Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

Peran Organisasi Struktural dan Mitos dalam Historiografi Jawa


Wahyu Setyaningsih
12/339547/PSA/7317
Tugas Review
Anthony H. Johns, The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography
Dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 24, No. 1. (Nov., 1964), hlm. 91-99.

Anthony H. Johns menulis artikel yang berjudul Peran Organisasi Struktural dan Mitos dalam Historiografi Jawa dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya adalah mahasiswa dari sejarah budaya Indonesia menolak elemen-elemen non-pribumi yang selalu mengaburkan fakta. Di samping itu, banyaknya tulisan Jawa dan Melayu, tetapi sulit untuk dinilai kebenaran fakta dari fiksi yang ada,terutama dalam bagian pengantar. Misalnya Sejarah Melayu, sebuah kronik Dinasti Malaka (1403-1511), Pararaton, dan Babad Tanah Jawi.
Dalam penulisan ini, John menggunakan dokumen berupa Pararaton dan Babad Tanah Jawi . Cara yang dilakukannya adalah dengan menggunakan konsep-konsep analitik dari Pararaton dan Babad Tanah Jawi melalui perspektif budaya. Kronik-kronik yang terdapat dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi  dapat diartikan dengan tepat dalam konteks keseluruhan sistem budaya yang menghasilkannya.
Pararaton merupakan sebuah buku yang berkaitan dengan raja-raja dari Jawa Timur, dimulai dengan seorang mantan inkarnasi dari pendiri Singasari (1222-1292). Bagian awal berisi tentang pendiri kerajaan Singosari dan Majapahit, Ken Angrok, dari sebelum dinobatkan menjadi raja, menawarkan dirinya sebagai pengorbanan kepada Yamadipati sebagai hadiahnya setelah kematiannya dia akan dijanjikan masuk ke surga Wisnu dan selanjutnya terlahir menjadi manusia kuat di Singosari. Janji itu diterpenuhi, Ken Angrok terlahir menjadi anak Dewa Brahma, kemudian oleh ibunya (Ken Endok) diletakkan di kuburan yang mana tubuhnya memanancarkan cahaya sehingga Ki Lembong mengambilnya dan kemudian diadopsinya. Ken Angrok dipercaya sebagai jelmaan Dewa Wisnu oleh Lohgawe, kemudian ia diadopsi oleh Lohgawe dan dikenalkan dengan Tuggul Ametung, penguasa Tumapel. Lohgawe memberitahukan kepada Ken Angrok bahwa siapa yang bisa memiliki istri Tunggul Ametung, Ken Dedes, akan menjadi penguasa. Untuk bisa mencapai itu, dia datang ke Bango Samparan untuk menanyakan cara membunuh Tuggul Ametung, yaitu dengan keris Mpu Gandring. Hal itu tercapai, Ken Dedes kemudian dijadikan istri Ken Angrok, dan Ken Angrok pun menjadi penguasa di Jawa Timur.
Bagian awal teks ini tidak dapat dijadikan sebagai sejarah. Namun setelah Ken Angrok naik tahta, Pararaton memiliki nilai sejarah dan ini didukung, baik oleh prasasti maupun sumber-sumber Cina. Selain itu, Johns juga menguak seluk beluk dari narasi tersebut dengan keyakinan. Jadi, pengantar harus memiliki fungsi dan praktis dalam menerapkan kontrol sejarah dari setiap peristiwa, seperti pengetahuan tentang pemuda Ken Angrok, hal ini setidaknya untuk menggambarkan kerangka acuan dalam menginterpretasi peristiwa yang terjadi. Posisi Johns adalah untuk pemahaman Jawa tidak terlepas dari sifat dan fungsi kerajaan. Bagi orang jawa, itu merupakan fungsi dari penguasa untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan dan untuk memberikan kehidupan manusia sesuai tatanan kosmik. Raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi, kerajaan sebagai wujud dari salinan mikroskosmis dari makroskosmos. Fungsi kosmik dan keilahian bawaan adalah pusat perhatian dari pengantar  Pararaton. Berg menjelaskan bahwa imajinasi populer, pencuri dan penjudi adalah mempunyai kekuatan magis. Menurut Johns, ini adalah serangkaian pertemuan kelas sosial yang berbeda, penjudi, petani, pandai besi; yang berhubungan dengan Lohgawe sebagai jelmaan Brahma; pernikahan dengan Ken Dedes dan hubungan dengan Mahayana, semua itu menunjukan fungsi kosmik raja. Pekumpulan Brahma,Wisnu, dan Siwa menujukkan keilahian bawaan dalam semua tradisi agama besar di Jawa. Jadi, pengantar Pararaton adalah cerita dongeng saja,hal ini terkait dengan teori kerajaan Jawa dan konsepsi Jawa tentang peran raja.
Babad Tanah Jawi menceritakan tentang Kerajaan Mataram di Jawa Tengah (1582-1749), yang diawali dengan pendiri Kerajaan Mataram Jawa Tengah, Senopati, pada tahun 1582. Teks diwali dengan Adam, menuju sebuah silsilah sinkretis dewa Hindu dan nabi-nabi umat Islam. Silsilah selanjutnya sampai pada Kerajaan Kediri, kemudian menuju Padjajaran yang menggantikan Singosari, kemudian hancurnya Majapahit. Pada abad ke-XVI selanjutnya, Keraton Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Dalam penulisan babad, legitimasi dipengaruhi oleh faktor keturunan, seperti Senopati, sebagai instrumen penguasa untuk menjalankan perannya secara mikroskosmos dan mikroskosmos, menunjukan akulturasi antara konsep Hindu-Budha-Islam secara mikroskosmos dan makrokosmis dan penyembahan tradisi adat leluhur. Babad yang ditulis dalam bentuk ayat mirip dengan Kidung.
Berg membayangkan bahwa teori Babad Tanah Jawi berasal dari teks resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Agung tahun 1633. Dia menganggapnya sebagai karya khusus untuk menjamin legitimasi Sultan Agung sebagai penguasa dan kekuatan magis sehingga Berg berpendapat bahwa apa pun dalam Babad tidak memberikan gambaran masa lalu, tetapi hanya kekuatan magis saja. Berbeda dengan pandangan Johns, penulisan Babad dilakukan untuk legitimasi raja sebagai keilahian dan fungsi kosmik raja, keinginan untuk menghidari jeda ide dalam sejarah narasi sebelumnya dari Majapahit, Demak, dan Pajang. John membenarkan bahwa catatan dalam Majapahit tidak akurat, tetapi jika dikaji dengan teori budaya “Pinggiran”, pendirian Kerajaan Demak benar, kemudian direvisi dan diadaptasi menjadi Babad Demak. Upaya legitimasi memang penuh dengan mitos-mitos kekuatan supranatural, hal ini menunjukan bahwa mitos itu terdapat fakta sejarah yang tumpang tindih. Hal ini dibuktikan dengan karir Joko Tingkir menjadi seorang raja, terdapat fakta yang menjelaskan perjuangan melawan Arya Penangsang.
Dengan demikian dalam bagian awal dari babad terdapat kebenaran sejarah yang kadang-kadang ia tertutup dan terkadang terpecah-pecah. Menurut Johns bahwa babad adalah terikat untuk mencerminkan distribusi berbagai penekanan dalam tradisi budaya Jawa, akuisisi elemen baru, kebangkitan antara penulisan ulang, struktur babad menunjukan kemungkinan dari Babad Demak, jauh lebih Islami yang berasal dari Mataram. Perbedaan Babad Tanah Jawi dan Pararaton dalam hal kualitas dalam legitimasi, yaitu mitos dan simbol memainkan peran lebih penting dalam Babad daripada Pararaton. Buktinya, perjalanan awal Ken Angrok tidak harus dipedulikan sehingga bisa menjadi raja, sedangkan Senopati sangat mempedulikan silsilah keturunan dengan cara menggunkan simbol dan mitos dalam istilah untuk menjadi raja. Babad Tanah Jawi dan Pararaton sama-sama menggunakan konsep dewa-raja dan makro-mikrokosmis. Yang perlu diperhatikan adalah kehati-hatian dalam menimbang bukti dan kesiapan dalam bereksperimen dalam menggunkan konsep-konsep analitik yang akan memengaruhi dan bermanfaat dalam penulisan sejarah Jawa atau tidak. Mitos berperan untuk membuat masa lampau bermakna dengan memusatkan bagian-bagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum sehingga dalam mitos tidak ada unsur waktu, tidak kronologis dan tidak ada awal dan akhir. Struktur organisasi sosial berperan dalam mendapatkan gambaran tentang kondisi berbagai aspek masyarakat dan kebudayaan dari sebuah kerajaan. Jadi mitos dan struktur organisasi sosial memengaruhi dalam historiografi Jawa terutama dalam genealogi dan legitimasi raja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar