Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

Ilmu Sosial Otonom atau Nativis: Benturan Orientasi


Nama   : Wahyu Setyaningsih           
NIM     : 12/339547/PSA/07317


---



Dewasa ini bentuk-bentuk imperialisme dan kolonialisme tidaklah berupa bentuk-bentuk yang terlihat secara kasat mata, tetapi tanpa disadari penjajahan dalam bentuk mentalitas dan pengetahuan pun merupakan bentuk-bentuk imperialisme dan kolonialisme modern. Hal tersebut merupakan salah satu permasalahan-permasalahan yang terjadi di Asia. Berbagai kajian dan metodelogi dalam berbagai pengetahuan, terlebih sejarah menggunakan perspektif Eropasentris. Sisi kelokalan Asia hilang dari setiap pengetahuan, karena steriotip yang sudah mengakar bahwa Barat sebagai kiblat dalam setiap hal. Melihat permasalah yang terjadi di Asia, terutama tentang metodelogi, teori dan pemilihan masalah sehingga berbagai karya yang dituliskan bersudut pandang Barat. Inilah yang menjadikan Syed Farid Alatas – seorang Profesor Sosiologi Malaysia yang mengajar di Universitas Nasional Singapura –  menulis sebuah karya yang berjudul Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia.
Alatas di chapter lima ini memberikan pandangan mengenai dua bentuk orientasi yang saling berbenturan, yaitu nativisme dan ilmu sosial otonom. Nativisme merupakan paham-paham yang beranggapan bahwa faktor lingkungan tidaklah penting dalam memengaruhi sebuah kualitas pribadi, atau kualitas pribadi sudah ada sejak lahir. Hal inilah yang mendasari sebuah pandangan bahwa pribumi itu lebih baik dari nonpribumi, sehingga menimbulkan penolakan yang nyaris total terhadap Barat. Inilah yang menimbulkan kecenderungan menilai gagasan diskursif alternatif oleh orang-orang yang tidak paham yang mana mereka membentuk gagasan berdasarkan reaksi ekstrem dari beberapa nativis.
Masalah sosial lainnya yang diberikan Alatas dalam chaper lima ini adalah mengenai ulayatisasi yang terjadi di Asia Timur, yaitu penggantian sinicisasi menjadi ulayatisasi. Ulayatisasi adalah sebuah bentuk pemahaman yang merujuk pada pengembangan ilmu sosial yang dinasionalosasikan. Namun, masalah ulayatisasi adalah kegagalan memperhitungkan keanekaragaman sosio-budaya dan berbagai pusat budaya serta sejarah suatu negeri. Masalah lainnya dalam ilmu sosial yang terjadi di Asia dan Malaysia menurut Shamsul adalah kratonisasi ilmu sosial. Kratonisasi ilmu sosial adalah fragmentasi ilmu sosial ke dalam tipe ilmu sosial pemerintahan versus ilmu sosial akademis versus ilmu sosial swasta. Hal inilah yang menumbulkan masalah penting dalam yang menantang imu sosial dari dalam batas sebuah bangsa, sementara masalah kebergantungan akademis dan imperialisme akademis berasal dari luar. Pertanyaannya adalah bagaimanakah dengan diskursus yang ideal, terutama diskursus Asia dalam memandangan permasalahan yang terjadi di Asia? Inilah tugas berat seorang akademisi, akankah tetap pada idealisme atau terbawa arus?
Pengetahuan yang ada menurut Alatas terbagai menjadi tiga yaitu: 1) pengetahuan yang valid; 2) pengetahuan Barat yang hanya sedikit kepentingannya bagi masyarakat-masyarakat yang berkembang; dan 3) pengetahuan Barat yang memiliki komparatif bagi masyarakat-masyarakat berkembang. Maka, ketika berbicara mengenai ilmu sosial otonom harus dilihat dari perspektif Asia. Ilmu sosial otonom yang dimaksudkan adalah pandangan dalam merumuskan suatu teori, menciptakan suatu konsep dan secara kreatif menerapkan metodelogis tanpa didominasi oleh paham luar, tetapi juga tidak menutup diri terhadap perkembangan intelektual yang terjadi di luar Asia. Atau dapat dikatakan adanya filter dalam mengambil keputusan dan yang baik dari luar kita ambil, dan pandangan luar yang tidak sesuai dengan kultur lokal jangan digunakan.
Dalam menerapkan ide-ide ilmu sosial otonom memang tidaklah mudah. Di sini Alatas memberikan tujuh aspek yang harus terlibat dalam menerjemahkan ide-ide tersebut, yaitu: 1) membatasi perkembangan benak terbelenggu dengan mendorong proses asimilasi selektif dan independen terhadap pengetahuan Barat; 2) mematok standar intelektual dan ilmiah yang tinggi dengan membandingkan ilmu sosial lokal dan regional dengan ilmu sosial di negara-negara maju; 3) pendidikan para ilmuan sosial perlu diarahkan pada studi perbandingan; 4) menciptakan kesadaran di kalangan pemerintah dan kaum elit tentang pengembangan tradisi ilmu sosial yang otonom; 5) mencari dukungan dari para ilmuan luar negeri yanh bersimpati dengan ilmu sosial otonom; 6) mengkritik rencana pembangunan yang salah dan penyalahgunaan pemikiran ilmu sosial yang lahir dari benar terbelenggu dengan merujuk pada target-target lokal yang konkret; 7) membangkitkan kesadaran para ilmuan sosial menyangkut penghambaan intelektual mereka.
Dengan melihat aspek-aspek di atas, maka sebagai orang Asia harus kritis terhadap perkembangan Barat, terutama aspek global yang melingkupinya sehingga keterbelangguan terhadap steriotip mengenai Barat tidak berat sebelah. Kita sebagai orang Asia harus mengkritisi pengetahuan Barat, seperti tidak semua tentang Barat itu baik untuk orang Asia, dan tidak semua tentang Barat itu negatif, atau dengan kata lain harus selektif. Selain itu kita harus berani mencoba untuk menggunakan sumber-sumber non-Barat dalam upaya untuk menciptakan sebuah ciri khas Asia, seperti menggunakan teori Ibn Kaldun. Pengetahuan Barat bisa jadi merupakan sarana dari Barat untuk legitimasi mereka, atau faktor lainnya. Lahirnya ilmuan otonom tidak terlepas dari kesadaran pribadi untuk mencoba mengangkat hal-hal lokal, tetapi tidak membatasi diri dengan pengetahuan Barat. Bukan seperti katak dalam tempurung, tetapi juga tidak semua unsur-unsur Barat diterima begitu saja. Namun, jangan senang dahulu, karena dalam ilmu sosial otonom ini juga ada dua persoalan penting, yaitu: 1) persoalan otonomi tidak terbatas pada masalah Eurosentris atau keterbelengguan pikiran, tetapi juga bias dari isu-isu kontroversial di Eropa itu sementara pikiran kita terbelenggu; 2) ilmu sosial otonom sebagai koreksi terhadap ilmu sosial dengan Eurosentris yang pada akhirnya berkenaan dengan ilmu sosial yang relevab dengan lingkungannya. Hal ini menimbulkan konsep baru, yaitu relevansi dan irelevansi. Pertanyaannya adalah sudah siapkan para ilmuan Asia untuk melepaskan diri tradisi kuno yang telah mengakar? Beranikan mulai menuliskan semua tentang pengetahuan dari perspektif Asiasentris dengan mencoba pandangan baru dari Alatas ini, akahkah akan menjadi ilmuan nativistik atau otonom?
Dengan demikian yang bisa saya tangkap dari penjelasan Alatas dalam chapter lima adalah dua padangan kontras antara nativisme yang lebih condong ke lokal dengan otonom yang masih mau menerima barat. Kalau kita tarik dari sejarah kita, dahulu pada waktu zamannya Sukarno yang berani bersikap tegas menolak terhadap semua tentang Barat, justru kita bisa mandiri dan lebih produktif daripada ketika zamannya Suharto yang memberikan pintu secara terbuka terhadap Barat. Namun, kita juga tidak bisa berfikir sempit dengan meninggalkan jiwa zaman ketika menentukan sebuah keputusan. Dua pandangan yang diberikan Alatas ini menjadikan sebuah metodelogi alternatif baru yang bisa digunakan sebagai rujukan dalam ilmu pengetahuan. Namun, saya pribadi cenderung pada sebuah sikap yang otonom. Menurut saya, otonom di sini kita menjadi semakin kaya pengetahuan kita, mengglobal, tetapi tidak meninggalkan jati dirinya. Di samping itu pula, nativisme di sini dapat menjadikan kita lebih bersikap politis, karena lebih dekat dengan negara sehingga idealismenya terbelenggu dengan kepentingan politis. Namun, ketika memilih untuk menjadi ilmuan yang otonom juga harus konsisten sehingga di dapatlah sebuah metodelogi dalam historiografi yang benar-benar baru dan bisa relevan untuk digunakan acauan dalam berbagai hal, terutama dalam hal akademis. Dalam tulisan ini Alatas belum bisa menampilkan kontribusi apa yang dapat digunakan dalam mengkaji permasalahan sejarah yang sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Selain itu pula, Alatas belum menampilkan contoh benturan orientasi yang terjadi di Asia dengan mendasari dari sifat dan kultur budaya dari masing-masing bagian Asia, seperti contoh benturan Asia Timur tidak bisa digunakan di Asia Tenggara. Dapat dikatakan bahwa Alatas masih belum menampilkannya secara lebih spesifik mengenai benturan orientasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar