Nama : Arif Subekti
NIM : 12/340114/PSA/07396
If i seen further, its by standing on the
shoulders of giants, kalimat
yang diungkapkan Newton (1642-1727) ini kiranya mampu menggambarkan mimbar
bebas ilmu pengetahuan yang dinamis antara para ilmuwan pendahulu dengan para
ilmuwan masa kemudian; bahwa temuan atau revisi dalam ilmu pengetahuan,
sejatinya bersandar di “pundak para raksasa”. Hal ini pula yang terjadi antara
dua sejarawan Belanda, F. R. J.
Verhoeven dan J. C. van Leur;
perihal interpretasi masing-masing dari mereka atas sejarah maritim masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), khususnya dengan penggunaan
teori dari Alfred Thayer Mahan (1840-1914) sebagai landasan epistemik
pembacaannya. Hal ini juga bisa dimaknai sebagai percakapan yang seru dan hidup,
dengan analisa yang kritis antara karya historiografi dari institusi
(Verhoeven, sebagai Kepala Arsip Negara Hindia Belanda 1937-1942) dan
historiografi alternatif dari sejarawan akademis (van Leur, sarjana Universitas
Leiden); sebagai metanarasi atau lebih dikenal dengan kanun tua (canonical
historiography) di satu sisi dan sejarah baru (new histories) di
sisi lain. Namun yang jelas nampak dan terjadi, adalah perbedaan interpretasi
atau tafsir atas wacana sejarah maritim kepulauan Nusantara sebagai upaya
menerjemahkan kejadian-kejadian di masa lampau.
Secara paradigmatik, baik Verhoeven maupun Van Leur
sama-sama melandaskan sudut pandang karya historiografinya dari pihak VOC;
namun secara struktur keduanya berlainan. Verhoeven yang menghadirkan istilah “musuh
dari luar” yakni negeri Spanyol, Inggris, dan terutama sekali negeri Portugis
berhadap-hadapan dengan pihak VOC, nampaknya tidak secara khusus menempatkan potensi
“musuh dalam negeri” yakni kekuatan kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa di
Nusantara sebagai pihak yang dominan, sehingga memposisikannya “hanya” sebagai
bingkai sejarah an sich. Sementara van Leur, disamping menghadirkan pihak Barat sebagai pesaing, juga menempatkan
kekuatan-kekuatan negeri Timur secara sejajar. Perbedaan ini, kemudian memunculkan
beberapa versi yang berbeda seperti penentuan periodisasi, dimana Verhoeven
yang membatasi kajian VOC sebagai alat perang, berakhir pada tahun 1641 dengan
perebutan Malaka dari tangan Portugis dan menganggap bahwa kebebasan niaga
dengan raja-raja dan rakyat-rakyat timur telah tercapai; berbeda dengan van
Leur yang menganggap bahwa kemenangan atas kekuatan “musuh dari luar” baru
dalam perang di Sailan dan Gowa, sementara penaklukan terhadap kekuatan Timur masih
terjadi secara terus-menerus.
Perbedaan interpretasi selanjutnya adalah perihal pendapat
Verhoeven mengenai perubahan organisatoris VOC dari alat perang menjadi negara
lautan; bahwa menurut van Leur, teori Mahan mengenai VOC sebagai naval power
atau armada perang yang berdiri sendiri, jika dinilai berubah secara
organisatoris menjadi negara laut, seyogyanya ditandai dengan tahun pendirian
pusat “pemerintahan” VOC 12 Maret 1619 bernama Batavia, alih-alih tahun
direbutnya Malaka dari Portugis (1641). Leur juga berpendapat, bahwa Jan
Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal 1619-1623, 1627-1629) yang dipandang
sebagai pendiri Batavia sekaligus peletak dasar negara laut, sama sekali
bukanlah wakil niaga, melainkan seorang penakluk (conquistador) murni
yang lebih menekankan aspek ekonomi dan militer sebagai pertimbangan
kebijaksanaannya. Lebih jauh lagi, van Leur –berangkat dari teori Mahan–
menilai VOC sebagai organisasi kekuatan laut (sea power) yang lebih
modern dibandingkan kekuatan laut kerajaan Spanyol atau kerajaan Portugis;
tidak memiliki kelengkapan kapal sebagai armada perang (naval power) yang
berdiri sendiri, berbeda dengan spesifikasi kapal perang milik Spanyol,
Portugis, atau kerajaan-kerajaan Nusantara.
Sebagai
sejarawan akademis, van Leur yang membaca VOC sebagai suatu realitas sejarah dengan
teori Mahan, nampaknya hendak memberikan interpretasi alternatif dan
berseberangan dengan versi historiografi yang mapan di kalangan sejarawan
Belanda kala itu. VOC dalam old canon historiografi Belanda, lebih
dimaknai sebagai wadah penggabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda yang
saling bersaing secara ekonomis daripada kepentingan kekuasaan politis dan
unsur-unsur militer yang menyertainya. Secara kritis, van Leur hendak
menyetarakan fungsi mendua dari VOC (dagang dan perang), atau justru mengedepankan
aspek militer dari tujuan perdagangan; diantaranya dengan menuliskan sosok J.
P. Coen sebagai sosok penakluk murni, kemudian sisi ekspansif VOC sebagai alat
perang yang tak terpisah dengan fungsi negara laut yang bersifat ofensif secara
terus-menerus –sebagaimana teori Mahan– dalam menghalau musuh dan demi
melindungi kepentingan perniagaan.
Jika asumsi diatas, bahwa van Leur benar-benar
memberikan alternatif interpretasi atas historiografi kanon sejarawan Belanda,
maka ia mencoba meninjau ulang salah satu tafsir bahwa VOC hanya melaksanakan
fungsi niaga sehingga berperang hanya untuk melindungi kepentingan
dagangnya (defensif). Pemahaman dengan teori Mahan, sehingga menampakkan sisi
lain VOC sebagai kekuatan perang ofensif, dan kemudian disikapi secara
sarkasitis oleh Verhoeven dalam tulisan “Terpesona oleh Mahan”; kiranya membuktikan
geliat wacana Old Canon vis-a-vis New History, dimana yang
pertama disusun demi kepentingan “nasional”, sementara yang kedua lebih
mengedepankan kemerdekaan intelektual.
Di Indonesia, jamak digambarkan dalam karya
historiografi yang indonesiasentris, bahwa masa VOC adalah sejarah kekuasaan
orang-orang Belanda yang ingin menaklukan kerajaan dan masyarakat Nusantara
secara eksploitatif, dengan memonopoli perdagangan dan upaya-upaya pasifikasi
yang cenderung licik dan barbar. Kelicikan VOC, dalam historiografi
indonesiasentris biasanya digambarkan dalam kompetisi perdagangan antara
negeri-negeri Eropa di Nusantara, yang selanjutnya seakan ditularkan pada
kompetisi antar kekuatan-kekuatan kerajaan di Nusantara; jadi nampak bahwa VOC
tidak ada sisi positifnya sama sekali bagi kemajuan penduduk Nusantara, justru
sebaliknya, VOC berhasil mengeruk kekayaan Nusantara untuk dibawa ke Belanda,
sekaligus meletupkan konflik antar kekuasaan kerajaan di Nusantara.
Kiranya, tulisan kritis van Leur ini, dimaknai
sebagai kesadaran dekonstruktif seorang sejarawan dalam menyusun interpretasi
alternatif dari karya historiografi yang sudah mapan. Sehingga, saat menulis
sejarah VOC, seorang sejarawan tidak terjebak dalam perspektif hitam-putihnya
suatu peristiwa, melainkan melihatnya sebagai suatu proses yang panjang. Dinamika
persaingan hegemoni perdagangan antara negara-negara Eropa, persaingan antara
kerajaan lokal, atau persaingan antara Eropa dan kekuasaan lokal; seyogyanya
juga ditampilkan secara berimbang, sehingga proses sejarah VOC bisa dicerna
secara lebih arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar