Nama : Arum Vitasari
NIM : 12/339811/PSA/7357
Dalam membandingkan kedua judul jurnal tersebut di atas,
saya akan mencoba menjabarkan masing-masing jurnal terlebih dahulu. Pertama
adalah jurnal karya T.N. Harper, yakni “‘Asian Values’ and Southeast Asian Historian”.
Di dalam jurnalnya tersebut, Harper menyebutkan bahwa selama pendudukan bangsa
Eropa di Asia selama kurang lebih lima ratus tahun telah membangkitkan hal yang
disebut “Asian values”, yang kemudian
menjadi sebuah landasan historis untuk menyatakan posisi mereka, terutama
setelah perang dingin. ‘Asian values’
tersebut pertama kali diungkapkan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir
Mohammad dan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew. Teori yang
terdapat di dalamnya memuat perbedaan antara filosofi, agama, budaya antara
bangsa Barat dan Timur. Di mana teori tersebut memuat sifat-sifat orientalisme
yang kuat.
Harper menyebutkan, bahwa menurut seorang pejuang pada
masa perang dingin, Samuel Huntington menyebutkan bahwa “Asian values” dapat didefinisikan sebagai perpaduan antara Islam
dan Konfusianisme, serta menyebutnya sebagai ‘the clash of civilisation’. Namun, menurut Harper, banyak dari hal
yang disampaikan oleh Huntington tidak tepat. Menurut Harper, “Asian values” adalah penolakan dari
adanya sejarah Barat yang pernah menduduki sebagian besar wilayah Asia, yakni
di mana pada masa kini Asia Tenggara dapat berdiri dengan hegemoni ekonomi yang
mandiri. Di mana sejarah pendudukan Barat beserta dengan pengaruh setelah masa
kolonial tersebut ditolak. Hanya saja, kekurangan yang ada dalam “Asian values” tersebut melupakan, bahwa
sebenarnya mereka membawa ilmu dari masa kolonialisme, yakni ilmu Barat bahkan
hingga masa modernisasi ini.
Sejarah nasional juga disebut-sebut sebagai bagian dari “Asian values” dalam hal ini. Di mana
peninggalan sejarah dan sejarah itu sendiri merupakan hal yang penting. Tentu
saja hal ini kemudian menarik garis lurus dengan adanya kolonialisme di masa
lalu, yakni kolonialisme yang menciptakan terjadinya revolusi. Ian Proudfoot
menyebutkan bahwa, “now, many of the
transtition of European rule are being interrogated more deeply: especially the
dynamic interplay of colonial and local knowledge; the invantions of tradition,
the contested modernity within each. Dalam hal ini yang disebut dengan
kolonial modern dan anti-kolonial nasionalis memang tidak dapat dihindarkan
lagi. Namun, bagaimanapun sejarah tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan
sebuah bangsa, termasuk bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Di mana mereka
dihubungkan oleh adanya sejarah Melayu yang dapat dikatakan sebagai akar dari
budaya yang ada sekarang.
Berikutnya,
dalam jurnal karya Mark R. Thompson, yakni “The
Survival of “Asian Values” as “Zivilisationskritik” ” lebih banyak
menyoroti mengenai perkembangan ekonomi yang terjadi di Asia dalam pengaruh “Asian Values” dan membandingkannya
dengan ideologi yang dianut oleh Jerman sebagai bangsa Eropa. “Asian Values” di sini adalah bentuk
dari adanya krisis ekonomi yang terjadi khususnya pada Asia Tenggara, di mana “Asian Values” digunakan sebagai
strategi pendukung penyelamatan ekonomi. Selain berhubungan dengan masalah
ekonomi, “Asian Values” juga
berhubungan dengan masalah politik. “Asian
Values” sendiri lebih banyak digunakan di Malaysia dan Singapura, yang
disebutkan oleh Thompson, sebagai akibat buruk dari modernisasi.
Jurnal
ini juga menyebutkan hubungannya dengan perkembangan ekonomi Jerman yang
berdifusi ke Asia. Norbert Elias menyampaikan, bahwa “civilizing process” lebih banyak mengikuti berbagai logika di
Jerman dibandingkan dengan yang ada di Perancis ataupun Inggris. Hal ini
berkaitan dengan demokrasi yang merupakan bagian dari “Zivilisationskritik”. Di sebutkan bahwa “Asian values” merupakan bentuk dari “Zivilisationskritik” yang dibedakan dari modernisasi “Westernization”. Dalam hal tersebut “Asian values” diklaim memiliki jalur
yang berbeda sebagai non-Barat dalam dunia modern. Thomson menyebutkan juga
kaitan “Asian values” sebagai entitas
budaya politik tradisional, yakni Islam di Malaysia dan Cina, dalam hal ini
adalah konfusianisme di Singapura.
Menilik
dari kedua jurnal tersebut, saya menangkap beberapa hal yang bisa saya katakan
sebagai benang merah. Selain keduanya membahas mengenai “Asian values”, namun kedua jurnal tersebut masih berada dalam
porsinya masing-masing. Di mana “Asian
values” dijelaskan dalam kaitan
secara sejarah, juga mengenai bahasan “Asian
values” dalam bidang ekonomi khususnya. Keduanya juga sama-sama
mengemukakan bahwa “Asian values” sebagai
identitas yang tidak bisa dipisahkan dari yang disebut sebagai orientalisme.
Budaya Ketimuran yang dapat dilihat melalui Islam dan Konfusianisme di dalam “Asian values” yang dirujuk kedua jurnal
tersebut. Dari kedua jurnal tersebut, dapat dilihat, bahwa “Asian values” dapat dilihat dari
berbagai segi, yakni sejarah, politik, budaya, maupun ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar