Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Antara Fiksi dan Fakta: Analisis Terhadap Penggunaan Novel Sejarah Dalam Historiografi


Nama   : Akhmad Ryan Pratama
NIM    : 12/339260/PSA/07260
            Setelah membaca apa yang ditulis oleh Hilmar Farid mengenai pekerjaan yang telah dilakukan oleh Premoedya Ananta Toer dalam melakukan proses yang menurutnya menggali nilai-nilai sejarah kaum revolusionis di Indonesia yang disajikan dalam bentuk novel. Menurut Hilmar Farid apa yang telah dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah pekerjaan yang sangat kompleks dan rumit, dalam tulisannya dengan sangat jelas bagaiman Farid menggambarkan apa yang dilakukan olej Pramoedya Ananta Toer dalam upayanya untuk menuliskan sebuah historiografi bagi Indonesia, yang masih mencari bentuk tulisan sejarah yang terlepas dari bayang-bayang pemikiran sarjana kolonial. Pramoedya Ananta Toer mulai melakukan pengumpulan terhadap sumber-sumber sejarah yang ia dapat temukan, dan memulai membuat sebuah perpustakaan pribadi untuk mendukung kegiatannya dalam membuat historiografi Indonesia yang ia impikan.
Berbagai macam tulisan Pramoedya Ananta Toer seperti yang paling terkenal tetralogi Pulau Buru, seperti bagaimana ia menuliskan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yang menurut Farid karya-karya tersebut merupakan sebuah kelanjutan dari proyek historiografi yang mulai dilakukan oleh Pram pada akhir tahun 1950-an. Menurut Farid 2 karya dari Tetralogi Pulau Buru seperti Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yang terbit tidak lama setelah ia keluar dari tahanan , dan kedua karya ini memang diarahkan untuk pembaca muda yang ingin mengenal kekuatan historis yang membentuk masa kini. Masih menurut Farid bahwa kedua karya tersebut berhasil keluar menggambarkan psyche dari para pemula gerakan nasionalis dan memperlihatkan ketegangan dalam cultural Hybridity masa itu. Bagaimana hal tersebut dijelaskan dalam karakter Minke yang menolak bahkan mengutuk kebudayaan feodalnya yang menistakan manusia, dan kemudian memeluk peradaban barat yang dianggap maju dan mencerahkan, sampai pada akhirnya melihat bahwa peradaban itu pula yang telah membuat rakyat Hindia tertindas. Penggambaran sejarah dalam karya ini dipenuhi dengan letupan dan gejolak, antara sifat menghamba dan melawan; jauh berbeda dari historiografi colonial maupun Indonesia sentris yang selalu menempatkan fakta-fakta dalam jalur cerita yang mulus. Namun apa yang dilakukan oleh Pram dengan novel-novelnya merupakan sebuah kritik keras dan tajam terhadap politik sejarah penguasa, dengan memberikan sumber-sumber alternative yang memungkinkan orang Indonesia berbicara untuk dirinya sendiri dalam kisah sejarah. Penggalian sumber sejarah baru, terutama dari kaum yang terpinggirkan dari sejarah akan membawa penulisan sejarah menjauh dari arsip, pemikiran dan kekuasaan negara, yang menurut farid merupakan sebuah syarat mutlak yang harus dilakukan bagi sejarawan Indonesia untuk melakukan dekolonisasi sejarah di Indonesia.
Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tertralogi Pulau Burunya tidak bermanfaat dalam kajian historiografi Indonesia. Ada beberapa hal yang harus dikaji bagaimana kita harus memanfaatkan sebuah imajinasi fiksi untuk keperluan historiografi. Oleh karenanya alangkah baiknya apabila melakukan sebuah telaah yang mendalam terhadap novel sejarah yang akan digunakan. Tentu saja terdapat garis tegas yang membedakan  antara novel sejarah dan historiografi, perbedaan yang paling mendasar tentu saja penggunaan metodologi dan filsafat sejarah yang digunakan dalam historiografi. Sementara menurut saya novel sejarah tidak menggunakan data-data serta metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan seperti penyusunan Historiografi, serta filsafat sejarahnya sering tidak koheren. Sehingga saya berkesimpulan bahwa sangat berbahaya apabila sejarawan mengutip sebuah fakta keras dari novel-novel sejarah.
Salah satu contoh tulisan historiografi yang saya ketahui menggunakan prolog novel sejarah untuk membuka narasi sejarah, ialah seperti apa yang dilakukan oleh Lindblad dalam bukunya yang berjudul Bridge to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia. Dalam buku tersebut saya melihat bagaimana kepiawain Lindblad menggunakan prolog novel Suparto Brata untuk menghubungkan tulisan yang akan dibahasnya. Lindblad mengutip potongan kalimat dari novel Suparto Brata, Saksi Mata, bagaimana ketika Kuntara sedang jalan-jalan dan melihat gedung-gedung peninggalan Belanda di Surabaya yang pada tahun 1944 sudah diduduki oleh tentara Jepang, dan digunakan untuk kepentingan perangnya. Setelah prolog tersebut Lindblad menghubungkan pendudukan gedung-gedung tersebut merupakan hal yang berhubungan dalam bab yang dibahas dalam salah satu bab dalam bukunya, bagaimanan tentara Jepang melakukan tindakan pengambilalihan paksa sector-sektor ekonomi dari pemerintah kolonial dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan perangnya. Saya melihat potongan-potongan kalimat yang diambil Lindblad dan dijadikan sebuah prolog dalam beberapa bab dalam bukunya mampu membuat saya mengimajinasikan bagaimana keadaan sosial dan lingkungan yang terjadi pada masa itu, walaupun tokoh yang terdapat dalam novel tersebut merupakan tokoh fiksi.
Apa yang bisa dilakukan oleh sejarawan dalam memanfaatkan novel-novel sejarah menurut saya ialah bagaimana sebuah novel mampu memperkuat visualisasi imajinasi sejarawan dalam membayangkan masa lalu. Seperti ketika membaca novel-novel karya Pram yang menurut saya bagaimana kata-kata yang disusun dalam novel Pram mampu membuat orang yang membacanya merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh tersebut dan mampu membayangkan bagaimana suasana serta setting lingkungan yang ada dalam novel tersebut. Menurut saya hal inilah yang menarik dan esensial bagaimana sebuah novel sejarah mampu menigkatkan daya imajinasi sejarawan, sehingga kelak akan memudahkan sejarawan tersebut untuk menyusun data-data yang ia dapatkan dan menarasikannya dengan baik menggunakan imajinasi tadi.
 Selain itu dengan menggunakan sebuah novel sejarawan dapat menggunakan penggambaran dalam novel tersebut sebagai prolog atau pengantar imajinasi bagi pembaca atau penikmat historiografi. Sehingga diharapkan dengan menggunakan sebuah prolog yang dikutip dari novel-novel sejarah maka para pembaca akan mulai mampu membayangkan, mengimajinasikan, serta mengkaitkan apa yang ada dalam substansi serta kontekstual historiografi tersebut. Menurut saya penggunaan novel-novel sejarah sebagai prolog dalam sebuah karya Historiografi akan mampu membuat narasi Hisoriografi terlihat lebih menarik dan hidup, terlepas dari sebuah kekakuan, karena bagaimanapun narasi sejarah merupakan sebuah seni yang mengharapkan para pembacanya dapat menikmati karya tersebut dan mengambil manfaat darinya.

Sumber Bacaan Lainnya:
Lindblad, J. Thomas. Bridge to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia. Leiden: KITLV Press, 2008. [KITLV Verhandelingen 245]
Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar