Halaman

Senin, 14 Januari 2013

Review Artikel Mahan di Meja Baca India (J. C. Van Leur); Terpesona oleh Mahan (F. R. J. Verhoeven)


Nama               : Arif Subekti                                                   
NIM                : 12/340114/PSA/07396

If i seen further, its by standing on the shoulders of giants,  kalimat yang diungkapkan Newton (1642-1727) ini kiranya mampu menggambarkan mimbar bebas ilmu pengetahuan yang dinamis antara para ilmuwan pendahulu dengan para ilmuwan masa kemudian; bahwa temuan atau revisi dalam ilmu pengetahuan, sejatinya bersandar di “pundak para raksasa”. Hal ini pula yang terjadi antara dua sejarawan Belanda, F. R. J. Verhoeven dan J. C. van Leur; perihal interpretasi masing-masing dari mereka atas sejarah maritim masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), khususnya dengan penggunaan teori dari Alfred Thayer Mahan (1840-1914) sebagai landasan epistemik pembacaannya. Hal ini juga bisa dimaknai sebagai percakapan yang seru dan hidup, dengan analisa yang kritis antara karya historiografi dari institusi (Verhoeven, sebagai Kepala Arsip Negara Hindia Belanda 1937-1942) dan historiografi alternatif dari sejarawan akademis (van Leur, sarjana Universitas Leiden); sebagai metanarasi atau lebih dikenal dengan kanun tua (canonical historiography) di satu sisi dan sejarah baru (new histories) di sisi lain. Namun yang jelas nampak dan terjadi, adalah perbedaan interpretasi atau tafsir atas wacana sejarah maritim kepulauan Nusantara sebagai upaya menerjemahkan kejadian-kejadian di masa lampau.
Secara paradigmatik, baik Verhoeven maupun Van Leur sama-sama melandaskan sudut pandang karya historiografinya dari pihak VOC; namun secara struktur keduanya berlainan. Verhoeven yang menghadirkan istilah “musuh dari luar” yakni negeri Spanyol, Inggris, dan terutama sekali negeri Portugis berhadap-hadapan dengan pihak VOC, nampaknya tidak secara khusus menempatkan potensi “musuh dalam negeri” yakni kekuatan kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa di Nusantara sebagai pihak yang dominan, sehingga memposisikannya “hanya” sebagai bingkai sejarah an sich. Sementara van Leur, disamping menghadirkan  pihak Barat sebagai pesaing, juga menempatkan kekuatan-kekuatan negeri Timur secara sejajar. Perbedaan ini, kemudian memunculkan beberapa versi yang berbeda seperti penentuan periodisasi, dimana Verhoeven yang membatasi kajian VOC sebagai alat perang, berakhir pada tahun 1641 dengan perebutan Malaka dari tangan Portugis dan menganggap bahwa kebebasan niaga dengan raja-raja dan rakyat-rakyat timur telah tercapai; berbeda dengan van Leur yang menganggap bahwa kemenangan atas kekuatan “musuh dari luar” baru dalam perang di Sailan dan Gowa, sementara penaklukan terhadap kekuatan Timur masih terjadi secara terus-menerus.
Perbedaan interpretasi selanjutnya adalah perihal pendapat Verhoeven mengenai perubahan organisatoris VOC dari alat perang menjadi negara lautan; bahwa menurut van Leur, teori Mahan mengenai VOC sebagai naval power atau armada perang yang berdiri sendiri, jika dinilai berubah secara organisatoris menjadi negara laut, seyogyanya ditandai dengan tahun pendirian pusat “pemerintahan” VOC 12 Maret 1619 bernama Batavia, alih-alih tahun direbutnya Malaka dari Portugis (1641). Leur juga berpendapat, bahwa Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal 1619-1623, 1627-1629) yang dipandang sebagai pendiri Batavia sekaligus peletak dasar negara laut, sama sekali bukanlah wakil niaga, melainkan seorang penakluk (conquistador) murni yang lebih menekankan aspek ekonomi dan militer sebagai pertimbangan kebijaksanaannya. Lebih jauh lagi, van Leur –berangkat dari teori Mahan– menilai VOC sebagai organisasi kekuatan laut (sea power) yang lebih modern dibandingkan kekuatan laut kerajaan Spanyol atau kerajaan Portugis; tidak memiliki kelengkapan kapal sebagai armada perang (naval power) yang berdiri sendiri, berbeda dengan spesifikasi kapal perang milik Spanyol, Portugis, atau kerajaan-kerajaan Nusantara.
 Sebagai sejarawan akademis, van Leur yang membaca VOC sebagai suatu realitas sejarah dengan teori Mahan, nampaknya hendak memberikan interpretasi alternatif dan berseberangan dengan versi historiografi yang mapan di kalangan sejarawan Belanda kala itu. VOC dalam old canon historiografi Belanda, lebih dimaknai sebagai wadah penggabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda yang saling bersaing secara ekonomis daripada kepentingan kekuasaan politis dan unsur-unsur militer yang menyertainya. Secara kritis, van Leur hendak menyetarakan fungsi mendua dari VOC (dagang dan perang), atau justru mengedepankan aspek militer dari tujuan perdagangan; diantaranya dengan menuliskan sosok J. P. Coen sebagai sosok penakluk murni, kemudian sisi ekspansif VOC sebagai alat perang yang tak terpisah dengan fungsi negara laut yang bersifat ofensif secara terus-menerus –sebagaimana teori Mahan– dalam menghalau musuh dan demi melindungi kepentingan perniagaan.
Jika asumsi diatas, bahwa van Leur benar-benar memberikan alternatif interpretasi atas historiografi kanon sejarawan Belanda, maka ia mencoba meninjau ulang salah satu tafsir bahwa VOC hanya melaksanakan fungsi niaga sehingga berperang hanya untuk melindungi kepentingan dagangnya (defensif). Pemahaman dengan teori Mahan, sehingga menampakkan sisi lain VOC sebagai kekuatan perang ofensif, dan kemudian disikapi secara sarkasitis oleh Verhoeven dalam tulisan “Terpesona oleh Mahan”; kiranya membuktikan geliat wacana Old Canon vis-a-vis New History, dimana yang pertama disusun demi kepentingan “nasional”, sementara yang kedua lebih mengedepankan kemerdekaan intelektual.
Di Indonesia, jamak digambarkan dalam karya historiografi yang indonesiasentris, bahwa masa VOC adalah sejarah kekuasaan orang-orang Belanda yang ingin menaklukan kerajaan dan masyarakat Nusantara secara eksploitatif, dengan memonopoli perdagangan dan upaya-upaya pasifikasi yang cenderung licik dan barbar. Kelicikan VOC, dalam historiografi indonesiasentris biasanya digambarkan dalam kompetisi perdagangan antara negeri-negeri Eropa di Nusantara, yang selanjutnya seakan ditularkan pada kompetisi antar kekuatan-kekuatan kerajaan di Nusantara; jadi nampak bahwa VOC tidak ada sisi positifnya sama sekali bagi kemajuan penduduk Nusantara, justru sebaliknya, VOC berhasil mengeruk kekayaan Nusantara untuk dibawa ke Belanda, sekaligus meletupkan konflik antar kekuasaan kerajaan di Nusantara.
Kiranya, tulisan kritis van Leur ini, dimaknai sebagai kesadaran dekonstruktif seorang sejarawan dalam menyusun interpretasi alternatif dari karya historiografi yang sudah mapan. Sehingga, saat menulis sejarah VOC, seorang sejarawan tidak terjebak dalam perspektif hitam-putihnya suatu peristiwa, melainkan melihatnya sebagai suatu proses yang panjang. Dinamika persaingan hegemoni perdagangan antara negara-negara Eropa, persaingan antara kerajaan lokal, atau persaingan antara Eropa dan kekuasaan lokal; seyogyanya juga ditampilkan secara berimbang, sehingga proses sejarah VOC bisa dicerna secara lebih arif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar