Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Proses Pembingkaian: Sebuah Analisis Resink Terhadap Konsep Para Penulis Historiografi Indonesia Dalam Melakukan Historiografi Indonesia


Nama   : Akhmad Ryan Pratama
NIM    : 12/339260/PSA/7260
            Artikel yang ditulis GJ. Resink yang berjudul asli, Passe-partrout om geschidedschrijvers over Indonesie, atau  berjudul suatu Passe-partout sekitar penulis-penulis tentang sedjarah Indonesia yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan sudah diterbitkan oleh LIPI pada tahun 1971. LIPI menerbitkan tulisan terjemahan ini untuk membantu membentuk suatu konsep penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang kelak akan terdiri dari 6 jilid dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sebelum mengkaji artikel ini lebih jauh ada baiknya apabila kita mengenal latar belakang Resink serta karya lainnya. Resink dilahirkan di Yogjakarta pada 11 Oktober 1911, ia merupakan ahli hukum, sastrawan dan sejarawan. Dalam karya Resink yang juga cukup terkenal yaitu Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968) atau terjemahan dari karya tersebut berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah dan telah diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Resink ingin mementahkan anggapan suatu mitos atau narasi besar dari Historiografi Indonesia bahwa sebenarnya Indonesia tidak dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Pemerintah Kolonial Belanda tidak berdaulat penuh terhadap nusantara (Indonesia) selama 350 tahun, dengan pendekatan disiplin ilmunya yaitu ilmu hukum, Resink menemukan fakta bahwa ternyata ada beberapa orang yang tidak dapat dihukum karena pengadilan di Hindia Belanda menolak untuk mengadili orang tersebut, dikarenakan terdakwa bukan merupakan warga negara Hindia Belanda. Hal yang menjadi pertanyaan besar bagi saya walau tulisan Resink ini telah diterbitkan tahun 1968? Tetapi mengapa tinjauan terhadap mitos Indonesia dijajah 350 tahun baru muncul setelah orde baru runtuh pada tahun 1998?
            Tulisan Resink ini berusaha merefleksikan bagaimana penulisan sejarah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan, ia menganalisis berbagai macam permasalahan dan kendala yang akan dihadapi dalam penyusunan sejarah nasional Indonesia. Resink memfokuskan analisisnya terhadapa para sejarawan yang telah melakukan historiografi terhadap Indonesia, karena menurutnya sejarawan yang akan menuliskan mengenai historiografi Indonesia terdiri dari berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda, terutama dari kebangsaan. Menurutnya hal ini akan menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi Penulisan Sejarah Nasional di Indonesia. Resink sangat menyadari bahwa penggambaran konsep ketika akan melakukan historiografi Indonesia ditentukan oleh latar belakang penulis termasuk substansi keilmuan dari sejarawan itu sendiri. kapasitas keilmuan tersebut diperoleh di lingkungan dimana sejarawan tersebut belajar, sehingga apada akhirnya akan terbentuk suatu madzhab atau aliran dalam penulisan sejarah Indonesia. Adanya segmentasi tersebut tentu akan membuat tulisan sejarah atau intepretasi yang dihasilkan akan selalu berhubungan dengan ideologis sejarawan atau tendensi dari kepentingan sejarawan tersebut. Dalam hal ini Resink menyebutkan mengenai intepretasi yang didasarkan kepada 2 perspektif yaitu Nerlandosentris dan Indonesiasentris.
            Kedua tulisan Resink ini sangat erat keterkaitannya, karena menurut saya Resink ingin mengambalikan penulisan sejarah nasional Indonesia ke proporsi yang sangat tepat dan berimbang. Walaupun Resink berusaha untuk melepaskan pandangan Eropasentrisme dan Indonesiasentris dalam melakukan penulisan karyannya. Melepaskan diri dari perspektif kolonial bukan berarti menghitamkan yang putih atau memutihkan yang hitam dalam narasi besar penulisan sejarah nasional Indonesia. Walaupun menurut saya konsep Resink tentang historiografi Indonesia yang mampu dibingkai dalam narasi besar masih sangat normatif, karena Resink tidak dapat menjelaskan secara detail hingga tataran teknis bagaimana melakukan pembingkaian terhadap penulisan historiografi nasional tersebut.
Diakhir tulisan Resink menunjukkan minat yang sangat besar terhadap permasalahan penulisan sejarah Indonesia yang menurutnya memiliki ‘gaya’ atau lebih tepatnya terjebak pada tulisan Indonesiasentris, yang selalu melihat bahwa objek sejarah ialah para elit-elit besar yang memiliki tingkat kemampanan yang sangat baik. Namun penulisan sejarah Indonesia tidak pernah menyentuh berjuta-juta rakyat miskin dan buta huruf pada masa itu sebagi objek kajian sejarah. Resink ingin memberikan sebuah gambaran bahwa penulisan sejarah Indonesia harus demokratis dengan menampung semua bentuk historiografi dan interpretasi dalam sebuah bingkai besar Sejarah Indonesia. Tentu saja semua tulisan sejarah Indonesia tersebut harus benar secara metodologi sejarah. Permasalahan akan timbul apabila pengajaran sejarah disekolah tidak memiliki pembakuan dalam materi akibat adanya demokratisasi dalam penulisan sejarah, sehingga melahirkan banyak versi dalam narasi historiografi nasional. Permasalahan tersebut akan timbul terhadap para pembaca karya historiografi tersebut, karena tidak semua siswa atau guru sejarah memiliki tingkat kekritisan serta kapasitas ilmu pengetahuan yang memadai untuk dapat mengkritisi suatu historiografi.

Sumber Bacaan lain:
Resink, G.J. Bukan 350 Tahun Dijajah. Terj. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar