Halaman

Rabu, 16 Januari 2013

Chapter Three Sex, Race, and the Contract. (By Mary Catherine Quilty)


Nama       : Arum Vitasari
NIM         : 12/339811/PSA/7357
        Dalam tulisan Marsden, Symes, Raffles, Crawfurt, dan Anderson terdapat perbedaan yang cukup signifikan apabila dilihat dari kacamata ekonomi. Aspek ekonomi dalam hal ini sebenarnya tidak bisa terlepas dari dampak revolusi industri yang terjadi di Inggris pada saat itu. Pada saat itu pula, munculnya teori ekonomi oleh Adam Smith mengenai sistem ekonomi liberal juga menjadi sebuah landasan untuk mencari lahan baru perekonomian. Dalam hal ini, perbedaan tersebut terlihat dari Symes dan Aderson berpikir bagaimana menemukan sumber material baru untuk kelangsungan industri di Inggris. Kemudian Marsden, Raffles, dan Crawfurd berdebat mengenai cara mempromosikan keuntungan baik Inggris maupun kawasan Asia Tenggara.

Tentu saja, sebenarnya dalam perbedaan tersebut terdapat kesamaan, yakni dasar dari ekonomi liberal. Ekonomi liberal yang dikembangkan dalam hal ini adalah bagaimana untuk meningkatkan keuntungan dan keamanan properti pribadi yang diatur dalam kontrak. Walaupun dalam teori ini tidak dikotak-kotakkan antara gender, ras, ataupun kelas. Namun, pada kenyataannya, baik gender maupun ras seringkali dihubungkan dengan kontrak dan teori ekonomi. Inggris yang pada waktu itu diwakilkan oleh East India Company (EIC) sebagai konsul dagang bersama dengan pemerintah Inggris sendiri membuat perjanjian dagang dengan para penguasa yang ada di kawasan Asia.

Adam Smith dalam hal ini memiliki ungkapan tersendiri mengenai ekonomi liberal, yakni sebagai ‘invisible hand’. Tangan tak kasat mata ini memiliki artian, dengan ekonomi liberal dan perjanjian kontrak yang ada, maka akan dapat mengatur jalannya perekonomian maupun pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini tentu saja akan merugikan pihak dari si lawan perjanjian, dan akan menguntungkan pihak Inggris sendiri. Misalnya pada kebijakan Raffles mengenai tanam paksa di wilayah Jawa. Hal itu tentu saja hanya menguntungkan pihak Inggris sendiri. Walaupun dalam perjanjian tersebut menyebutkan bahwa perjanjian tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak.

Kebijakan ekonomi yang dilakukan Raffles pada masa pendudukannya juga menyebabkan munculnya banyak perbudakan. Dalam hal ini adalah memperbudak kaum laki-laki untuk melakukan sistem tanam paksa. Sistem ekonomi ini juga menyeret kaum wanita pada masa itu sebagai korban, yakni dengan adanya tingkat prostitusi. Pada waktu itu, orang tua tidak akan segan menjual anak gadisnya kepada orang asing demi mempertahankan pertaniannya ataupun hartanya.

Sistem ekonomi liberal juga mengkotak-kotakkan ekonomi yang ditinjau berdasarkan ras. Hal ini disampaikan oleh Crawfurd, yakni mengenai kesetaraan dalam perdagangan. Di mana ada pedagang Arab, Cina, maupun pedagang yang berasal dari Eropa.

Dalam pembahasan ini, dapat dilihat bahwa sistem perjanjian tersebut memiliki dampat yang cukup besar dalam perekonomian liberal. Dalam hal ini digunakan sebagai alat legitimasi dominansi. Yang kemudian berdampak dan berhubungan langsung dengan predeterminasi kebudayaan dan juga pembedaan ras, yakni ras pribumi dan ras bangsa asing. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar