Halaman

Senin, 14 Januari 2013

Review Artikel Natural Histories (Mary Catherine Quilty)


Nama  : Arif Subekti                                                   
12/340114/PSA/07396

Pembabagan sejarah historiografi modern, diperbedakan dengan kurun historiografi tradisional yang mendahuluinya, salah satu upayanya adalah untuk mensaintifikasikan realitas sejarah negeri timur dengan cara baru dalam mendapatkan pengetahuan (new way of knowing); yakni dengan cara pandang yang lebih segar dan sikap receptif terhadap akal budi. Praksis dari gerakan pemikiran ini, banyak dipengaruhi oleh semangat zaman pencerahan (Enlightenment); yakni bahwa ilmu pengetahuan merupakan unsur determinan dalam kemajuan peradaban, sehingga historiografi yang ditawarkan ialah pengabdian terhadap ilmu pengetahuan.
Perkembangan historiografi modern di wilayah Asia Tenggara, dan khusunya Nusantara, umumnya dinisbatkan pada beberapa sejarawan dari Kerajaan Inggris, yang mengambil gaya baru dalam tradisi penulisan sejarah. Salah satu bab dari buku Mary Catherine Quilty, yakni Natural History, berusaha untuk menggambarkan salah satu dari bidang kajian (biologi) disamping dua yang lain (linguistik, dan ekonomi); sebagaimana pengkategorian yang disampaikan oleh Michel Foucault. Quilty, dalam keseluruhan bukunya, mengkaji historiografi yang ditulis oleh William Marsden, History of Java (1783), Michael Symes, Journal of an Embassy to the Kingdom of Ava (1795), Thomas Stamford Raffles History of Java (1817), John Crawfurd History of the Indian Archipelago (1820) dan John Anderson, Mission to the East Coast of Sumatra (1826).
Karakter historiografi diatas dibandingkan dengan karya historiografi yang mendahuluinya ada pada tiga hal, yakni 1) penekanan pada observasi dari tangan pertama, 2) pemilihan perihal yang dipaparkan pada  aspek esensial, dan 3) pegangan atas sistematika aturan-aturan ilmiah. Data yang dikumpulkan, tidak sekedar berdasarkan ingatan saja, namun untuk mencapai rasio otentik, juga didasarkan pada pengamatan inderawi secara langsung dari peneliti. Upaya untuk menerangkan titik kordinat wilayah kajian, agar pembaca lebih dapat membangun imajinasi keruangan, juga diperkenalkan dengan melengkapi historiografi mereka ini dengan peta, meskipun tingkat keseksamaannya masih sederhana. Ilustrasi mengenai realitas flora-fauna, lingkungan, dan sebagainya, serta pengklasifikasian dalam tabel dan statistik; juga dimasukkan dalam tulisan-tulisan mereka, dengan seleksi data agar pemaparan pada aspek esensial saja.
Kategori yang dibangun Quilty, dengan menggolongkan ragam historiografi ini pada natural history, bisa ditelusuri dengan melimpahnya pemaparan mengenai setting spasial dimana sejarah manusia itu terjadi. Keterangan keadaan geografi, kontur tanah serta mineralnya, klimatologi, jenis flora dan fauna, dan sebagainya; mengisi sebagian –terkadang dalam bab tersendiri atau disisipkan– karya historiografi modern ini. Tradisi perihal detail struktur alamiah ini, besar kemungkinan, dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu eksakta pada masa itu. Dunia timur yang eksotis dalam pandangan para pelancong, dalam historiografi modern ini, kemudian dimaknai dengan dunia timur yang menyimpan pengetahuan keanekaragaman hayati (biodiversity) untuk diteliti; dan hal inilah yang menjadi pembeda utama mereka dengan pandangan lama para pelancong dalam menerangkan negeri timur.
Para sarjana, berdasarkan corak pemikiran yang paling dominan dan utama (mainstream) menggolongkan para sejarawan Kerajaan Inggris ini sebagai orientalis, atau ahli ketimuran, dan paham ketimuran mereka disebut orientalisme. Istilah ini kemudian, tidak dimaknai sebagai sebuah konvensi akademis an sich, melainkan suatu ideologi hegemonik yang berada di belakang usaha akademis. Hal ini, nampaknya menjadi perkara yang dituduhkan pada sebagaian besar ilmuwan Barat yang meneliti timur, bahwa sikap yang mencerminkan paham orientalisme nampak dalam karya mereka.
Tema seperti kanibalisme, sati, kasta, dan seterusnya; dinilai oleh sebagian kalangan ilmuwan sebagai konstruk orientalisme; bahwa kanibalisme adalah fenomena yang terjadi di negeri-negeri luar Eropa, dan Batak serta Karibia adalah salah satu wilayah dimana kasus ini dapat ditemukan. Demikian halnya dengan sati dan kasta, yang konstruk pemaknaannya sudah didesain dan dilestarikan oleh paradigma orientalisme.
Bagaimanapun, tradisi historiografi modern yang dibangun para sejarawan ini, telah mengenalkan horison baru dalam penulisan sejarah negeri-negeri timur, khususnya Nusantara. Dari karya-karya mereka, dapat pula dilacak landasan epistemik yang mereka introdusir, berangkat dari semangat pencerahan; seperti metode parataxis, pengamatan langsung, dan seterusnya. Hal ini, kiranya mampu mengatasi kemandegan paradigmatik, yang disinyalir terjadi dalam iklim penulisan sejarah dalam negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar