungannya seperti tersebut di atas. Dalam dunia melayu semua kuburan akan dipacang batu yang disebut dengan batu badan, dan istilah ini masih dipakai sampai sekarang di dunia melayu. Menurut Loir istilah batu badan ini merujuk kepada “Raja yang memiliki batu nisan dari Aceh”. Namun loir juga mengakui adanya kerumitan karena kuburan sultan Ibrahim terpasang batu yang diimpor dari Brunei.

Menurut Loir, Syair Sultan bercerita tentang ilmu pemerintahan yang didalamnya berisi tentang nasehat-nasehat bagi raja dan pelaksana kerajaan lainnya dalam menjalankan pemerintahan. Ulasan tentang tema ini mencapai 43 larik. Dilanjutkan kemudian tentang sejarah kerajaan Barus (Fansur) yang berisi kemuliaan-kemuliaan seperti adanya kuburan aulia yang berjumlah 44 orang. Juga dikupas tentang Raja Hulu sebagai raja pertama kerajaan Fansur yang mendirikan kerajaan di Sitiga Bulan dan dilanjutkan dengan pemerintahan turun temurun dalam beberapa generasi selanjutnya termasuk ketika memindahkan pusat kerajaan ke Kampung Dalam. Cerita berlanjut dengan munculnya Sultan Ibrahim yang digambarkan berayah dari Hulu dan beribu dari Hilir. Sultan inilah yang menyatukan dua kerajaan Hulu dan Hilir sebagai kerajaan Fansur.

Selain itu juga diceritakan tentang penyerangan terhadap Fansur yang menurut Loir bisa jadi disebabkan oleh fitnah. Akibat penyerangan ini Sultan Ibrahim dipancung oleh tentara Aceh dan kepalanya dibawa ke kotaraja (Banda Aceh). Jika kita membaca literature sejarah Aceh, penyerangan bisa jadi disebabkan pembangkangan sultan Ibrahim terhadap pengaruh sultan Aceh. Karena menurut literature tentang Aceh, konsep kenegaraan kerajaan Aceh yang berbentuk konfederasi sesungguhnya memberikan otonomi luas bagi kerajaan-kerajaan Negara bagian dalam melaksanakan pemerintahannya. Hanya beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh kerajaan bagian terhadap Aceh seperti pembayaran upeti, pengiriman pasukan jika terjadi peperangan dengan Negara luar (seperti perang melawan Portugis di Malaka) dan pengakuan terhadap pengaruh dan kekuasaan kerajaan Aceh terhadap kerajaan Fansur. Bisa jadi Sultan Ibrahim mengingkari salah satu item yang tersebut di atas sehingga mengundang murka raja Aceh. Apalagi pada tahun 1812, kerajaan Aceh kembali diperintah oleh Sultan Ibrahim Mansyursyah; seorang raja besar yang disegani Barat dan berusaha mengembalikan hegemoni Aceh atas Sumatra dan dunia melayu. Namun saying informasi dari literature Aceh di atas tidak digunakan oleh Loir dalam artikelnya.

Bagian selanjutnya menceritakan reaksi sultan Aceh akibat peristiwa gaib (Tsunami dan banjir) setelah menendang kepala sultan Ibrahim. Peristiwa mungkin bisa disebut dengan legenda karena tidak ada kejadian bencana alam besar di Aceh pada tahun 1812 dan setelahnya. Kecuali jika bencana ini diterjemahkan sebagai peristiwa perang Aceh mengorbankan ratusan ribu nyawa rakyat Aceh. Dan dalam hal ini, secara klise Loir menyetujui tentang peristiwa bencana alam yang terjadi berdasarkan kisah-kisah mirip yang muncul dari teks-teks melayu.

Selanjutnya sultan memperlakukan kepala sultan Ibrahim secara hormat dan mengembalikannya ke negeri Fansur sekaligus membebaskan (memerdekakan) sekaligus melindungi negeri tersebut. Kedatangan pasukan Aceh yang mengantar jenazah kepala sultan Ibrahim juga digambarkan syair ini. Janji kemerdekaan dan perlindungan Kerajaan Aceh terhadap Fansur ditulis dengan selembar surat yang dibubuhi stempel kerajaan Aceh. Janji dipenuhi oleh Raja Aceh bahkan dilanjutkan generasi raja Aceh selanjutnya.

Cerita kemudian dilanjutkan dengan hubungan diplomasi antara kerajaan Fansur dengan perwakilan dagang Inggris yang berpusat di Sumatra. Dalam hubungan sultan Fansuri bantuan perlindungan dari Inggris terhadap gangguan Aceh kemudian hari. Pertemuan dan perbincangan antara wakil dagang Inggris dan Sultan fansur digambarkan secara lugas dalam syair sultan Fansur. Di akhir pertemuan sultan meminta jaminan kepada wakil dagang inggris terhadap janji yang diberikan kepada Fansur. Mungkin disebabkan kekuatiran yang besar dari sultan terhadap serangan Kerajaan Aceh.

Chambert-Loir telah mengupas Syair Sultan Fansuri dengan baik sebagai sebuah karya sastra, namun sebagai sumber sejarah, Loir tidak melakukan kritik dan ulasan yang sempurna. Sebagai sumber sejarah berhubungan dengan kerajaan Aceh, seharusnya Loir juga memperhatikan sumber-sumber sejarah Aceh agar mampu memberi gambaran jelas tentang kondisi social politik di Fansur. Apalagi kejadian dalam Syair Sultan Fansuri berdekatan dengan peristiwa perang Aceh tahun 1873, yang sesungguhnya telah menjelaskan tidak ada alasan kuat bagi raja Fansur untuk kuatir terhadap gangguan dan penyerangan kerajaan Aceh selanjutnya. Apalagi harus meminta bantuan dari Inggris yang sebelum perang Aceh dikenal sebagai sekutu dekat kerajaan Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar