Nama : Arif Subekti
12/340114/PSA/07396
Pembabagan sejarah historiografi modern, diperbedakan
dengan kurun historiografi tradisional yang mendahuluinya, salah satu upayanya
adalah untuk mensaintifikasikan realitas sejarah negeri timur dengan cara baru
dalam mendapatkan pengetahuan (new way of knowing); yakni dengan cara
pandang yang lebih segar dan sikap receptif terhadap akal budi. Praksis dari
gerakan pemikiran ini, banyak dipengaruhi oleh semangat zaman pencerahan (Enlightenment);
yakni bahwa ilmu pengetahuan merupakan unsur determinan dalam kemajuan
peradaban, sehingga historiografi yang ditawarkan ialah pengabdian terhadap ilmu
pengetahuan.
Perkembangan historiografi modern di wilayah Asia
Tenggara, dan khusunya Nusantara, umumnya dinisbatkan pada beberapa sejarawan
dari Kerajaan Inggris, yang mengambil gaya baru dalam tradisi penulisan
sejarah. Salah satu bab dari buku Mary
Catherine Quilty, yakni Natural
History, berusaha untuk
menggambarkan salah satu dari bidang kajian (biologi) disamping dua yang lain
(linguistik, dan ekonomi); sebagaimana pengkategorian yang disampaikan oleh
Michel Foucault. Quilty, dalam keseluruhan bukunya, mengkaji historiografi yang
ditulis oleh William Marsden, History
of Java (1783), Michael Symes, Journal of an Embassy to the Kingdom of Ava (1795), Thomas Stamford Raffles History of Java (1817), John Crawfurd History
of the Indian Archipelago (1820)
dan John Anderson, Mission to the East
Coast of Sumatra (1826).
Karakter
historiografi diatas dibandingkan dengan karya historiografi yang mendahuluinya
ada pada tiga hal, yakni 1) penekanan pada observasi dari tangan pertama, 2)
pemilihan perihal yang dipaparkan pada
aspek esensial, dan 3) pegangan atas sistematika aturan-aturan ilmiah. Data
yang dikumpulkan, tidak sekedar berdasarkan ingatan saja, namun untuk mencapai
rasio otentik, juga didasarkan pada pengamatan inderawi secara langsung dari
peneliti. Upaya untuk menerangkan titik kordinat wilayah kajian, agar pembaca
lebih dapat membangun imajinasi keruangan, juga diperkenalkan dengan melengkapi
historiografi mereka ini dengan peta, meskipun tingkat keseksamaannya masih
sederhana. Ilustrasi mengenai realitas flora-fauna, lingkungan, dan sebagainya,
serta pengklasifikasian dalam tabel dan statistik; juga dimasukkan dalam
tulisan-tulisan mereka, dengan seleksi data agar pemaparan pada aspek esensial saja.
Kategori
yang dibangun Quilty, dengan menggolongkan ragam historiografi ini pada natural history, bisa ditelusuri dengan melimpahnya pemaparan mengenai setting spasial
dimana sejarah manusia itu terjadi. Keterangan keadaan geografi, kontur tanah
serta mineralnya, klimatologi, jenis flora dan fauna, dan sebagainya; mengisi
sebagian –terkadang dalam bab tersendiri atau disisipkan– karya historiografi
modern ini. Tradisi perihal detail struktur alamiah ini, besar kemungkinan, dipengaruhi
oleh perkembangan ilmu-ilmu eksakta pada masa itu. Dunia timur yang eksotis
dalam pandangan para pelancong, dalam historiografi modern ini, kemudian
dimaknai dengan dunia timur yang menyimpan pengetahuan keanekaragaman hayati
(biodiversity) untuk diteliti; dan hal inilah yang menjadi pembeda utama mereka
dengan pandangan lama para pelancong dalam menerangkan negeri timur.
Para
sarjana, berdasarkan corak pemikiran yang paling dominan dan utama (mainstream) menggolongkan para sejarawan Kerajaan Inggris ini sebagai orientalis,
atau ahli ketimuran, dan paham ketimuran mereka disebut orientalisme. Istilah
ini kemudian, tidak dimaknai sebagai sebuah konvensi akademis an sich, melainkan suatu ideologi hegemonik yang berada di belakang usaha
akademis. Hal ini, nampaknya menjadi perkara yang dituduhkan pada sebagaian
besar ilmuwan Barat yang meneliti timur, bahwa sikap yang mencerminkan paham
orientalisme nampak dalam karya mereka.
Tema seperti
kanibalisme, sati, kasta, dan seterusnya; dinilai oleh
sebagian kalangan ilmuwan sebagai konstruk orientalisme; bahwa kanibalisme
adalah fenomena yang terjadi di negeri-negeri luar Eropa, dan Batak serta
Karibia adalah salah satu wilayah dimana kasus ini dapat ditemukan. Demikian
halnya dengan sati dan kasta, yang konstruk pemaknaannya sudah
didesain dan dilestarikan oleh paradigma orientalisme.
Bagaimanapun,
tradisi historiografi modern yang dibangun para sejarawan ini, telah
mengenalkan horison baru dalam penulisan sejarah negeri-negeri timur, khususnya
Nusantara. Dari karya-karya mereka, dapat pula dilacak landasan epistemik yang
mereka introdusir, berangkat dari semangat pencerahan; seperti metode
parataxis, pengamatan langsung, dan seterusnya. Hal ini, kiranya mampu
mengatasi kemandegan paradigmatik, yang disinyalir terjadi dalam iklim
penulisan sejarah dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar